al-Badawi, Ahmad

Ahmad al-Badawi (596 H/1199 M–12 Rabiulawal 675/24 Agustus 1276) adalah seorang sufi kelahiran Fez (Maroko) dan pendiri Tarekat Ahmadiyah. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Ibrahim al-Badawi. Ia disebut al-Badawi, karena memakai kain penutup hidung dan mulut seperti yang biasa dipakai orang Badui di Afrika.

Al-Badawi mempunyai hubungan darah dengan Ali bin Abi Thalib dari keturunan Ma‘ad bin Adnan. Karena itu, di kalangan ahli tarekat ia disebut sayid, gelar khusus yang diberikan kepada keluarga dan cucu Nabi SAW. Dalam berbagai sumber tidak ditemukan siapa nama ayahnya, sedangkan ibunya diketahui bernama Fatimah.

Yang jelas, ayahnya meninggal di Mekah ketika menunaikan ibadah haji dan dimakamkan di Ma‘la, tempat pemakaman umum di Mekah. Nenek moyang al-Badawi sesungguhnya adalah penduduk asli Semenanjung Arabia, tetapi kemudian pada 73 H/693 M pindah ke Fez (Maroko), ketika situasi Semenanjung Arabia tidak menentu.

Pada masa mudanya al-Badawi sangat terkenal dengan keahliannya menunggang kuda sehingga ia digelari al-Attab. Ia juga salah seorang ahli qiraah yang dapat menghafal Al-Qur’an dan dapat membacanya dengan qiraah tujuh (tujuh model bacaan Al-Qur’an). Ia mempelajari sedikit tentang fikih Imam Syafi‘i. Sampai akhir hayatnya ia tidak menikah.

Sebagai seorang sufi, ia melakukan amalan yang lebih mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Di waktu malam ia senantiasa melakukan salat malam dan membaca Al-Qur’an. Beberapa saat lamanya ia mengasingkan diri dari keramaian orang. Dalam keadaan demikian ia hidup dalam keadaan tidak berbicara dengan orang. Ia menyatakan isi hatinya hanya melalui isyarat.

Pada 603 H/1206 M, ketika masih kanak-kanak, ia pergi ke Mekah bersama keluarganya untuk menunaikan ibadah haji dan tinggal di sana selama lebih kurang 4 tahun. Ia mengunjungi Mekah untuk kedua kalinya beberapa tahun setelah berada kembali di Fez.

Pada 633 H/1236 M, dengan ditemani saudaranya Hasan bin Ali bin Ibrahim, ia menziarahi makam para sufi dan syekh tarekat di Irak, seperti Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H/1166 M), tokoh dan pendiri Tarekat Kadiriyah; Abu Mansur al-Hallaj (w. 309 H/922 M), seorang tokoh tasawuf yang terkenal dengan pengalaman hululnya; dan Adi bin Musafir al-Hakari Abu al-Fada’il (w. 558 H/1163 M), juga seorang tokoh tasawuf. Kunjungan ini memberi pengaruh yang besar dalam menumbuhkan rasa keagamaan yang mendalam dalam diri al-Badawi.

Pada 634 H/1237 M ia melakukan perjalanan ke Tanta, sebuah desa kecil di sebelah utara Cairo (Mesir), dan tinggal di sana sampai ia wafat. Di sinilah ia mulai mengarahkan hidupnya sebagai seorang sufi.

Perjalanan kesufiannya dimulai ketika ia suatu waktu naik ke atap sebuah rumah, lalu mengarahkan matanya pada sinar matahari, sampai matanya terasa sakit dan menjadi merah bagaikan bara api. Sewaktu-waktu ia berteriak dengan keras dan sesekali ia diam tanpa bersuara sedikit pun.

Dalam keadaan demikian, ia tidak makan dan minum selama kurang lebih 40 hari. Keadaan matanya yang sakit itu membuatnya meminta Abd al-Al, salah seorang anak muda yang selalu menemaninya, untuk mencarikan obat baginya. Anak muda tersebut kemudian menjadi muridnya yang terkemuka dan setelah ia meninggal menjadi penggantinya sebagai pemimpin tarekat.

Di Tanta ia terkenal sebagai seorang yang keramat dan memiliki kelebihan. Karena itu ia didatangi banyak orang yang menyatakan diri menjadi muridnya. Kedatangan para murid yang belajar kepadanya membuat desa Tanta ramai dan besar.

Tarekat yang dibawanya berkembang terus dan memberikan pengaruh besar dalam sejarah Mesir, baik dari segi agama, sosial, ekonomi, dan pemikiran. Tarekat ini terkenal dengan nama Tarekat Ahmadiyah.

Menurut Abdul Mun‘im al-Hifni (ahli tasawuf), tidak banyak tulisan yang ditinggalkan al-Badawi. Ia hanya meninggalkan beberapa tulisan yang berisi bacaan dan doa yang berbentuk hizb (kumpulan), wirid, wasiat, dan salawat yang harus dibaca atau diamalkan muridnya.

Bacaan yang termasuk dalam hizb di antaranya ialah 1) Bismillah (Dengan nama Allah), 2) Rabbi la tadzarni fardan wa anta khair al-waritsin (Ya Allah, janganlah tinggalkan aku sendirian, dan Engkau adalah sebaik-baik yang mewariskan), 3) surah al-Fil, 4) La haula wa la quwwata­ illa bi Allah al-‘Aliyyi al-‘Azim (Tidak ada kemampuan dan kekuatan selain dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Agung), 5) selawat kepada Nabi SAW, dan 6) hamdalah.

Hizb ini dibaca setelah membaca surah al-Fatihah sebanyak 100 kali dan As-Shamadiyah (al-Asma’ al-husna) sebanyak 100 kali.

