Ali Yafie

(Wani Donggala, Sulawesi Tengah, 1 September 1926)

Ali Yafie adalah salah satu dari sedikit ulama dan cendekiawan muslim dari lembaga pendidikan tradisional (pesantren), namun sangat mendalami ilmu fikih serta piawai melakukan interpretasi modern. Ia juga menjadi pengurus teras MUI dan ICMI Pusat serta guru besar beberapa perguruan tinggi Islam di Jakarta.

Nama asli Ali Yafie adalah Muhammad Ali. Ia adalah cucu Syekh Abdul Hafidz al-Bugisi, salah seorang ulama besar Melayu-Nusantara yang menjadi guru besar di Masjidilharam, Mekah. Kolega sezaman Syekh Abdul Hafidz al-Bugisi adalah Syekh Nawawi al-Bantani (ulama besar Banten; 1813–1897 menetap di Mekah) dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (ulama besar dari Minangkabau yang menetap di Mekah; 1860–1916). Ali Yafie tidak sempat berguru secara langsung kepada kakeknya itu, namun sang kakek meninggalkan banyak koleksi kitab berbahasa Arab dan Melayu, yang kelak dipelajari Ali Yafie di bawah bimbingan ayahnya.

Ali Yafie adalah anak kelima dari sembilan bersaudara. Sejak berusia 5 tahun, Ali Yafie belajar kitab kuning peninggalan kakeknya di bawah bimbingan ayahnya. Ia memperoleh pelajaran membaca kitab tersebut sambil belajar di Volkschool (sekolah rakyat yang dibuka pemerintah kolonial bagi anak-anak pribumi) di Parepare. Ketika berusia 12 tahun, Ali Yafie sudah mahir membaca kitab kuning.

Untuk memperdalam ilmu fikih, Ali Yafie kemudian menjadi santri pada beberapa ulama terkemuka di Sulawesi, antara lain Syekh Ali Mathar, Syekh Haji Ibrahim, dan Syekh Mahmud Abdul Jawad. Salah seorang guru yang membuatnya sangat terkesan adalah Syekh Muhammad Firdaus, seorang ulama Mekah yang datang ke Sulawesi Selatan. Ali Yafie belajar kepadanya selama 15 tahun.

Ali Yafie memulai kiprah sosial, politik, dan keagamaan dengan bergabung pada organisasi Nahdlatul Ulama (NU) cabang Parepare. Jabatan terakhir Ali Yafie di tingkat cabang NU adalah ketua Syuriah Dewan Pimpinan Cabang NU. Baginya, NU tidak saja merupakan wadah bagi pengabdian sosial keagamaan, tetapi juga menjadi panggilan nuraninya. Atas dedikasinya di NU, pada 1953–1958 ia dipercaya menjadi anggota DPRD Tingkat II Kabupaten Parepare pada usia relatif muda (27 tahun). Sebagaimana ayahnya, sejak saat itu Ali Yafie aktif di panggung politik.

Setelah aktif di NU, pada 1947 ia juga aktif di Dar ad-Dakwah wa al-Irsyad (DDI), sebuah organisasi yang bergerak dalam pendidikan keagamaan yang memiliki cabang di seluruh Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. DDI didirikan Syekh Abdurrahman Firdaus dan KH Abdurrahman Ambo Dalle, dua ulama Parepare. Bahkan kemudian Ali Yafie dipercaya sebagai ketua umum organisasi ini (1963–1966).

Karena menguasai ilmu fikih secara mendalam, pada 1959–1962 ia diangkat menjadi hakim Pengadilan Tinggi Agama di Makassar (dulu Ujungpandang). Ia mengemban jabatan ini setelah merintis karier sebagai pegawai kantor Departemen Agama di Parepare sejak 1951. Demi memenuhi tugasnya sebagai hakim, Ali Yafie pindah ke Makassar pada tahun itu juga. Di sela-sela kesibukannya sebagai hakim di Makassar, ia juga mengajar di sebuah madrasah serta SMA dan menjadi dosen di Universitas Muslim Indonesia (UMI) serta IAIN Makassar.

Pada 1962–1966 ia dipromosikan menjadi kepala Inspektorat Peradilan Agama Wilayah Indonesia Bagian Timur. Pada masa ini, Ali Yafie juga diangkat menjadi anggota staf harian merangkap anggota Dewan Pleno Badan Pembinaan Potensi Karya Kodam XIV Hasanuddin (1961–1965). Lepas dari dunia birokrasi, Ali Yafie kemudian kembali ke kampus; dan pada 1966–1972 ia terpilih menjadi dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Makassar.

Di Makassar, Ali Yafie tidak meninggalkan dunia politik. Pada 1960-an ia kembali dipilih menjadi anggota DPR-GR Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara (sekarang Sulawesi Selatan) mewakili NU. Pada 1971 karier politiknya terus menanjak dan ia terpilih menjadi anggota DPR RI yang mewakili NU; dan sejak saat itulah ia tinggal di Jakarta.

Ketika pemerintah Orde Baru pada 1973 mengeluarkan kebijakan tentang penyederhanaan partai politik, Partai NU –antara lain bersama Sarekat Islam (SI), Perti, dan Muslimin Indonesia (MI)– melakukan fusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada 1974 Ali Yafie memutuskan bergabung ke dalam partai politik hasil fusi ini dan duduk sebagai Rais Majelis Syura PPP.

