Secara kebahasaan al-‘asabiyyah berarti “semangat” atau “fanatisme golongan”. Secara terminologis, al-‘asabiyyah berarti “keterikatan kuat seseorang dalam membela prinsip kelompok atau kaumnya”. Kemudian muncul istilah al-‘ashabiyyah al-islamiyyah (semangat keislaman); al-‘ashabiyyah al-jinsiyyah (fanatisme kesukuan); dan al-‘ashabiyyah al-qaumiyyah (fanatisme kebangsaan).
Bentuk lain al-‘ashabiyyah yang juga populer adalah ta‘assub, yang berarti “tidak menerima kebenaran yang tidak sesuai dengan pendiriannya”. Kata ta‘assub berasal dari bentuk kata ta‘ssaba (berpegang kuat) dan ta‘assaba fi dinihi (sangat kuat mempertahankan agamanya).
Para penulis mengartikan kata asabiah ke dalam bahasa yang populer. Osman Raliby (cendekiawan muslim Indonesia) mengartikannya dengan rasa golongan, Muhsin Mahdi (sejarawan dan pengamat politik Islam) mengartikannya sebagai social solidarity (solidaritas sosial), Frans Rosenthal (orientalis, sejarawan) menerjemahkannya menjadi group feeling (perasaan golongan), Charles Issawi (orientalis) mengalihbahasakannya dengan solidarity (solidaritas), dan Philip K. Hitti (orientalis) mengartikannya dengan tribal spirit (semangat kesukuan) atau the spirit of the clan (semangat suku atau kaum).
Bangsa Arab, terutama sebelum Islam, menganut sistem dan hidup dalam kelompok kekerabatan yang besar. Struktur masyarakatnya didasarkan pada susunan klan (clan organization) yang keanggotaannya didasarkan pada hubungan darah. Sistem hubungan demikian menumbuhkan solidaritas kesukuan yang kuat dan lebih jauh dapat menimbulkan chauvinism (sifat patriotik yang berlebihan); suku lain dianggap musuh yang harus dibinasakan.
Akibatnya, sering terjadi konflik dan pertumpahan darah antarsuku. Suatu suku yang mempunyai asabiah yang kuat dapat menaklukkan suku lain yang asabiahnya lemah. Suku seperti ini dapat pula membentuk kekuasaan dan tampil sebagai pemimpin bagi suku yang ditaklukkannya. Asabiah juga dapat mengikat beberapa suku untuk mewujudkan tujuan bersama, yaitu merebut kepemimpinan dan kekuasaan kolektif di antara banyak suku yang ada.
Istilah “asabiah” dikembangkan Ibnu Khaldun, sejarawan dan sosiolog muslim, sebagai konsep dan teori yang berkaitan dengan keadaan sosial-politik dan pertumbuhan suatu agama serta negara. Menurut Ibnu Khaldun, asabiah timbul secara alamiah dalam kehidupan manusia karena adanya pertalian darah atau pertalian perkauman (silah ar-rahm).
Dengan kata lain, asabiah adalah rasa cinta setiap orang terhadap nasab (asal turunan)-nya atau golongannya. Perasaan cinta kasih tersebut menimbulkan perasaan senasib sepenanggungan, harga diri, kesetiaan, dan kerjasama dalam menghadapi musuh, musibah, dan untuk mencapai tujuan tertentu.
Pertalian yang demikian melahirkan persatuan dan pergaulan (al-ittihad wa al-iltiham). Pertalian semacam ini bisa juga terjadi antara mawali (penolong, pelindung) dan sekutunya, seperti hubungan pertalian senasab.
Karena itu konsep dan teori asabiah mempunyai pengertian sempit dan luas. Pengertian sempit terbatas pada satu nasab, yang disebut nasab khusus. Dalam nasab khusus terdapat pergaulan kuat karena mereka merupakan satu keluarga; inilah asabiah yang jelas dan nyata.
Pengertian luas mencakup nasab lain yang disebut nasab umum. Karena pergaulan dan hubungan dekat, di antara nasab khusus dan umum akan lahir cinta kasih, yang pada gilirannya menimbulkan hal positif seperti disebut di atas. Karena cinta yang diperluas itu, terjadi pula apa yang disebut “keluarga yang diperluas” (al-‘ailah al-mumtaddah/extended family).
Dengan kata lain, asabiah tumbuh karena seketurunan dan hubungan dekat; bisa pula karena bertetangga, persekutuan atau hubungan antara pelindung dan yang dilindungi (suku yang kuat terhadap suku yang lemah), yang dapat melahirkan cinta kasih, rasa senasib sepenanggungan, dan kerjasama dalam menghadapi suka dan duka.
Apabila asabiah umum berjalan secara efektif –anggota keluarga suku yang ada telah berintegrasi karena perkawinan, hubungan kerja dan usaha, profesi, serta ideologi dan paham– mereka tidak lagi mengetahui asal-usul keturunannya karena mereka merupakan generasi baru. Dalam hal ini, asabiah mereka bukan lagi berdasarkan pertalian darah, tetapi berdasarkan hubungan lain, yakni asabiah dalam pengertian luas.
