Al-Ahkam Al-Madaniyyah

Istilah yang menunjuk kepada pengertian “hukum sipil”, “hukum perdata”, atau “hukum privat” disebut al-ahkam al-madaniyyah. Arti ini menunjukkan adanya pengaruh baru dalam istilah hukum Islam, khususnya dari sistem hukum Barat melalui penjajah di negeri Islam di abad ke-19. Karena itu, al-ahkam al-madaniyyah lebih tampak dalam bentuk undang-undang (al-qanun) resmi negara.

Al-ahkam al-madaniyyah mengatur segala hal dalam hubungan perseorangan, yang mencakup persoalan hukum keluarga, aturan mendirikan usaha dan menyelenggarakan transaksi, aturan pengelolaan keuangan, barang dan jasa, aturan tentang hak milik, aturan sekitar wakaf, wasiat serta hibah, dan persoalan sengketa hubungan antarkepentingan perseorangan.

Ihwal hukum yang dicakup al-ahkam al-madaniyyah sebelumnya telah dikenal dengan istilah fiqh al-mu‘amalah (hukum perdata Islam), namun fiqh al-mu‘amalah lebih murni bersifat pemikiran daripada al-ahkam al-madaniyyah yang telah masuk atau merupakan bagian dalam kerangka “hukum positif”.

Dalam kajian literatur Islam, pembicaraan mengenai al-ahkam al-madaniyyah atau al-qanun al-madani selalu memiliki keterkaitan organik dengan asy-syari‘ah al-Islamiyyah (hukum Islam), meskipun secara terminologis kedua istilah itu dapat dibedakan. Al-Mustasyar Abdus Sattar Adam, seorang ahli fikih Mesir, dalam tulisannya asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Madani al-Misri (Syariat Islam dan Hukum Sipil Mesir), menyebutkan bahwa asy-syari‘ah menurut arti kebahasaan adalah sumber air yang oleh manusia–demikian pula segala jenis binatang–dijadikan sebagai akses bahan mineral.

Secara terminologis yang dikenal dalam Islam, syari‘ah adalah hukum atau tata aturan yang berisikan kumpulan ajaran Allah SWT untuk ditaati oleh para hamba-Nya berkenaan dengan hubungan antara manusia dan Tuhannya serta hubungan antarsesama manusia­.

Kata asy-syari‘ah al-Islamiyyah selanjutnya dikenal dengan rumusan sistem hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah. Termasuk dalam sistem ini adalah materi hukum yang dihasilkan oleh para pemikir hukum Islam yang biasa disebut ijtihad. Dalam batas wilayah ijtihad inilah syariat Islam dapat mengalami perubahan materi hukum dari zaman ke zaman.

Adapun al-Qanun dipahami dalam pengertian kumpulan tata aturan yang mengatur pelbagai ragam kepentingan masyarakat dengan ciri khas yang memiliki kepastian hukum melalui alat kekuasaan negara. Al-Qanun yang melindungi kepentingan publik muncul dalam perundang-undangan yang dikenal dengan hukum pidana (al-Qanun al-Jina’i), hukum tata usaha negara (al-Qanun al-Idari), dan hukum internasional tentang perang serta damai (al-Qanun ad-Dauli al-‘Ïmm).

Hukum perdata (sipil atau privat) sebagaimana yang diperkenalkan Barat ke negeri-negeri Islam pada mulanya masih dalam bentuk asli, terutama yang berbahasa Perancis, ketika negeri-negeri Islam tersebut masih berada dalam kendali kekuasaan kolonial. Karena diberlakukan kepada warga yang umumnya lebih menguasai bahasa Arab, hukum ini kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab.

Setelah hukum itu dipahami oleh masyarakat yang kepadanya diberlakukan hukum Perancis, selanjutnya terjadi berbagai kontroversi terhadap bagian materi hukum yang dirasakan bertentangan dengan keyakinan serta kelaziman hukum masyarakat. Lama-kelamaan undang-undang itu mengalami beberapa kali perubahan dengan mengadopsi perundang-undangan hukum perdata negara lain, baik dari Italia ataupun Jerman, dengan memperhatikan semangat hukum Islam yang telah menjiwai masyarakat tempat hukum itu hendak diberlakukan.

