Abdul Karim Amrullah

(Maninjau, Sumatera Barat, 17 Safar 1296/10 Februari 1879 – Jakarta, 21 Jumadil­akhir­ 1364/2 Juni 1945)

Haji Abdul Karim Amrullah adalah seorang ulama besar awal abad ke-20 dari Minangkabau, ayah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Semasa kecil ia diberi nama Muhammad Rasul. Ibunya bernama Tarwasa (w. 1943), sedangkan ayahnya bernama Syekh Muhammad Amrullah.

Sebagai anak seorang ulama besar pada waktu itu, Abdul Karim Amrullah memulai pendidikannya dengan belajar agama di Desa Sibalantai, Tarusan, Painan. Di tempat ini ia belajar Al-Qur’an selama setahun, kemudian kembali­ ke kampungnya untuk belajar bahasa Arab.

Pada usia 13 tahun ia belajar nahu dan sharaf kepada ayahnya sendiri. Pelajaran selanjutnya diterimanya di Sungairotan, Pariaman, pada Tuanku Sutan­ Muhammad Yusuf selama 2 tahun sampai menamatkan buku Minhaj at-Talibin karangan Imam Nawawi dan Tafsir Jalalain.

Pada 1894 ketika berusia 15 tahun, Muhammad Rasul dikirim ayahnya ke Mekah untuk belajar ilmu agama Islam dengan seorang ulama besar dari Mi­nangkabau juga, yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang pada saat itu menjadi guru dan imam Masjidilharam.

Ia belajar kepadanya­ selama­ 7 tahun. Saat itu ada putra Mi­nangkabau lainnya yang sama-sama belajar ke­ pada Syekh Ahmad Khatib, antara lain Muhammad­ Jamil Jambek dan Thaher Jalaluddin­. Di samping Syekh Ahmad Khatib, Muhammad Rasul juga belajar kepada­ beberapa guru, seperti Syekh Abdullah Jamidin,­ Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Saleh Bafadal, Syekh Hamid Jeddah, dan Syekh Sa’id Yaman.

Muhammad Rasul juga pernah belajar kepada Syekh Yusuf Nabhani penga­rang kitab al-Anwar al-Muhammadiyyah­. Pada 1901 Muhammad Rasul pulang­ ke kampungnya.

Pengaruh Syekh Ahmad Khatib, gurunya, membuat Muhammad Rasul bersikap revolusioner­ terhadap adat Minangkabau dan tarekat yang ada di Sumatera Barat, khususnya Tarekat Naqsyabandiyah. Syekh Ahmad Khatib­ selama di Mekah, sesuai dengan beberapa pertanyaan yang diajukan kepadanya,­ telah menulis beberapa buku yang mengungkapkan­ kekeliruan tarekat tersebut.

Selama­ di Mekah Muhammad Rasul­ telah mene­rima­ pendirian dan sikap gurunya ini dengan baik. Muhammad Rasul mencoba meluruskan­ praktek tarekat yang tidak memiliki dasar dalam Islam. Perjuangannya cukup berat, karena ulama yang sepaham dengannya tidak terlalu banyak.

Di sampin­g­ itu ulama yang menjadi lawannya ada­lah pengikut ayahnya sendiri, seorang syekh dari Tarekat Naqsyabandiyah. Terjadilah pertentangan­ paham dan pendirian antara ayah dan anak. Akan tetapi Muhammad Rasul, yang telah bergelar Tuanku Syekh Nan Mudo, tetap menjaga hubungan­ baik dan berbakti kepada ayahnya.

Sebaliknya si ayah yang mengetahui pendirian anaknya bangga juga karena anaknya­ telah menjadi seorang yang berpendirian, berani, dan sulit dikalahkan.

Ketika disuruh ayahnya mengantarkan adik-adiknya (Abdulwahab, Muham­mad­ Nur, dan Muhammad Yusuf) ke Mekah,­ Rasul menggunakan kesempatan ini untuk menambah ilmunya. Se­belum berangkat ia di­nikahkan dengan Raihanah­ binti Zakaria, yang digelarinya Raihanatu Qalbi (Bunga Mekar Hatiku).

Harapannya untuk dapat menimba ilmu yang lebih­ dalam tidak diterima Syekh Ahmad Khatib, karena ia dipandang telah layak untuk mengajar. Barulah jika ada kesulitan ia dianjur­kan­ untuk bertanya kepada sang guru. Ia mengikuti anjuran­ gurunya ini dan mengajar di rumahnya di Syamiyah (Mekah).