Menurut Ibnu Khaldun, proses ini berjalan secara alamiah sesuai dengan watak manusia yang cenderung berma syarakat dan bergaul dengan siapa saja. Proses ini dapat melahirkan suatu bangsa yang multietnik, yang berbaur, dan berintegrasi. Ibnu Khaldun mendasarkan teorinya pada realitas masyarakat yang disaksikannya pada zamannya.
Asabiah bertujuan mewujudkan kekuasaan (al-mulk) yang digunakan untuk memberikan perlindungan, memelihara pertahanan, dan mencapai tujuan anggota serta masyarakat sepersekutuan. Untuk mencapai itu semua, manusia memerlukan pemimpin yang mengayomi, untuk menjaga agar tidak terjadi permusuhan antarsesama. Karena itu, pemegang kekuasaan harus mempunyai superioritas terhadap yang lain. Jika tidak, ia takkan dapat melaksanakannya secara efektif.
Kekuasaan itu dapat diperoleh dengan berbagai cara. Suatu suku yang kuat asabiahnya dapat menempuh cara kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada suku lain yang lemah. Berbagai suku tunduk kepada suku yang superior, sehingga menjadi suatu koalisi. Jika satu asabiah telah mempunyai superioritas terhadap rakyatnya, ia akan mencari superioritas atas rakyat dari asabiah lain yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengannya.
Namun, jika satu asabiah sama kuat dengan asabiah lain, maka masing-masing tetap menguasai daerah dan rakyatnya sendiri, sebagaimana halnya kabilah dan bangsa di seluruh dunia. Pandangan ini sejalan dengan lahirnya bangsa di dunia berdasarkan nasionalisme yang menghimpun berbagai kelompok etnik.
Dalam hal ini, tampaknya faktor yang menyebabkan tumbuhnya asabiah dalam pengertian luas dan nasionalisme memiliki kesamaan. Jika suatu asabiah menaklukkan asabiah lain dan di antara keduanya terjalin hubungan akrab, pihak yang menang memperoleh tambahan kekuatan dari pihak yang kalah.
Namun pihak yang kalah suatu saat akan menuntut haknya yang lebih tinggi dari tujuan semula (dalam hal superioritas dan dominasinya), sehingga kekuatannya menyamai kekuatan pihak yang berkuasa. Sebaliknya, jika asabiah yang berkuasa sudah lemah dan berusia lanjut, dan di antara pemuka seasabiah tak ada yang mempertahankan kekuasaan, asabiah baru akan muncul merebut kekuasaan.
Pandangan Ibnu Khaldun mengenai jatuh bangunnya asabiah menyerupai kehidupan partai politik dalam suatu negara di zaman sekarang. Partai politik yang kuat akan berkuasa dan memerintah, tanpa mengikutsertakan partai yang lemah dalam pemerintahan. Tetapi apabila ada dua atau lebih partai yang memiliki kekuatan berimbang, akan terbentuk pemerintahan koalisi.
Bisa juga terjadi dua atau lebih partai bergabung menghadapi dominasi partai yang kuat dan sedang berkuasa. Dalam versi Ibnu Khaldun, keberhasilan partai gabungan tersebut sangat bergantung pada kualitas asabiah mereka.
Berkaitan dengan relevansi asabiah dan agama, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekuatan suatu asabiah tidak cukup pada kekuatan fisik, tetapi harus memiliki kekuatan moral yang didasarkan pada agama dan akhlak. Karena manusia itu pada dasarnya cenderung pada kebaikan dan kejahatan, sementara kekuasaan dan politik bertujuan untuk kebaikan, ia harus berpegang pada agama dan moral untuk membimbingnya pada kebaikan.
Menurut Ibnu Khaldun, politik dan kekuasaan bertujuan melindungi rakyat dan melaksanakan hukum Allah SWT terhadap mereka, yang bertujuan untuk kebaikan dan memelihara kemaslahatan serta pemerintahan. Suatu pemerintahan dapat tegak dan menjadi besar karena agama.
Dakwah agama bisa menambah kekuatan asabiah, yang menjadi dasar kekuatan tegaknya suatu negara, karena agama dapat menghapuskan persaingan yang tidak sehat dan permusuhan di antara pendukung asabiah dan membimbing mereka kepada kebenaran serta persamaan di antara mereka.
Daftar Pustaka
Gibb, Hamilton A.R. “The Islamic Background of Ibn Khaldun’s Political Theory.” Studies on the Civilization of Islam, eds. Stanford J. Shaw and Willian R. Polk. Boston: Beacon Press, 1962.
Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun, terj. Ahmadie Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Issawi, Charles. Filsafat Islam tentang Sejarah, terj. A. Mukti Ali. Jakarta: Tintamas, 1976.
Lambton, Ann K.S. State and Government in Medieval Islam. London: t.p., 1981.
Mahdi, Muhsin. Ibn Khaldun’s Philosphy of History. London: t.t., 1957.
Raliby, Osman. Ibn Khaldun, tentang Masyarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
J Suyuti Pulu