As’ad Syamsul Arifin adalah seorang ulama terkemuka, tokoh NU (Nahdlatul Ulama) dan pimpinan Pesantren Salafiyah Syafi‘iyah, Sukorejo Asembagus Situbondo, Jawa Timur sejak 1951–1990. Ayahnya, Kiai Syamsul Arifin, adalah juga seorang ulama besar dari Madura.
As’ad Syamsul Arifin melewati masa kanak-kanaknya di tanah suci Mekah bersama kedua orangtua dan adiknya, R. Abdurrahman. Pada usia 6 tahun ia pulang ke kampung halamannya di Pamekasan, Madura.
Setelah 5 tahun di Madura, yaitu 1908, ayahnya mempunyai gagasan untuk mendirikan pesantren. Mengikuti saran para kiai, ia memilih lokasi di Pulau Jawa, tepatnya di Sukorejo Asembagus (Situbondo), yang ketika itu masih merupakan hutan.
Ia membenahi daerah itu dan kemudian mendirikan pesantren yang dinamakan Pesantren Salafiyah Syafi‘iyah. Pesantren ini mengalami kemajuan yang sangat pesat dan As’ad menjadi salah seorang santri di pesantren ini.
Ketika beranjak remaja, As’ad kembali dikirim ayahnya ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama. Di sana ia berguru pada para ulama besar, seperti Sayid Muhammad Amin al-Qutbi (guru ilmu tauhid dan fikih), Syekh Hasan al-Massad dan Sayid Hasan al-Yamani (keduanya guru di bidang sastra dan tata bahasa Arab), dan Syekh Abbas al-Maliki (guru ilmu tasawuf).
Pada 1914, ketika sudah berusia 17 tahun, ia kembali ke Tanah Air dan kemudian ‘nyantri’ pada KH Mohammad Kholil di Bangkalan, Madura, dan KH Hasyim Asy’ari di Jombang.
Pada 1924 As’ad memulai kariernya sebagai guru di pesantren ayahnya. Selanjutnya ia banyak diserahi tugas mengasuh dan membina pesantren itu. Ia mengadakan banyak perubahan dalam tubuh pesantren ini, baik dalam sistem pendidikan maupun dalam pengelolaan administrasi. Pada mulanya pesantren ini sangat tradisional dan merupakan suatu majelis pengajian yang diikuti ratusan santri.
Dalam pandangan As’ad, sistem belajar mengajar seperti ini sangat tidak efisien dan tidak efektif. Untuk itu, ia mulai menerapkan sistem madrasah walaupun tidak meninggalkan metode mengajar klasik seperti sorogan (sistem pengajaran untuk perseorangan atau kelompok kecil yang terdiri atas 3–5 santri; guru membaca dan menerjemahkan beberapa baris materi bacaan, lalu murid mengulanginya) dan wetonan (sistem pengajaran untuk kelompok yang terdiri atas 5–50 santri; guru mengajarkan materi bacaan kata per kata atau kalimat per kalimat, menerjemahkan, dan menerangkan maksudnya, sementara murid hanya mengikuti dan memperhatikannya).
KH As’ad dipandang sebagai orang yang memajukan Pesantren Salafiyah Syafi‘iyah, terutama dengan usahanya mendirikan Ma‘had ‘Ali (Pesantren Tinggi) di pesantren tersebut, yang tenaga pengajarnya adalah ulama besar yang didatangkan dari Mekah dan beberapa ulama terkemuka Indonesia. Setelah ia meninggal dunia, pesantrennya dipimpin putranya, KH Ahmad Fawaid, yang memang telah dipersiapkan sejak lama untuk meneruskan kepemimpinannya di pesantren.
Selain aktif mengurus pesantren, KH As’ad juga sangat peduli terhadap lingkungan masyarakatnya. Pada 1940 ia mendapat izin untuk mengkavling tanah seluas 25 ha di sekitar pesantren Sukorejo. Tanah itu kemudian dibagikan kepada masyarakat dengan harga murah untuk digunakan sebagai tempat tinggal; hanya sebagian yang dipakai untuk perluasan pesantren.
Dalam waktu singkat, penduduk di sekitar pesantren pun bertambah ramai. Selanjutnya, ia mengusulkan kepada gubernur Jawa Timur untuk membuka jalur hubungan laut Kalianget-Jangkar (Situbondo). Usul itu diterima, dan dengan dibukanya jalur itu, perkembangan ekonomi kedua daerah meningkat pesat.
Dalam jajaran tokoh NU, KH As’ad termasuk generasi perintis. Pada saat menjelang dibentuknya NU, ia memainkan peranan penting sebagai penghubung antara KH Kholizl dan KH Hasyim Asy’ari. Dialah orang yang ditunjuk KH Kholil untuk menyampaikan tongkat dan tasbih kepada Hasyim Asy’ari sebagai tanda direstuinya pembentukan organisasi NU.
Setelah itu, bersama KH Mahfud Siddiq dan Kiai Asnawi, ia diberi tugas oleh KH Hasyim Asy’ari untuk menyampaikan undangan kepada ulama di Jawa dalam rangka menghadiri musyawarah berdirinya NU di Surabaya. Selanjutnya, dari muktamar ke muktamar, ia selalu terpilih sebagai mustasyar (penasihat) NU.
KH As’ad adalah figur ulama yang tidak mudah tergoda oleh jabatan, pangkat, dan harta. Di kalangan NU ia dikenal sebagai tokoh yang sangat berwibawa. Ia memiliki pola hidup yang amat sederhana.
KH As’ad menjadi sangat populer pada 1984, khususnya saat menjelang Muktamar NU ke-27 di pesantrennya. Muktamar tersebut menetapkan NU melepaskan keterkaitannya pada politik dan kembali ke Khittah 1926, yaitu kembali menjadi organisasi sosial keagamaan. KH As’ad adalah kiai yang paling gencar memperjuangkan ketetapan ini.
Waktu itu, ia dipercaya sebagai ketua Tim Ahl al-Hall wa al-‘Aqd yang bertugas menentukan ketua PB NU. Pada Muktamar NU ke-28 (1989) di Krapyak, Yogyakarta, ia tidak hadir. Sebelumnya, KH As’ad memang telah menyatakan ketidaksetujuannya pada beberapa tindakan Abdurrahman Wahid yang dirasakannya tidak pantas sebagai ketua PBNU. Ia kemudian menyatakan mufaraqah (memisahkan diri, tidak ikut pimpinan) dari Abdurrahman Wahid.
Walaupun demikian, ia tetap seorang NU. Dalam kepengurusan NU periode 1989–1994 ia tetap ditempatkan pada jabatan ketua Majelis Mustasyar NU dan posisi itu tetap didudukinya sampai akhir hayatnya.
Daftar Pustaka
Kaiyis, dan Masduki Baidlawi. “Politik Kiai As’ad Hanya sampai Banyuwangi,” Majalah Editor, No. 13, 2 Desember 1989.
Luqman, Ahmad. “Kegamangan dan Ancaman terhadap Eksistensi Ulama,” Majalah Editor, No. 13, 2 Desember 1989.
Mun’im DZ, Abdul. “Jejak Langkah Perjuangan Kiai As’ad,” Majalah Pesan, No.3, 1989.
Musdah Mulia