Di antara muridnya terdapat Ibrahim bin Musa Para­ bek dan Muhammad Zain Simabur. Kedua­ orang ini kemudian menjadi ulama besar di Minangkabau­. Karena muridnya kian hari kian banyak,­ Syekh Ahmad Khatib menyuruhnya­ mengajar di Masjidilharam­ dengan mengambil tempat di Bab al-Ibrahim. Namun kegiatan­nya mengajar di Masjidilharam tersebut tidak diterima dengan­ baik oleh para syekh Arab pada waktu itu.

Ia tidak dibolehkan mengajar di Masjidilharam oleh mufti Mazhab Syafi‘i, Syaikh al-Islam Mu­hammad Sa‘id Babsil. Ia pun mengajar di rumah keponakan­ Syekh Ahmad Khatib.

Musibah menimpa dirinya. Istrinya meninggal setelah melahir­kan­ anak yang kedua. Anak yang baru dilahirkan itu meninggal juga. Akhirnya se­telah­ me­njalankan ibadah haji pada 1906, ia pu­lang ke kampungnya dan menikahi adik istrinya yang bernama Safiyah.

Dari pernikahan yang kedua­ inilah pada 14 Muharram 1326/16 Februari­ 1908 lahir anaknya yang bernama Abdul Malik, yang kemudian hari dikenal­ sebagai seorang ulama besar Indonesia, yaitu­ HAMKA.

Setelah ayah yang sangat dicintainya mening­gal­ dunia pada 3 Rabiulakhir 1325 (1907 M), perjuangannya­ semakin gencar untuk meluruskan Tarekat Naqsyabandiyah. Sepe­ninggal ayahnya ia makin memperjuangkan ide gurunya, Syekh Ahmad Khatib.

Pertentangan dengan para penganut Tare­kat­ Naqsyabandiyah­ inilah yang kemudian melahirkan pertentangan antara “Kaum Tua” dan “Kaum Muda”. Yang terakhir ini pada umumnya adalah murid Syekh Ahmad Khatib. Ketika itu Muhammad Rasul telah berganti nama menjadi H. Abdul Karim Amrullah.

Haji Abdul Karim Amrullah menyerang dan mengecam sikap taklid (taqlid) ulama yang umumnya bersatu sebagai Kaum Tua. Ia mengatakan, “Jangan berat sebelah seakan-akan anda membela Mazhab Syafi‘i dan mengutuk yang lain, karena ini merupakan sikap keras kepala yang dilarang keras Allah dan Rasul-Nya. Anda harus menerima pendapat mereka jika benar, dan meninggalkannya jika berlawanan dengan Al-Qur’an dan hadis.”

Di samping Syekh Ahmad Khatib, pemikiran keagamaan­ Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Syekh Mu-hammad Rasyid Rida juga membentuk pola pemikirannya­. Ia diminta menjadi perwakilan majalah al-Imam (yang terbit di Singapura dan dipimpin oleh Syekh Thaher Jalaluddin) di Su­matera. Tetapi al-Imam yang merupakan kepanjangan tangan dari al-‘Urwah al-Wusqa (yang di­pimpin Syekh al-Afghani dan Muhammad Abduh) hanya terbit sampai 1909.

Atas inisiatif Haji Abdullah Ahmad, salah seorang­ ulama Kaum Muda, diterbitkanlah majalah al-Munir (1 April 1911) dengan Haji Abdul Karim Amrullah sebagai salah seorang pembantunya­. Haji Abdullah Ahmad mengajaknya untuk pindah ke Padang agar lebih lancar dalam menangani­ majalah al-Munir.

Ia menerima permintaan Haji Abdullah Ahmad ini dan pindah ke Padang untuk mengajar­ sekaligus membantu kelancaran­ majalah al-Munir. Ikut serta dalam kepindahannya ini dua orang muridnya, Abdul Hamid Hakim, pengarang kitab usul fikih (Mabadi’ Awwaliyyah, as-Sullam, dan al-Bayan), dan A.R. Sutan Mansur, yang ke­ mudian menjadi menantunya.

