Mustafa Kemal Ataturk adalah seorang prajurit, negarawan, pembaru sekuler, dan pendiri Republik Turki. Ataturk berarti “Bapak Turki”. Karena pandai di bidang matematika, ia dijuluki “Kemal” (sempurna). Kemampuan militer serta pandangan politiknya disukai banyak orang. Ketika Turki diproklamasikan 1923, Ataturk diangkat sebagai presiden pertama.
Mustafa Kemal Ataturk lahir dengan nama Mustafa. Ayahnya bernama Ali Ridha, seorang pegawai biasa pada salah satu kantor pemerintah di ibukota Turki, Istanbul. Ibunya bernama Zubaede, seorang yang amat mendalam rasa keagamaannya.
Ayahnya meninggal ketika Mustafa masih kecil, sejak itu pula ia diasuh ibunya. Oleh ibunya, ia pertama-tama dimasukkan pada salah satu madrasah (Madrasah Fatima Mollah Kadin) di kota kelahirannya. Sang ibu menginginkan agar ia menjadi hafiz (penghafal Al-Qur’an) dan hoja (guru/ ustad).
Namun, Mustafa tidak puas dan memilih keluar, kemudian masuk ke sekolah umum (Shemsi Effendi) di Salonika. Setelah menamatkan sekolah dasar dalam usia 12 tahun, ia masuk Sekolah Menengah Militer di Salonika. Karena kecerdasannya, gurunya menambahkan “Kemal” pada akhir namanya.
Ia menamat-kan sekolahnya dalam usia 14 tahun, kemudian melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Latihan Militer di Monastir. Pada 1898 ia meneruskan studinya pada Sekolah Tinggi Militer di Istanbul, hingga mendapat ijazah pada 1905 dengan pangkat kapten. Ilmu politik dipelajarinya secara autodidak dari temannya yang bernama Ali Fethi.
Di samping itu ia juga mendalami bahasa Perancis, yang dengan modal bahasa tersebut ia dapat membaca karya J. J. Rousseou, Voltaire, August Comte, dan literatur berbahasa Perancis lain dalam ilmu sejarah dan sastra.
Selama dalam masa kuliah, Mustafa Kemal adalah seorang aktivis. Ia membentuk komite rahasia dan menerbitkan pamflet yang mendukung kritik terhadap pemerintahan Sultan, yang menyebabkannya dipenjara beberapa bulan. Namun, setelah tamat dari Sekolah Tinggi Militer itu, dengan pangkat kapten ia dikirim dan ditugaskan di Damascus, dan di sana ia membentuk perkumpulan Vatan we Hurriyet (Tanah Air dan Kemerdekaan).
Pada 1906, cabang perkumpulan ini berdiri di Yaffa, Yerusalem, Beirut, dan Salonika. Pada 1907 ia dipindahkan ke Salonika. Organisasi tersebut kemudian menyatukan diri dengan organisasi yang memiliki pengaruh lebih besar, yaitu Ittihad we Tarakki (Persatuan dan Pergerakan). Dalam organisasi terakhir ini, ia bersama teman-temannya dengan berani melancarkan kritik terhadap pimpinan militer.
Karena sikap politiknya itu, ia kemudian disingkirkan ke Damascus sebagai atase militer. Namun, setelah pecah Perang Dunia I, segera ia dipanggil ke Istanbul dan dipromosikan sebagai Panglima Divisi I.
Melihat banyaknya daerah yang jatuh ke tangan Sekutu pada PD I, dan apalagi sultan Usmani Turki telah berada di bawah pengaruhnya, Mustafa Kemal memandang perlu diadakannya pemerintahan tandingan di Anatolia. Pada 1920 dibentuklah Majelis Nasional Agung.
Dalam sidangnya di Ankara, Mustafa Kemal diangkat sebagai ketua Majelis. Nasional Agung. Melalui institusi ini, perjuangan politik Mustafa Kemal berjalan dengan lebih sistematis. Setelah berjuang terus-menerus, akhirnya Sekutu secara de facto dan de jure mengakui kekuasaan majelis ini.
