Kemalangan (al-baliyyah) atau kejadian yang tidak diinginkan disebut musibah. Menurut Muhammad Husin Thabathaba’i (ahli tafsir, 1310 H/1892 M–1401 H/1981 M) dalam tafsir al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, musibah adalah kejadian apa saja yang menimpa manusia yang tidak dikehendaki, misalnya sakit, rugi dalam berusaha, kehilangan barang, meninggal, bencana alam, wabah penyakit, kalah perang, paceklik, dan kiamat.
Kata “musibah” dengan pengertian tersebut di atas dalam Al-Qur’an terdapat pada surah al-Baqarah (2) ayat 156, Ali ‘Imran (3) ayat 165, an-Nisa’ (4) ayat 62 dan 72, al-Ma’idah (5) ayat 49, at-Taubah (9) ayat 50, al-Qasas (28) ayat 47, as-Syura (42) ayat 30, al-Hadid (57) ayat 22, dan at-Tagabun (64) ayat 11.
Arti kata tersebut sejalan pula dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam at-Tabrani (ahli hadis), yang berarti: “Apa yang menimpa manusia berupa yang tidak dikehendakinya, itu namanya musibah.”
Musibah merupakan kejadian yang datang atas ketentuan Allah SWT dan tidak bisa ditolak. Manusia diwajibkan untuk menghindar dari musibah yang sudah menimpa dirinya.
Kalau sakit, ia diwajibkan berobat, dan kalau tertimpa banjir, ia diwajibkan menghindar dari bahaya banjir. Upaya untuk menghindar dari musibah itu bukan pada tingkat pencegahan, seperti mencegah datangnya penyakit, tetapi pada tingkat penanggulangannya.
Musibah tidak membedakan sasaran yang dikenainya. Ia dapat menimpa manusia yang saleh (seperti seorang nabi) atau manusia yang biasa berbuat maksiat.
Jika datang kepada manusia saleh, musibah harus dipandang sebagai penguji keimanan, sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 155 dan 156 yang berarti:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un (sesungguhnya kami semua adalah milik Allah, dan kepada-Nya lah kami akan kembali).”
Tetapi jika menimpa orang yang biasa berbuat maksiat, musibah harus diartikan sebagai siksaan. Allah SWT berfirman dalam surah Muhammad (47) ayat 10 yang berarti:
“Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima akibat seperti itu.”
Musibah secara lahiriah tidak menyenangkan, namun bagi orang saleh, hakikatnya diartikan sebagai sarana untuk meningkatkan derajat keimanannya di sisi Allah SWT. Lain halnya bagi orang kafir, musibah memang dimaksudkan untuk membalas kekafiran mereka.
Islam telah memberikan tuntunan mengenai cara menghadapi musibah. Hal ini antara lain dijelaskan dalam hadis sebagai berikut:
(1) Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Ibnu Majah, Malik, dan Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali yang berarti:
“Jika kalian kena musibah, ucapkanlah inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un, Allahumma’ jurni fi musibati wa akhlif li khairan minha (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali, ya Allah, berilah aku pahala dalam musibah ini, dan gantikanlah bagiku dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya).”
(2) Hadis yang juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Aisyah binti Abu Bakar, istri Rasulullah SAW. Nabi SAW berkata, “Tidak ada satu musibah pun yang menimpa seorang muslim, melainkan Allah akan menahannya, meski sebentuk duri yang menusuknya.”
(3) Hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim (312 H/933 M–405 H/1004 M) dan at-Tirmizi yang berarti:
“Tidak ada suatu musibah yang menimpa seseorang hamba, kemudian ia mengucapkan istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un = sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali) melainkan Allah menetapkan pahala baginya.”
Daftar Pustaka
Ibnu Hanbal, Ahmad. Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Ibnu Kasir, al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: ‘Alam al-Kitab, 1405 H/1985 M.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974.
at-Tabari, Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir. Jami‘ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1972.
at-Thabathaba’i, Muhammad Husin. al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Mu’as-sasah al-‘Alami li at-Tiba‘ah, 1983.
Atjeng Achmad Kusaeri