Majalah al-Munir ini meluaskan pe­nyebarannya ke berbagai­ daerah, seperti Jawa, Sumatera,­ Sulawesi,­ Kalimantan, dan Malaysia. KH Ahmad Dahlan adalah salah seorang pelanggan­ tetap majalah al-Munir di Yogyakarta. Majalah al-Munir ini juga tidak berumur lama karena tidak didukung­ dana yang kuat. Majalah ini hanya terbit sampai 1915. Namun sebelumnya­ sudah­ didirikan percetakan yang juga bernama al-Munir. Melalui percetakan inilah H Abdul Karim Amrullah menerbitkan bukunya, antara lain Aiqazun Nizam dan Ushul Fiqh.

Pada 1916 dalam rangka mengatasi permasalahan kemandekan majalah al-Munir, ia berkunjung ke Malaya, dan pada 1917 ke Jawa. Akan tetapi usahanya untuk melanjutkan majalah al-Munir tidak berhasil. Setelah berdirinya Sumatra Thawalib,­ ide Haji Abdul Karim Amrullah ini diteruskan oleh para muridnya, seperti Abdul Hamid Hakim,­ A.R. Sutan Mansur, dan Zainuddin Labay el-Yunusy, dengan me­nerbitkan majalah al-Munir­ al-Manar pada 1918 di Padangpanjang.

Dalam lawatannya ke Jawa pada 1925, ia sempat bertamu dan bertukar pikiran dengan HOS Tjokroaminoto dan KH Ahmad Dahlan. Kesan yang dibawanya ketika pulang ke Sumatera Barat adalah­ bahwa Islam perlu diperjuangkan dengan se­buah organisasi yang baik. Maka perkumpulan­ yang didirikan sebelumnya dengan nama­ Sendi Aman, digantinya menjadi cabang Muhammadiyah­ di Sungaibatang, kampungnya sendiri.

Ia aktif dalam orga­nisasi Persatuan Guru-Guru Agama Islam, yang didirikan H Abdullah Ahmad pada 1918. Dalam organisasi tersebut ia menjadi penasihatnya. Pada 1928 ia menjadi pemimpin gerakan yang memaksa pemerintah Hindia Belanda untuk membatalkan rencana pelaksanaan Ordonansi Guru.

Pada 1932 ia memerangi Ordonansi Sekolah Liar di Minangkabau. Antara 1929–1939, dengan maksud menyebarkan gagasan pembaruannya di luar Minangkabau, ia menjelajahi Sumatera untuk memberi ceramah. Ia juga aktif memperhatikan pendidikan di daerahnya, salah satunya dengan memberikan bantuan guna pendirian sekolah menengah Normaal Islam di Padang pada 1931.

Ketika Khilafah Islamiah di Turki dihapuskan Mustafa Kemal pada 1924 dan diganti denga­n­ Republik Turki,­ ia ditunjuk menjadi utusan Persatuan Guru-Guru Agama Islam dalam kongres yang direncanakan­ untuk membicarakan pengambilalihan kekhi­lafahan tersebut ke Dunia Islam.

Dalam kongres yang diadakan di Cairo tersebut H Abdul Ka­rim Amrullah mengemukakan pikirannya denga­n­ berani, sehingga ia mendapat perhatian dari Syekh Abdul Aziz asy-Syalabi,­ seorang penganjur besar Islam di waktu itu. Setelah menyelidiki latar belakang dan riwayat hidup­ tokoh dari Minangkabau­ ini, Syekh Abdul Aziz asy-Syalabi mendirikan sebuah panitia­ yang anggotanya terdiri dari dirinya sendiri, Syekh Khalil al-Khalidi (bekas Mufti Palestina), dan Athaillah Effendi (menteri urusan Wakaf negeri Irak).

Panitia ini bertujuan untuk membe­rikan gelar “Doctor Honoris Causa” kepada ulama dari Sumatera Barat ini. Setelah kata mufakat dalam kongres dihasilkan,­ maka ketua Kongres Syekh Husain Wali yang juga guru besar di al-Azhar mengesahkan kesepakatan­ kongres tersebut. Sejak saat itu resmilah namanya menjadi Dr. H Abdul Karim Amrullah. Gelar doktor ilmu aga­ma ini diterima­nya pada 1926 dari Kongres Islam Sedunia di Cairo, Mesir.

Kepulangannya ke kampung dengan gelar baru menambah penting kedudukannya di kalangan ulama baik di Sumatera Barat maupun di Indonesia. Sejak saat itu Dr. H Abdul Karim Amrullah banyak­ mengajar­ di berbagai tempat, menyiarkan Muhammadiyah­ di Sumatera Barat, dan memperhatikan nasib rakyat kecil. Prinsip­ yang dipergunakannya adalah prinsip yang pernah disampaikan gurunya,­ Syekh Ahmad Khatib,­ yaitu bahwa perjuangan di jalan Allah SWT tak pernah berakhir selama hayat di kandung badan.