NU yang keluar dari PPP ketika muktamar NU di Situbondo (1983) memutuskan bahwa NU kembali ke Khitah 1926. Meskipun demikian, Ali Yafie tetap aktif menjadi anggota DPR/MPR RI hingga ia benar-benar mengundurkan diri dari aktivitas politiknya (1987).

Ali Yafie termasuk di antara kiai NU yang tidak memiliki pondok pesantren sendiri. Kenyataan ini membuatnya selalu merasa sebagai santri yang harus terus-menerus belajar. Kegigihan untuk terus belajar dan pengalaman hidup yang panjang menjadikannya pribadi sangat bersahaja.

Pergulatannya yang mendalam di bidang fikih membuatnya sangat akrab dengan perbedaan pendapat, meskipun tetap teguh pada pendirian dan kuat memegang prinsip. Sikap teguh itu ia tunjukkan meskipun harus berbeda pandangan dengan KH Abdurrahman Wahid, ketua umum Tanfidziah PBNU, tentang dana Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB).

Ali Yafie tidak bisa menerima kenyataan bahwa PBNU menerima bantuan dana dari pengelola SDSB, karena sejak awal ia menentang keberadaan SDSB. Pernyataan PBNU yang tidak membenarkan SDSB, pembebastugasan Ghaffar Rahman (sekjen PBNU ketika itu), dan peringatan keras kepada ketua umum Tanfidziah PBNU (KH Abdurrahman Wahid) tidak bisa mencegah niat Ali Yafie mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Rais Am Syuriah PBNU.

Pada 5 November 1991, Ali Yafie secara resmi menyampaikan surat pengunduran dirinya. Surat itu disampaikan kepada Katib Syuriah PBNU, KH Ma’ruf Amin, kemudian diteruskan kepada Rais Am Syuriah PBNU, KH Sahal Mahfudz.

Ali Yafie juga  berbeda pendapat dengan KH Abdurrahman Wahid dalam soal Forum Demokrasi (Fordem) dan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Ia mempertanyakan aktivitas KH Abdurrahman Wahid dalam Fordem, yang menurutnya banyak merugikan NU.

Sementara itu, pada 1991 ia kembali berbeda pendirian ketika KH Abdurrahman Wahid memberi reaksi negatif terhadap ICMI, ketika Ali Yafie tercatat sebagai salah seorang pendiri dan pengurus ICMI.

Beberapa tahun sebelum melepas aktivitas politiknya, Ali Yafie aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menjadi pengurusnya sejak 1985. Ia kemudian dipercaya menjadi salah satu ketua MUI pada 1990–1995. Dengan wafatnya ketua umum MUI (KH Hasan Basri), melalui rapat paripurna MUI pada 11 Februari 1999, A. Malik Fadjar (menteri Agama) selaku ketua Dewan Pertimbangan MUI mengangkat Ali Yafie menjadi ketua umum MUI sampai musyawarah kerja nasional MUI pada Juli 2000.

Pada 2 Desember 2000, Ali Yafie diberi penghargaan oleh Yayasan Pelita Ilmu (YPI) karena mengelurkan fatwa kepedulian terhadap penanggulangan AIDS ketika menjabat ketua umum MUI.

Ali Yafie sangat mendalami ilmu fikih serta piawai melakukan interpretasi modern terhadap doktrinnya. Semua pokok pemikirannya merujuk pada bidang ilmu fikih, dan tetap mempertimbangkan tradisi di luar fikih yang berubah sangat dinamis. Kumpulan tulisannya yang kemudian dibukukan, Menggagas Fikih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah (1994), mencerminkan pokok pemikiran Ali Yafie yang menempatkan fikih sebagai referensi otoritatif dan pedoman arif bagi perkembangan sosial kemasyarakatan.

Penguasaannya dalam ilmu fikih dan interpretasi modern terhadap doktrin fikih membuat Ali Yafie menjadi tenaga pengajar pada beberapa perguruan tinggi agama ternama di Jakarta. Pada 12 Oktober 1991, Ali Yafie dikukuhkan sebagai guru besar ilmu fikih oleh Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ); ia juga mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN Syarif Hidayatullah); Universitas Islam asy-Syafi’iyah, Jakarta; dan Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta. Otoritasnya di bidang fikih juga membuatnya dipercaya sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah Bank Muamalat Indonesia (BMI).

Daftar Pustaka

Departemen Penerangan RI. 10 Tahun Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: t.p., 1985.
Sofyan A. Kumba dan Muhammadiyah Amin, ed. KH Ali Yafie: Jati Diri Tempaan
Fikih. Jakarta: FKMPASS-Bank Muamalat Indonesia, 2001.
Yafie, Ali. “Arti Kehadiran Kitab Kuning bagi Perkembangan Hukum di Indonesia,” Mimbar Ulama, Tahun XIII, No. 133, September, 1988.
–––––––. Menggagas Fikih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah. Bandung: Mizan, 1994.
–––––––. “Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis, et.al. Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H Munawir Sjadzali, M.A. Jakarta: IPHI Paramadina, 1995.

Achmad Syahid