Abdurrahman bin Abi Hatim adalah seorang tokoh hadis yang hafiz dan ahli di bidang ushul fikih, fikih, dan tafsir. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Muhammad Abi Hatim bin Idris bin Munzir bin Dawud bin Mihran Abu Muhammad at‑Tamimi al‑Hanzali ar‑Razi. Karena ia tinggal di Hanz ala, Rayy, namanya dinisbahkan dengan keduanya: al‑Hanzali dan ar‑Razi.
Abdurrahman bin Abi Hatim berasal dari keluarga yang cinta ilmu. Ayahnya, Muhammad Abi Hatim, adalah juga seoang ulama yang menguasai banyak cabang ilmu keagamaan: hadis, tafsir, fikih, sejarah, dan sebagainya. Oleh karena itu, ia mulai belajar agama pada ayahnya sendiri. Ia banyak meriwayatkan hadis dari ayahnya. Setelah itu, ia belajar dan meriwayatkan hadis dari Ibnu Warah, Abu Zur’ah, al‑Hasan bin Arafah, Abu Sa’id al‑Asaj, dan Yunus bin Abd al‑A’la.
Ia kemudian mencari hadis ke berbagai pusat ilmu keislaman dan belajar serta meriwayatkan hadis dari ulama besar. Ia mengadakan pengembaraan ilmiah ke Hijaz (terutama Mekah dan Madinah), Suriah, Mesir, Irak, al‑Jibal (timur Azerbaijan), dan al‑Jazirah (utara Suriah). Kawasan tersebut sudah berkembang pesat sebagai pusat kajian ilmu keislaman.
Setelah ia diakui sebagai ulama besar, banyak penuntut ilmu datang kepadanya untuk belajar dan meriwayatkan hadis. Di antara ulama hadis yang meriwayatkan hadis darinya adalah Abu asy‑Syaykh al‑Hayyan dan Yusuf al‑Mayanaji, seorang ulama yang berasal dari Mayanaj, suatu daerah di Suriah.
Muridnya, Yusuf al‑Mayanaji, mengatakan, “Ia adalah seorang ulama besar yang saleh, sama sekali tidak pernah berbuat dosa, baik karena lalai apalagi karena disengaja.” Ia dikenal sebagai seorang ulama yang banyak beribadah, seorang zahid (pelaku zuhud), warak, dan hafiz.
Diriwayatkan bahwa ketika selesai menunaikan salat, salah seorang anggota jemaah yang berimam kepadanya berkata, “Mengapa engkau begitu lama sujud? Aku, dalam sujud itu, membaca tasbih (bacaan sujud) sebanyak tujuh puluh kali.” Ia menjawab dengan berkata, “Demi Allah, aku hanya membaca tasbih sebanyak tiga kali”. Riwayat ini dapat dijadikan indikasi betapa khusyuknya ia dalam beribadah.
Ia juga, termasuk seorang ulama yang produktif, yang mengarang buku yang bernilai tinggi tentang berbagai bidang ilmu. Karyanya, yang berjudul al-Jarh wa at‑Ta‘dil (Cacat Tidaknya Perawi Hadis) terdiri atas delapan jilid, dapat dikatakan sebagai salah satu karya yang paling baik dan besar tentang hadis.
Berkenaan dengan kitab ini ada satu riwayat. Abu ar‑Rabi’ Muhammad bin Fadl al‑Balakhi meriwayatkan dari Ibnu Mihrawaih ar‑Razi dari Ali bin Husain al‑Junaid bahwa Yahya bin Ma’in, seorang ahli yang terkenal ketat dalam ilmu al-jarh wa at‑ta‘dil, berkata, “Kami telah mencela beberapa golongan (maksudnya tentu celaan yang berhubungan dengan kepentingan periwayatan hadis), semoga mereka sudah berada di dalam surga 200 tahun yang lalu.”
Riwayat ini disampaikan kepada Abdurrahman bin Abi Ha-tim oleh Ibnu Mihrawaih ketika Ibnu Abi Hatim sedang membaca kitabnya al-Jarh wa at‑Ta‘dil. Mendengar riwayat itu, ia kemudian menangis, tangannya gemetar sehingga buku yang ada di tangannya terjatuh. Ia kemudian meminta Ibnu Mihrawaih mengulangi riwayat itu kepadanya, dan setelah mendengarnya, ia kembali menangis.