Sebagai seorang yang memperjuangkan nasib rakyat,­ Dr. H Abdul Karim Amrullah dicurigai pemerintah Hindia Belanda. Beberapa kali ia diasingkan­ oleh pemerintah Hindia Belanda, karena kegigihan dan keberaniannya memperjuangkan na­sib rakyat. Pada 12 Januari 1941 ia ditahan dan dipenjarakan di Bukittinggi. Pada Agustus 1941 ia diasingkan­ ke Sukabumi.

Alasan pengasingannya­ ini adalah­ kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda terhadap pengaruhnya yang be­sar terutama di Su­matera Barat. Dengan keras dan tajam ia menyerang hukum dan peraturan­ Hindia Belanda, sehingga tidak kurang dari 12 kali ia dipanggil oleh asisten residen Hindia Belanda di Bukittinggi, sebelum akhirnya diasingkan ke Sukabumi.

Ketika Belanda menyerah kepada Jepang pa­da 1942, ia pindah ke Jakarta. Seba­gaimana­ di Sukabumi, ia memberi­­ kan pengajian yang senantiasa mendapatkan pengunjung­ yang ramai.

Mohammad Hatta pernah mengatakan bahwa ia adalah ulama yang mula-mula sekali menyatakan “Revolusi Jiwa” kepada Jepang di Indone­sia,­ karena ia melawan keharusan menghormati Tenno Haika dengan membungkukkan badan ke arah timur laut.

Ia menegaskan sikap Islam de­ngan menulis makalah “Hanya Allah”. Makalah ini dengan tegas menjelaskan kepada pemerintah militer­ Jepang bahwa pemeluk Islam hanya akan menyembah­ Allah Yang Maha Esa dan tidak bisa dipaksa­ menyembah yang lain, seperti Tenno Haika.

Keikutsertaan perjuangannya di Jakarta meng­hilangkan niatnya untuk pulang. Ketika anaknya,­ HAMKA, ingin membawanya pulang, ia menga­takan­ bahwa ia merasa senang tinggal di Jawa. Pada 2 Juni 1945 ia mengembuskan­ napasnya yang terakhir dan dima­kamkan­ di Pemakaman Umum Karet, Jakarta.

Sebagai seorang ulama besar dan memiliki ilmu penge­tahuan yang luas, Dr. H Abdul Karim Amrullah menghasil­kan sejumlah tulisan. Sebelum ke Mesir­ ia mengarang 15 buku, antara lain: (1) ‘Amdah al-Anam fi ‘Ilm al-Kalam (1908), tentang sifat dua puluh; (2) Sullam al-Usul  (1914), tentang ilmu usul fikih; (3) al-Ifsah (1919), berisi b uraian mengenai nikah denga­n­ segala aspeknya; (4) al-Burhan (1922), tentang tafsir Juz ‘Amma.

Setelah­ pulang dari Mesir, ia mengarang lagi 12 buku,­ antara lain: (1) an-Nida’ (1929) yang menerangkan ­wajibnya salat berjemaah;­ (2) al-Fara’id (1932), tuntunan dalam pembagian warisan; dan (3) al-Kawakib ad-Durriyyah (1940), berisi bantahan­ terhadap seorang­ ulama Bugis yang meng­ haramkan­ berkhotbah Jumat dalam bahasa Indonesia­. Di samping itu, ia juga banyak menulis di majalah al-Munir.

Daftar Pustaka

Djamal, Murni. Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad Ke-20, terj. Theresia Slamet. Jakarta: INIS, 2002.
–––––––. “The Origin of the Islamic Reform Movements in Minangkabau: Life & Thought of Abdul Karim Amrullah,” Studia Islamika, Vol. 5, No. 3, 1998. Graves, Elizabeth. The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in Nineteenth Century. Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1981.
HAMKA. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Pustaka Umminda, 1982.
–––––––. Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
–––––––. Gerakan Pembaharuan Agama di Minangkabau. Padang: Minang Permai, 1969.
–––––––. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985. Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942 terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
Schrieke, B.J.O. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, terj. Soegarda Poerbakawatja. Jakarta: Bhratara, 1973.

Nasrun Haroen