Karena keberhasilannya ini, ia menjadi sangat populer di mata rakyat Turki dan diberi gelar al-Giza (pahlawan perang). Pada 23 Juli 1923 dunia internasional mengakui pemerintahan Mustafa Kemal. Pada 29 Oktober 1923 ia memproklamasikan Turki sebagai negara republik dan Mustafa Kemal Ataturk terpilih sebagai presiden pertama dan terus terpilih kembali hingga ia wafat.
Dalam menjalankan pemerintahannya, ia dinilai sebagai seorang diktator, dikenal keras menjalankan gagasan nasionalisme, sekularisme, dan westernisme. Ia menindak segala hal yang dipandangnya merintangi, termasuk menabrak nilai dan tradisi keagamaan yang sudah diterima dan mengakar di dalam masyarakat. Ia tidak segan-segan memberlakukan Undang-Undang Darurat Militer untuk melakukan perombakan tersebut.
Dalam pertemuan Majelis Nasional yang dipimpinnya pada 1924, ia melontarkan pernyataan dalam pidatonya, yang intinya ia bertekad menjamin stabilitas Republik Turki, memurnikan serta memperbarui ajaran Islam, dan menciptakan kesatuan sistem pendidikan nasional dengan cara membebaskannya dari politik yang sudah berlaku pada abad sebelumnya. Menurut Ataturk, untuk merealisasikannya Turki harus berorientasi ke Barat. Ia melihat bahwa dengan meniru Barat negara akan maju.
Ide nasionalisme mulai muncul pada negara-negara di Benua Asia dan Afrika setelah Perang Dunia I. Di Turki, Mustafa Kemal Ataturk lah yang berhasil mewujudkannya, dengan menggantikan struktur abad pertengahan kerajaan Islam dengan menghidupkan dan memodernisasi struktur negara Turki menjadi negara sekuler.
Meskipun sebenarnya ia hanya seorang pelanjut gagasan yang telah muncul sejak masa Pergerakan Usmani Muda, kemudian dikembangkan oleh gerakan Turki Muda.
Berkaitan dengan gagasan nasionalisme, Ataturk merancang bahwa Islam yang berlaku di Turki adalah Islam yang telah dipribumikan ke dalam budaya Turki. Sistem kekhalifahan dihapuskan, hukum syariat dihapus, tetapi kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, dan menerjemahkan Al-Qur’an dengan bahasa Turki.
Menurutnya, Islam bisa diselaraskan dengan dunia modern. Ataturk berpendapat bahwa turut campurnya Islam dalam segala lapangan kehidupan membawa kemunduran pada bangsa dan agama. Selama Islam masih menjadi agama resmi, maka negara akan tetap dalam bahaya.
Menurutnya, pemerintahan teokrasi selalu jadi saudara kembar yang tak dapat dipisahkan dari pemerintahan autokrasi. Atas dasar itu, agama harus dipisahkan dari negara. Islam tidak perlu menghalangi adopsi Turki sepenuhnya terhadap peradaban Barat, karena peradaban Barat bukanlah Kristen, sebagaimana Timur bukanlah Islam.
Dengan melancarkan gerakan westernisasi dan penerapan gagasan nasionalisme, sebenarnya Ataturk telah memulai proses sekularisasi, yang untuk kasus Usmani Turki, benih sekularisme itu sudah dimulai sejak Sultan Mahmud II. Dalam rangka merealisasikan gagasan sekularismenya,
Ataturk menempuh beberapa cara, antara lain dengan:
(1)menghapuskan jabatan khalifah (1924), (2) memakai undang-undang sipil Swiss, (3) menghapuskan mahkamah syariah dan jabatan Syaikh al-Islam, (4) membatasi jumlah masjid, (5) menghapuskan kalimat yang menyatakan bahwa Islam merupakan agama negara, (6) memasukkan prinsip sekularisme dalam konstitusi Turki, (7) mengganti aksara Arab dengan huruf Latin, (8) menghapuskan keberlakuan poligami, (9)membubarkan madrasah, tekke (gerakan tarekat), dan zawiat sufi, dan (10) menggantikan torbus di kepala dengan topi ala Barat.
