Andalusia

Nama yang dikenal di dunia Arab dan dunia Islam untuk Semenanjung Iberia adalah Andalusia. Wilayah itu kini terdiri atas Spanyol dan Portugal. Andalusia dikenal sejak dikuasai orang Yunani dan Romawi. Pada zaman Romawi,­ Kristen sudah meluas ke Andalusia, yang kemudian dikuasai Kerajaan Visigoth.

Karena Roderick (w. 711), raja Visigoth, memerintah dengan sewenang-­wenang, Julian, keluarga Roderick yang menjadi gubernur Ceuta, menaruh dendam kepadanya. Akibat dendamnya itu. Julian meminta bantuan militer kepada kekuasaan Islam. Ketika itu Dinasti Umayah dipegang oleh Khalifah al-Walid bin Abdul Malik (al-Walid I) (naik takhta 86 H/705 M), khalifah keenam.

Ia menunjuk Musa bin Nusair sebagai gubernur di Afrika Utara. Pada masa kepemimpinan Musa bin Nusair, Afrika bagian barat dapat dikuasai kecuali Sabtah (Ceuta) yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Bizantium. Ketika inilah pasukan Islam mampu menguasai bagian barat sampai Andalusia.

Kerjasama yang ditawarkan Julian kepada tentara Islam yang ketika itu dipimpin Musa bin Nusair diterima dengan baik. Setelah mendapat persetujuan dari Khalifah al-Walid I, Musa bin Nusair memerintahkan Panglima Tariq bin Abdul Malik an-Nakha’i melakukan penjajakan awal dengan membawa 400 tentara dengan 100 pasukan berkuda memasuki wilayah Andalusia pada 710.

Pada 711 Musa bin Nusair mengutus Tariq bin Ziyad untuk melanjutkan penyerangan ke Andalusia dengan pasukan yang lebih besar. Ini merupakan masa pertama bagi Islam memasuki Andalusia. Tariq bin Ziyad memimpin pasukan yang berjumlah kurang lebih 7.000 orang (ada juga yang menyebutkan jumlahnya 12.000 orang Barbar) untuk menyerbu Andalusia. Pasukan yang dipimpinnya mendarat di sebuah bukit, yang kemudian diabadikan dengan nama “Jabal Tariq” atau Jibraltar.

Pasukan Tariq bin Ziyad berhasil mengalahkan Raja Roderick yang tewas dalam pertempuran itu. Kemenangan ini menjadi modal baginya untuk menaklukkan kota lainnya seperti Cordoba, Archedonia, Malaga, Elvira, dan akhirnya Toledo, yakni pusat Kerajaan Visigoth. Mendengar keberhasilan pasukan Islam, maka pada 712 Musa bin Nusair memimpin satu pasukan menuju Andalusia melalui jalan yang tidak dilalui pasukan Tariq.

Pasukan Musa bin Nusair ini melewati pantai barat Semenanjung dan berhasil menaklukkan kota yang dilewatinya, antara lain Sevilla dan Merida. Pasukan Musa bin Nusair bertemu dengan pasukan Tariq bin Ziyad di Toledo. Dengan bergabungnya dua pasukan, daerah yang ditaklukkan meluas sampai ke utara seperti Saragosa, Terroofona, dan Barcelona.

Setelah daulah Bani Umayah di Damascus ditumbangkan, Daulah Abbasiyah berdiri dengan khalifah pertama Abu Abbas as-Saffah. Ketika itu juga keamiran di Andalusia berada di tangan Yusuf bin Abdurrahman al-Fihr (129 H/746 M–138 H/756 M) dari Bani Muzar.

Salah seorang keluarga Umayah, Abdurrahman bin Mu‘awiyah bin Hisyam bin Abdul Malik yang bergelar Abdurrahman ad-Dakhil, selamat dari penangkapan Dinasti Abbasiyah yang selalu mengejarngejar keturunan Umayah, bahkan berhasil memasuki Andalusia. Setelah berhasil menghadapi berbagai tantangan, antara lain penguasa Andalusia pada waktu itu, akhirnya Abdurrahman bin Mu‘awiyah berhasil mengambil alih kekuasaan.

