Abdurrahman, Tunku

(Alor Star, Kedah, Malaysia, 8 Februari 1903 - Kualalumpur, 6 Desember, 1990)

Tunku Abdurrahman adalah seorang negarawan, “bapak kemerdekaan Malaysia”, dan sekjen pertama Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Jiddah. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman Putera al-Haj. “Tunku” adalah gelar putra raja di Semenanjung Malaka. Biasanya gelar ini dibaca “Tuanku” tetapi menurut dialek Kedah dibaca “Tunku”. Di Indonesia populer juga sebutan “Tengku”.

Tunku Abdurrahman adalah putra ketujuh sultan Kedah, Abdul Hamid Halim Syah. Ibunya, Menjelana, adalah putri seorang kepala suku di daerah Sjan, Thailand. Sewaktu berumur 12 tahun, Tunku Abdurrahman memasuki sekolah Inggris di Penang. Pada 1919, waktu berumur 16 tahun, ia memperoleh beasiswa dari Kedah untuk belajar ke London.

Pada 1925 memperoleh gelar sarjana muda dari Saint Catherine’s College, Cambridge, Inggris, selanjutnya pulang ke Kedah. Kemudian ia kembali ke Inggris untuk melanjutkan studinya dalam ilmu hukum. Setelah lebih kurang 5 tahun, ia pulang ke Malaya (kini Malaysia) dan menjadi kadet pada kantor Penasihat Hukum Kedah.

Pada 1947 ia melanjutkan studinya ke Inggris sampai memperoleh gelar sarjana hukum pada 1949. Ia menjadi ketua Persatuan Malaya di Inggris. Salah seorang teman dekatnya di sana adalah Tun Abdul Razak, yang kemudian menggantikannya sebagai perdana menteri Malaysia. Ia kembali­ ke Malaya pada 1949.

Pada masa berikutnya Tunku Abdurrahman memulai kiprahnya di bidang politik dan perjuangan kemerdekaan Malaysia. Karier politiknya dimulai ketika ia terpilih menjadi ketua Organisasi Nasional Persatuan Melayu (UMNO) pada 1952, menggantikan Dato’ Onn bin Ja‘far.

Dalam memperjuangkan kemerdekaan Malaysia, Tunku Abdurrahman melakukan sejumlah usaha yang mengantar kannya sebagai “bapak kemerdekaan Malaysia”. Pada 1956 ia memimpin Misi Kemerdekaan ke London. Misi tersebut berhasil membawa Malaya untuk memperoleh kemerdekaan pada 31 Agustus 1957. Tunku Abdurrahman menjadi perdana menteri pertama Malaysia.

Pemilihan umum pada 1959 dimenangkan Partai Perikatan (Alliance Party) yang merupakan gabungan dari UMNO (partai etnis Melayu), MCA (Malayan Chinese Association), dan MIC (Malayan Indian Congress), sehingga Tunku Abdurrahman terus menjadi perdana menteri. Pada 16 September 1963, negara Federasi Malaya diresmikan menjadi negara Federasi Malaysia yang terdiri dari Malaysia Barat (meliputi Persekutuan Tanah Melayu) dan Malaysia Timur (meliputi Sarawak dan Sabah).

Selama 13 tahun memerintah Malaysia, Tunku Abdurrahman menunjukkan dirinya sebagai seorang negarawan yang penuh keteladanan, sehingga berhasil membawa kemajuan bagi negerinya. Politik pemerintahannya mempertahankan sistem multirasial dengan mengatur kehidupan damai di kalangan bangsa Melayu, Cina, dan India yang ada di Malaysia, meskipun sistem ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan bangsa Melayu, sebab mereka tidak mendapat perlakuan istimewa sebagai penduduk asli.

Untuk mengatasi ketidakpuasan itu Tunku Abdurrahman menggalakkan pembangunan desa di bawah pimpinan menteri Pembangunan Luar Bandar. Di samping itu dibentuk pula Majlis Amanat Rakyat (Mara) sebagai suatu usaha untuk memajukan bangsa Melayu dalam berbagai bidang.

Pada 21 September 1970 Tunku Abdurrahman mengundurkan diri. Ia meletakkan dasar “ideologi negara” yang baru disusun dengan nama “Rukun Negara” yang terdiri dari 5 pokok, yaitu: (1) Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) Kesetiaan kepada negara dan raja, (3) Kedaulatan undang-undangan negara, (4) Kesopanan, dan (5) Kesusilaan bermasyarakat.

Ia menyampaikan satu ucapan yang menunjukkan kenegarawanannya, “Jika saya tidak dihargai apa-apa, saya sekurang-kurangnya dapat bersyukur kepada Tuhan bahwa saya telah memimpin tanah air kita ini melalui jalan kemerdekaan dan lebih lanjut lagi tanpa menumpahkan darah sedikit pun.”

Setelah mengundurkan diri, Tunku Abdurrahman memulai pengabdiannya dalam kegiatan Islam internasional sebagai sekjen pertama OKI yang berkedudukan di Jiddah.

Ia meninggal dalam usia 87 tahun di Kualalumpur. Meskipun pemerintah menetapkan agar ia dimakamkan di makam pahlawan, ia akhirnya dimakamkan di Kedah, tanah kelahirannya, sesuai dengan wasiatnya. Ini menunjukkan sikap kesederhanaannya sebagai seorang pejuang dan “bapak kemerdekaan”. Sikap ini lebih dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa ia tidak meninggalkan banyak harta benda kepada ahli warisnya. Rumahnya sebagai perdana menteri dijadikan Museum Tunku Abdurrahman.

Daftar Pustaka

Abdullah, Abdul Rahman Haji. Penjajahan Malaysia: Cabaran dan Warisannya, ed. Khamdani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Dewan Bahasa dan Pustaka. Sejarah Menengah Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980.
Joesoef, Noerhamidar. “Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdurrahman Meletakkan Jabatan Setelah 13 Tahun Mengendalikan Pemerintahan,” Kiblat, No.8, Tahun XVIII.
Watson, Barbara, dan Leonard Y. Andaya. A History of Malaysia. Hongkong: The Macmillan Press, 1982.

Syahrin Harahap