Setelah melakukan serangkaian reformasi, Turki secara resmi menyatakan diri sebagai negara sekuler pada 1937. Sekularisme Ataturk biasa juga disebut “Kemalisme”.
Demikian kuatnya tindakan yang dilakukan terhadap Islam dalam rangka sekularisasi itu, sehingga wajar kalau sebagian kalangan mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Ataturk bukanlah sekularisasi yang berarti pemisahan politik dan agama, atau netralitas negara, melainkan pembantaian Islam, karena Ataturk menempatkan ide sekularisme sebagai dasar ideologi dan tidak dapat diganggu gugat.
Pertahanan iman umat Islam Turki yang kokoh tak pernah goyah menghadapi usaha Ataturk tersebut. Bahkan, gerakan kembali kepada Islam ternyata semakin kuat setelah masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk berakhir dan masa seterusnya. Karena itu pulalah, kalangan yang berpendapat demikian menilai bahwa eksperimen sekularisme keras ala Ataturk telah gagal.
Pendapat lain menyatakan bahwa sekularisme Ataturk sesungguhnya tidak mencabut sama sekali agama Islam dari masyarakat, dan ia memang tidak bermaksud demikian. Yang ia maksudkan adalah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan. Kalangan yang menilai positif pembaruan Ataturk menyatakan bahwa pembaruan Mustafa Kemal Ataturk tidak sedikit mendatangkan pencerahan di kalangan umat Islam.
Golongan terakhir ini menilai, bahwa pada dasarnya Ataturk telah turut membantu umat Islam dalam memurnikan ajaran Islam dengan jalan membuang tradisi dan lembaga yang sebenarnya memang tidak berasal dan bukan bagian dari Islam, tetapi merupakan penyimpangan darinya. Karena itu, dapat dipahami jika orang Turki berkata,
“Kami tidak mengingkari Islam. Sebaliknya kami memiliki apa yang kami anggap Islam sejati, Islam yang diajarkan Nabi Muhammad. Lembaga Islam dapat dan harus diganti dengan yang baru, yang lebih sesuai dengan keadaan sekarang.”
Daftar Pustaka
Ahmed, Brigadier Gulzer. Turkey, Rebirth of a Nation. Karachi: Ma’arif, 1961.
Ali, Mukti, A. Islam dan Sekularisme di Turki Modern. Jakarta: Penerbit Djam-batan, 1994.
Berkes, Niyazi. The Development of Secularism in Turkey. Montreal: Mc.Gill University Press, 1964.
Esposito, John L. ed. Islam and Development: Religion and Sociopolitical Change, atau Islam dan Perubahan Sosial-Politik di Negara Sedang Berkembang, terj. Jakarta: PLP2M, 1985.
Frey, Richard. Islam and the West. Netherland: Netherland Monton, 1957
Harahap, Syahrin. Kerajaan Usmani: Asal-Usul dan Perkembangan. Jakarta: Fakultas Pascasarjana IAIN, 1989.
Lewis, Bernard. The Emergence of Modern Turkey. London: Oxford University Press, 1968.
an-Nadwi, Abul Hasan Ali al-Husni. Pertarungan antara Alam Pikiran Islam dengan Alam Pikiran Barat. Bandung: al-Ma’arif, 1983.
Nuseibeh, Hazem Zaki. Gagasan-Gagasan Nasionalisme Arab. Jakarta: Bhratara, 1969.
Smith, W.C. Islam dalam Sejarah Modern. Jakarta: Bhratara, 1964.
Badri Yatim