Abdurrahman bin Mu‘awiyah memasuki wilayah Anda lusia ini antara lain karena adanya perselisihan di antara kabilah, khususnya masalah intern kabilah Arab dari Qais dan Yaman yang tidak setuju terhadap kepemimpinan Yusuf bin Abdurrahman al-Fihr. Ia juga mendapat dukungan dari warga Umayah yang telah tinggal di Andalusia, di samping dukungan dari suku Yaman yang sedang bertikai dengan Yusuf bin Abdurrahman al-Fihr.

Abdurrahman III menjadikan Andalusia suatu kekhalifahan dengan khalifah yang bergelar Amirulmukminin (912–1031). Gelar khalifah ini selanjutnya dipergunakan untuk para penggantinya sampai akhir masa pemerintahan Bani Umayah.

Setelah berakhirnya Bani Umayah (1031), Andalusia terpecah menjadi kerajaan kecil yang lazim disebut Muluk at-Tawa’if (raja kelompok/golongan) sebagaimana munculnya dinasti kecil di timur. Dinasti kecil itu antara lain Bani Abbad di Sevilla, Bani Hud di Saragosa, Bani Zun Nun di Toledo, Bani Ziri di Granada, dan Bani Hammud di Cordoba dan Malaga. Sesudah­ Muluk at-Tawa’if, muncullah Dinasti Murabitun yang berkuasa pada 1090–1147, kemudian Dinasti Muwahhidun (al-Muwahhidun) 1147–1232, dan selanjutnya Dinasti Bani Nasir 1232–1492.

Ketiga dinasti tersebut di atas mencapai kemajuan di berbagai bidang dan mengalami zaman keemasan ilmu pengetahuan dengan berhasil memunculkan lembaga pendidikan terkenal yang kemudian menelurkan para ilmuwan ternama. Ilmu pengetahuan berkembang dengan perantaraan bahasa Arab.

Orang Andalusia, baik muslim atau non­muslim, menerima dan mempelajari bahasa Arab. Akibatnya, lahirlah beberapa ahli bahasa, antara lain Ibnu Khuruf, Ibnu al-Hajj, Abu Hasan, Ibnu Asfur, Abu Hayyan al-Garnati, dan Ibnu Malik yang mengarang kitab al-Alfiyyah (buku tata bahasa Arab yang disusun dalam bentuk seribu bait syair).

Filsuf besar yang lahir dalam periode ini antara lain adalah Ibnu Tufail (w. 1185) yang menulis buku Hayy Ibn Yaqzan (buku filsafat yang berisikan­ cerita­ seorang anak yang dipelihara oleh rusa; filsafat akal dan wahyu); Ibnu Bajjah (w. 1138) yang dalam literatur Barat dikenal dengan Avenpace dan merupakan komentator karya Aristoteles, ahli fisika dan ahli musik; karyanya yang utama adalah Tadbir al-Mutawahhid (Susunan yang Menyatu); kemudian Ibnu Rusyd (di Barat dikenal dengan nama Averoes; 1126–1198) yang memberikan jawaban atas serangan al-Ghazali dalam bukunya Tahafut at-Tahafut (Kerancuan dari Kerancuan), dan komentar terhadap karya Aristoteles Jami‘ Talkhih (Rangkuman yang Lengkap). Karena pengaruhnya yang besar, di Eropa muncul suatu aliran filsafat yang dikenal dengan nama Averroisme.

Di samping ilmu ‘aqli (ilmu yang berdasar pada penalaran rasional) berkembang pula ilmu naqli (ilmu yang berdasar pada Al-Qur’an dan hadis). Di bidang tafsir Al-Qur’an, Andalusia melahirkan nama, antara lain Ibnu Atiah (w. 546 H/1151 M) dan al-Qurtubi (w. 671 H/1273 M).