Dalam Tarekat Ahmadiyah terdapat wirid-wirid yang harus dibaca setiap hari sesudah salat lima waktu, berdasarkan wasiat al-Badawi kepada Abd al-Al. Al-Badawi berkata,

“Ya Abd al-Al, kuwasiatkan kepadamu untuk bertakwa kepada Allah dalam keadaan sunyi maupun ramai, dan senantiasalah melakukan salat sunah dan berjemaah setiap waktu. Setelah selesai salam, bacalah ayat Kursi sekali, tasbih 33 kali, selawat kepada Nabi 100 kali, dan berzikir 300 kali.

Jika engkau sanggup membacanya setiap kali sesudah salat fardu, akan terbuka bagimu segala kebaikan. Jika tidak sanggup, bacalah sesudah subuh, magrib, dan isya. Jika tidak sanggup pula, bacalah sekali sehari. Jika ketinggalan membacanya, bacalah seluruhnya pada hari lain sebagai gantinya. Senantiasalah berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Salat dua rakaat tengah malam lebih baik bagimu daripada salat 1.000 rakaat di siang hari.”

Selain itu, ada pula wirid-wirid tertentu yang harus dibaca setiap hari tertentu. Misalnya, pada hari Ahad, selawat kepada Nabi SAW 150 kali serta hamdalah dan takbir sekurang-kurangnya 100 kali; dan pada hari Senin, Subbuh Quddus sekurang-kurangnya 100 kali. Di samping itu ada pula selawat tertentu yang dibaca.

Menurut al-Badawi, orang yang bertakwa dan berbuat kebajikan dekat dengan Allah SWT. Karena itu ia berwasiat kepada Abd al-Al agar berbuat kebajikan, seperti menyayangi anak yatim, memberi makan yang lapar dan memberi minum yang haus, memuliakan para tamu, dan menutup aurat.

Ajaran tarekat dan tasawuf yang dikembangkan Tarekat Ahmadiyah berkaitan dengan moral dan pengenalan akan diri Tuhan. Pokok ajarannya antara lain adalah al-Hilm (sopan santun), al-ilm (ilmu, pengetahuan), as-sakha (kedermawanan), asy-syafaqah (menyayangi), As-Shabr (bersikap sabar), at-taqwa (bertakwa), al-faqr (bertasawuf), at-taubah (bertobat), az-zuhd (bersikap zu­hud), dan at-tafakkur (berpikir tentang ciptaan Allah SWT).

Ajaran tarekat ini dikembangkan para murid dan pengikut al-Badawi, terutama di Mesir. Di sana kini telah banyak didirikan berbagai tarekat kecil yang merupakan cabang Tarekat Ahmadiyah, di antaranya Tarekat al-Halbiyah, asy-Syu‘aibiyah, at-Tiqyaniyah, al-Hamudiyah, az-Zahidiyah, al-Fargaliyah, dan al-Bayumiyah.

Abd al-Al, yang sejak kecilnya hidup bersama dengan al-Badawi sebagai teman dan sebagai murid selama lebih kurang 40 tahun, menggantikan kedudukannya sebagai khalifah tarekat setelah al-Badawi wafat. Sebagai pengganti al-Badawi, ia memakai pakaian seperti yang dipakai gurunya itu, yaitu kopiah dan kain penutup mulut berwarna merah.

Ia menyebarkan ajaran tasawuf yang ditinggalkan gurunya. Pengikutnya cukup banyak, tidak hanya di Mesir, melainkan juga di negara-negara lain. Di antara mereka ialah Ibnu Daqiq al-Id (w. 702 H/1303 M), Ibnu al-Laban (w. 739 H/1338 M), dan Abdul Wahhab asy-Sya‘rani (w. 973 H/1565 M).

Kehidupan tokoh tasawuf al-Badawi dengan tarekat yang didirikannya tidak hanya mendapat perhatian dari ulama, tetapi juga dari sarjana Barat. Al-Maqrizi (sejarawan, 767 H/1364 M–848 H/1442 M), Ibnu Hajar al-Asqalani, dan as-Suyuti pernah menulis tentang riwayat hidupnya; Ali al-Halabi (w. 1044 H/1634 M) dan Hasan Rasyid al-Masyhadi al-Khafaji, seorang tokoh tarekat Mesir, menulis tentang tarekatnya.

Gaston Maspero (1846–1916), Ebers, dan Goldziher (seorang orientalis Hongaria, 1850–1921) merupakan sarjana Barat yang pernah menulis tentang al-Badawi dan tarekatnya.

Daftar Pustaka

Arberry, A.J. An Account of Mystics of Islam. London: George Allen & Unwin Ltd., 1979.
Burckhard, Titus. An Introduction to Sufi Doctrine. Lahore: Muhammad Ashraf, 1973.
al-Isfahani. Abu Nu’aim. Hilyah al-Auliya’. Cairo: Matba‘ah as-Sa‘adah, 1922.
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Mazhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969.
Khan, Khan Sahib Khaja. Studies in Tasawwuf. New Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delhi, 1978.
Nicholson, Reynold A. Fi at‑Tasawwuf al‑Islami wa Tarikhih, terj. Abu al‑Ala‑Af-fifi. Cairo: Lajnah at‑Ta‘lif wa at‑Tarjamah wa an‑Nasyr, 1969.
_________________. The Mistics of Islam. London: Routledge and Kegan Paul, 1975.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ganimi. Madkhal ila at-Tasawwuf al-Islami. Cairo: Dar as-Saqafah li at-Tauzi’ wa an-Nasyr, 1983.
_____________________________. Sufi  dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Usmani. Bandung: Pustaka, 1985.

Thib Raya