Setelah negeri-negeri Islam menjadi merdeka, kerangka sistem hukum Barat masih tetap mewarnai struktur hukum negara masing-masing, meskipun bahan bakunya tetap banyak diambil dari materi hukum yang dikenal dalam literatur mazhab fikih Islam klasik.

Contoh yang dapat dianggap realistis untuk melihat bentuk al-ahkam al-madaniyyah sebagai produk sejarah di negara-negara Islam adalah Undang-Undang Hukum Perdata Mesir yang dikeluarkan pada 16 Juli 1948 dan diberlakukan pada 15 Oktober 1949.

Undang-undang tersebut digali dari empat sumber: (1) undang-undang hukum perdata Mesir yang dikeluarkan pada 1876 dan 1883 yang berasal dari undang-undang Perancis; (2) undang-undang dari negara lain seperti Italia, Spanyol, Portugal, Belanda, dan Jerman, yang pernah diberlakukan pada beberapa negara di dunia Islam, seperti Maroko, Tunisia, dan Libanon; (3) keputusan pengadilan Mesir sendiri sejak diberlakukannya undang-undang Perancis; dan (4) syariat islamiah.

Meskipun digali dari berbagai sumber, undang-undang hukum perdata Mesir tetap mencerminkan keterkaitannya dengan nas syarak dalam hampir semua segi. Apabila tidak ditemukan nas syarak, hakim menetapkan hukum berdasarkan ‘urf (kebiasaan), atau diterapkan kaidah usul yang lain sebagaimana dikenal dalam teori hukum Islam. Apabila tidak juga ditemukan pemecahannya, barulah hakim mempertimbangkan prinsip keadilan yang dikenal secara universal dari berbagai teori ilmu hukum Barat atau hukum wadh‘i. Dengan demikian, hukum perdata di Mesir pada dasarnya dapat disebut “Hukum Perdata Islam”.

Ajaran etik yang memberikan landasan bagi terwujudnya sistem tatanan hukum antara lain adalah “etika keadilan”. Etika ini mengajarkan (1) tegaknya porsi yang seimbang antara beban tanggung jawab yang dipikul dan imbalan prestasi yang di­terima; (2) terpenuhinya kadar yang sama antara kualifikasi dan kuantifikasi ukuran (sukatan atau timbangan) dalam setiap curahan tenaga, pikiran, barang, serta jasa yang sama; dan (3) memberikan pilihan modus “jalan tengah” setiap kali mengintegrasikan konflik kepentingan.

Kemudian “etika maslahat” memberikan alternatif ihsan (kebajikan) terhadap setiap objek hukum. Karena itu, barang serta jasa sebagai objek perdata tidak semata-mata dilihat dalam fungsi tunggal. Maksudnya, di samping memiliki fungsi ekonomis, barang dan jasa hendaknya juga memiliki fungsi sosial.

Terkait dengan peristilahan yang digunakan, yakni al-ahkam al-madaniyyah, sebutan itu mengesankan bahwa Islam menginginkan sistem hukum perdata yang etis bagi masyarakat beradab. Karena itulah al-ahkam al-madaniyyah harus dinamis sehingga selalu aktual.

Daftar Pustaka

Abdul Raziq, Ali. al-Islam wa Usul al-hukm. Cairo: t.p., 1925.
Adam, Abdus Sattar. asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Madani al-Misri. Cairo: Lajnah al-Khabra, 1969.
ad-Duraini, Fathi. al-Fiqh al-Islami al-Muqarin min al-Madzahib. Damascus: Jami’ah ad-Damsyiq, 1980.
–––––––. al-Haqq wa Mada sulthan ad-Daulah fi Taqyidih. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1977.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Siyasi wa ad-Dini wa ats-saqafi wa al-Ijtima‘i. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Ibnu Taimiyah, Ahmad Taqiyuddin. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: Dar asy-Sya‘b, 1980.
al-Maududi, Abul A’la. al-hukumah al-Islamiyyah. Jedah: Dar as-Sa‘udiyah li an-Nasyr wa at-Tauzi‘, t.t.
al-Mawardi, Abu Hasan. al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1973.

Muhammad Hasyim