Dua mufasir (ahli tafsir) ini menggunakan metode penulisan at-Tabari yang dikenal dengan Tafsir bi al-Ma’tsur. Di bidang hadis, terdapat para pakar seperti Ibnu Waddah bin Abdul Barr, al-Qadi bin Yahya al-Laisi, Abdul Walid al-Baji, Abdul Walid bin Rusyd, dan Abu Asim yang menulis kitab at-Tuhfah (Persembahan).

Dalam bidang fikih/syariat muncul beberapa ilmuwan terkemuka, umpamanya Abu Bakar al-Qutiyah, Ibnu Hazm yang menulis kitab al-Muhalla (tentang fikih) dan al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (tentang usul fikih), Munzir bin Sa‘id al-Balluti (w. 355 H/966 M) yang pernah menjadi hakim agung di masa pemerintahan Abdurrahman III, dan Ibnu Rusyd dengan kitabnya Bidayah al-Mujtahid (Permulaan bagi Seorang Mujtahid).

Di samping itu dalam bidang tasawuf, Andalusia memiliki nama seperti Muhyidin Ibnu Arabi, sufi ternama yang menghasilkan banyak karya tulis, antara lain al-Futuhat al-Makkiyyah (Penaklukan Mekah), dan terkenal dengan paham Wahdatul Wujud (kesatuan wujud).

Di bidang kedokteran Andalusia juga mencapai kejayaannya. Cordoba sebagai salah satu pusat aktivitas medis telah melahirkan beberapa ilmuwan terkemuka. Di antara ilmuwan yang banyak jasanya terhadap perkembangan ilmu medis Islam ialah Ibnu Rusyd yang menghasilkan karya besar Kitab al-Kulliyyat fi at-Thibb (tentang filsafat dalam ilmu kedokteran), suatu kitab referensi yang dipakai selama berabad-abad di Eropa. Di bidang obat-obatan dikenal nama-nama seperti Abu Ja‘far Ahmad bin Muhammad al-Gafiqi (w. 1165) dengan karyanya al-Adawiyyah al-Mufradah (uraian tentang berbagai macam obat) dan Abu Zakaria Yahya bin Awwam dengan karyanya yang berjudul al-Filahat (uraian tentang berbagai macam obat).

Dalam bidang pertanian, Andalusia sudah mengenal irigasi dan saluran air. Dengan pembangunan irigasi yang baik mereka dapat membangun­ kebun tebu, kapas, padi, jeruk, anggur, dan sebagainya. Kemajuan dalam bidang ini membawa kemakmuran dan kesejahteraan kepada masyarakat. Karena kemajuan ekonomi, Andalusia mampu membangun beberapa kota yang megah dan mempunyai banyak bangunan monumental.

Abdurrahman III membangun kota Cordoba sebagai pusat pemerintahan. Cordoba dilengkapi dengan taman, istana, jalan-jalan, masjid, perpustakaan, perkantoran, dan lain-lain. Kota termegah adalah az-Zahra yang dibangun Abdurrahman III dan kota Granada yang cantik dan megah yang memiliki Alhambra yang terkenal di seluruh dunia.

Cordoba juga terkenal dengan universitasnya, yaitu Universitas Cordoba. Universitas ini memiliki kampus yang luas dan megah yang dibangun al-Hakam II Abdurrahman III (961–976).

Kemajuan di bidang seni, seperti arsitektur dan desain, dapat dilihat dari keindahan Masjid Cordoba yang dibangun pada masa Abdurrahman ad-Dakhil. Di bidang sastra, Andalusia memunculkan nama seperti Ibnu Sayidar al-Andalusi yang menulis kitab al-Mu‘jam (ensiklopedi) dan Muhammad bin Hani’ yang menulis al-Andalus (uraian tentang Andalusia). Di bidang sejarah, dikenal Ibnu Qutiya (w. 927), penulis buku Tarikh Iftitah al-Andalus yang berisi sejarah penaklukan Andalusia sampai dengan masa awal kekuasaan Abdurrahman III.