Riwayat ini menunjukkan bahwa kalau bukan untuk kepentingan periwayatan hadis, tentu ia akan sangat merasa berdosa mengungkap cacat orang lain. Dengan demikian, ia akan sangat berhati‑hati dalam melakukan penilaian terhadap perawi hadis.
Dalam bidang hadis ini, ia juga menulis sebuah buku besar berjudul al‑Musnad (Kitab Sandaran) sebanyak 12 jilid, dan dua jilid buku yang berjudul ‘Ilal al‑Hadis (Kelemahan Hadis). Karena menggunakan sistematika (bab) fikih, kitab hadis terakhir ini juga dapat dikatakan sebagai kitab fikih. Dalam bidang fikih sendiri, menurut al‑Hafiz Syamsuddin Muhammad bin Ali bin Ahmad ad‑Dawuri (w. 945 H/1538 M) dalam kitabnya Tabaqat al‑Mufassirin (kitab yang membahas tokoh tafsir), Abdurrahman bin Abi Hatim juga menulis kitab fikih dan kitab yang membahas perbedaan pendapat di kalangan para sahabat, tabiin, dan ulama di beberapa kota.
Bukunya dalam bidang tafsir yang berjudul Tafsir Al‑Qur’an al‑Karim (empat jilid, dua di antaranya ditemukan sebagai manuskrip) menghimpun banyak sekali hadis dan informasi (penafsiran) dari kitab tafsir sebelumnya, sehingga dapat dikatakan bahwa kitab ini menghimpun kitab tafsir sebelumnya secara sempurna.
Sebagian ulama bahkan menilai bahwa kualitas kitab tafsirnya ini tidak kalah, malah, lebih baik, daripada kitab tafsir Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir at‑Tabari. Oleh karena itu, kitab ini menjadi rujukan bagi mufasir yang datang kemudian.
Ia juga dikenal sebagai seorang mutakalim (teolog) dan menulis sebuah buku besar yang berjudul ar‑Radd ‘ala al‑Jahmiyyah (Penolakan terhadap Aliran Jahmiyah). Di dalam buku ini ia berusaha membuktikan bahwa ajaran yang dipelopori Jahm bin Sofwan –yang kemudian melahirkan aliran Jahmiyah– tidak mempunyai dasar yang kuat di dalam Islam.
Jahm bin Sofwan membawa paham jabariyah dan fatalistik, yang mengajarkan bahwa manusia serba terpaksa dalam perbuatannya. Artinya, perbuatan manusia itu pada dasarnya adalah perbuatan Allah SWT.
Sebagaimana biasanya pada ahli hadis pada masa itu, ia juga seorang sejarawan. Karyanya al‑Jah wa at‑Ta‘dil tersebut di atas dapat dikategorikan sebagai buku sejarah karena menghimpun data biografis tokoh perawi hadis. Di samping buku ini, dalam bidang sejarah ia juga menulis buku yang berjudul Manaqib asy‑Syafi‘i (Budi Pekerti [Riwayat Hidup] Imam Syafi‘i) dan Manaqib Ahmad (Budi Pekerti atau Perangai [Riwayat Hidup] Ahmad bin Hanbal/Imam Hanbali).
Karyanya yang lain adalah al‑Kunya (Julukan), al‑Fawa’id al‑Kubra (Faedah Besar), dan al‑Marasil (Hadis Mursal). Bahkan ia juga menulis tema yang berbau tasawuf, seperti Kitab az‑Zuhd (Kitab Zuhud).
Daftar Pustaka
Abu Zahw, Muhammad. al-Hadis wa al-Muhaddisun. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1984.
al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl bin Hajar. Tahzib at-Tahzib. Hyderabad: Majlis Da’irah al-Ma‘arif Nizamiyah al-Ka’inah fi al-Hind, 1327 H.
ad-Dawudi, Syamsuddin Muhammad bin Ali. Tabaqat al-Mufassirin. Cairo: Maktabah Wahbah, 1972.
Kahhalah, Umar Rida. Mu‘jam al-Mu’allifin. Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, 1976.
Ibnu Kasir, al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il. al-Bidayah wa an-Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
az-Zarkali, Khairuddin. al-A‘lam, Qamus Tarajum li Asyhur ar-Rijal wa an-Nisa’ min al-‘Arab wa al-Musta‘ribin wa al-Mustasyrikin. t.tp.: Matba‘ah Kustansumas wa Syuraka’uh, 1954.
Badri Yatim