Dalam bidang geografi, dari Andalusia muncul nama-nama cemerlang seperti Ibnu Abdul Aziz al-Bahri (w. 1094) dengan karyanya al-Masalik wa al-Mamalik (tentang geografi), al-Idrisi (1100–1166), Abul Husain Muhammad bin Ahmad al-Kinani bin Jubair (l. 1145) dengan karyanya Rihlah (Suatu Perjalanan), dan Muhammad al-Mazini (1080–1170), seorang ahli geografi terkenal.

Dalam bidang astronomi, terkenal nama az-Zarqali (l. 1029) di Toledo dan Abul Qasim Maslama bin Ahmad al-Farabi al-Hasib al-Majriti (w. 1007) di Cordoba, yang merupakan ilmuwan terkemuka muslim Andalusia angkatan pertama. Selain itu, muncul Jabir bin Aflah Abu Muhammad (w. 1204) di Sevilla yang menulis Kitab al-Hai’a, yang memuat angka trigonometri yang masih digunakan sampai sekarang, dan Nuruddin Abu Ishaq al-Bitruji (w. 1204) yang menulis Kitab al-Hai’a. Karya para astronom muslim ini telah banyak menyumbangkan istilah yang berasal dari bahasa Arab ke dalam perbendaharaan ilmu astronomi dan matematika.

Andalusia di bawah kekuasaan Islam mengalami kemajuan pesat dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan sehingga menjadi tujuan pencari ilmu di Abad Pertengahan. Kemajuan tersebut secara berangsur-angsur pudar dan akhirnya hilang. Yang tinggal adalah peninggalan sejarah masa lampau yang gemilang.

Munculnya dinasti kecil mengakibatkan disintegrasi kekuatan Islam di Andalusia. Mereka saling berperang dan bahkan diadu domba oleh pihak ketiga. Sementara dinasti kecil saling berperang, orang Kristen menyatukan diri untuk menaklukkan orang Islam dan mengusirnya dari Andalusia.

Secara politik kekuatan Islam berakhir pada penghujung abad ke-15, yang ditandai dengan kekalahan demi kekalahan kerajaan Islam. Pada 1469 Kerajaan Ferdinand dari Aragon dan Kerajaan Isabella dari Castilia bersatu menyerang kekuatan Islam di bawah kekuasaan Dinasti Ahmar di Granada. Pada 2 Januari 1492/2 Rabiulawal 897, ibukota Granada dikepung dan ditaklukkan penguasa Kristen.

Setelah orang Kristen menguasai Andalusia, gerakan Kristenisasi dilaksanakan, yaitu memaksa orang menganut kembali agama Kristen. Kardinal Ximenes de Cisneros menyingkirkan semua buku Arab yang menguraikan agama Islam dan membakarnya.

Pada 1556 Raja Philip II (raja Spanyol 1556–1598) mengumumkan suatu undang-undang agar kaum muslimin yang masih tinggal di Andalusia membuang kepercayaan, bahasa, adat istiadat, dan cara hidupnya. Pada 1609 Raja Philip III (1598–1621) mengusir secara paksa semua kaum muslimin dari Andalusia atau mereka dihadapkan pada dua pilihan, masuk Kristen atau keluar dari Andalusia.

Daftar Pustaka

al-Abadi, Abdul Hamid. al-Mujmal fi Tarikh al-Andalus. Cairo: Dar al-Qalam, 1964.
Chejne, Anwar G. Muslim Spain: Its History and Culture. Minneapolis: The University of Minnesotta, 1974.
Dozy, Rinhart. Spanish Islam: A History of the Moslems in Spain. London: Frank Cass, 1972.
Lambton, Ann K.S. State and Government in Medieval Islam. London: Oxford University Press, 1975.
Mann, Vivian B., Jerrilynn D. Dodds, and Thomas F. Glick. Convivencia: Jews, Muslims, and Christians in Medieval Spain. New York: George Braziller, Inc. & The Jewish Museum, 1992.
Sanders, J.J. A History of Medieval Islam. London: Routledge & Kegan Paul, 1980.
Tohir, Muhammad. Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus. Jakarta: Pustaka Jaya, 1981.

Abd. Karim Hafid