Abdul Hamid Hakim adalah seorang ulama dan tokoh pendidikan Islam Sumatera Barat. Ia lahir dari pasangan Haji Abdul Hakim dan Cari, sebuah keluarga yang saleh. Ia menulis buku yang berkaitan dengan fikih, usul fikih, akhlak, dan hadis. Atas jasanya sebagai tokoh pendidik, ia memperoleh penghargaan sebagai “pejuang pendidik” dari gubernur Sumatera Barat.
Abdul Hamid Hakim memulai pendidikannya dari Sekolah Rakyat dan belajar Al-Qur’an di kampungnya sendiri. Setelah itu, ia melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Madrasah (Sekolah Agama) yang dipimpin Syekh Muhammad Thaib Umar (1874–1920) di Sungayang, Batusangkar.
Di madrasah ini mempelajari berbagai ilmu agama, seperti Al-Qur’an dan tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, dan ushul fikih. Pada tahun 1910 ia kembali belajar ilmu agama kepada Haji Rasul (H. Abdul Karim Amrullah, 1879–1945, ayah Prof. Dr. HAMKA) di Maninjau. Kemudian pada 1912 ia bersama gurunya, Haji Rasul, pindah ke Padang. Di Padang ia menuntut ilmu kepada Dr. H Abdullah Ahmad (1878–1933).
Penguasaannya terhadap berbagai bidang ilmu digunakan untuk seorang ulama yang disegani, meskipun umurnya masih relatif muda. Berkat penguasaan ilmu yang luas inilah kemudian ia dipilih oleh Dr. Abdullah Ahmad untuk menjadi guru bantu di Sekolah Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada 1909. Sejak saat itu, Abdul Hamid Hakim digelari oleh gurunya sebagai Angku Mudo (guru muda). Gelar ini menjadi sangat populer dan tetap dipakai sampai akhir hayatnya.
Pada 1914 Angku Mudo pindah ke Padangpanjang sebagai pembantu utama Haji Rasul. Pada 1918, bersama-sama dengan Haji Rasul ia mendirikan Perguruan Sumatra Thawalib yang dipimpin langsung oleh Haji Rasul. Angku Mudo diangkat sebagai wakil kepala sekolah. Di samping itu ia juga bertindak sebagai redaktur majalah al-Munir al-Manar yang diterbitkan oleh Perguruan Sumatra Thawalib 1918.
Di perguruan inilah Angku Mudo Abdul Hamid Hakim mengabdikan ilmunya yang luas kepada para muridnya, seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur (1895–1985), Zainal Abidin Ahmad (1911–1983), Mansoer Daoed Datuk Palimokayo (1905–1985), Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA, 1908–1981), Mawardi Muhammad (dosen hadis di IAIN Imam Bonjol Padang dan pernah menjadi direktur Perguruan Thawalib Padangpanjang), dan Encik Rahmah el-Yunusiyyah (1900–1969, pendiri Madrasah Diniyah Puteri Padangpanjang 1923). Semua murid Angku Mudo yang disebutkan di atas kemudian menjadi tokoh terkenal, baik di tingkat daerah maupun nasional.
Setelah Haji Rasul mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala Perguruan Sumatra Thawalib, Abdul Hamid Hakim langsung diangkat sebagai kepala perguruan tersebut. Di samping itu ia juga aktif menyumbangkan ilmunya melalui dakwah di berbagai tempat dan mengajari Diniyah School (Pendidikan Diniyah) yang didirikan oleh Zainuddin Labay el-Yunusy (1890–1924), di Universitas Islam Darul Hikmah Bukittinggi, dan di Fakultas Filsafat dan Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.
Sebagai seorang ulama yang memiliki ilmu yang luas, Angku Mudo juga meninggalkan beberapa buku di berbagai bidang. Salah satu karyanya di bidang fikih adalah al-Mu‘in al-Mubin (Pembantu yang Nyata), yang terdiri atas empat jilid. Buku ini telah berulang kali dicetak ulang. Dalam buku ini, Abdul Hamid Hakim membahas berbagai persoalan fikih, mulai dari masalah ibadah sampai muamalah kontemporer.
Pendapatnya yang cukup akomodatif dan dianggap cukup radikal adalah tentang bunga bank. Menurutnya, bunga bank termasuk ke dalam kategori riba fadal (pertukaran barang dengan barang sejenis dengan ketentuan terdapat kelebihan pada salah satu), yang boleh dipergunakan (diambil) apabila ada kebutuhan mendesak; sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan al-hajah tanzilu manzilah al-dharurah (kebutuhan itu bisa menempati posisi darurat).
Sekalipun di dunia fikih bukanlah sesuatu yang baru, untuk ulama Indonesia pendapat tersebut dianggap cukup berani dan radikal. Kemudian, ia juga menyusun buku al-Mu‘in al-Mubin fi al-Fara’idh, yang membahas secara khusus masalah pembagian harta warisan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Di bidang usul fikih, Abdul Hamid Hakim menulis tiga buku, masing-masing Mabadi’ Awwaliyyah (Dasar-dasar Awal) yang diterbitkan pertama kali 1976. Buku ini membahas berbagai persoalan mendasar dalam ilmu usul fikih serta beberapa kaidah fikih. Sebagai buku dasar dalam bidang usul fikih, buku ini cukup praktis dan singkat serta mudah dipahami.
Buku kedua adalah as-Sullam (Tangga), yang merupakan buku lanjutan dari buku Mabadi’ Awwaliyyah. Buku ini juga diterbitkan 1976. Kemudian buku ketiga adalah al-Bayan (Penjelasan), yang juga membahas usul fikih dan kaidah fikih. Dalam pengantar buku ini ia menyatakan bahwa sebagian besar dari isi buku al-Bayan dikutip dari Irsyad al-Fuhul, kitab usul fikih yang disusun Imam asy-Syaukani (w. 1250 H/1834 M).
Seperti yang dikemukakan Faqih Usman, mantan menteri Agama RI, dalam kata pengantar, buku ini istimewa karena disusun sejalan dengan kebutuhan zaman dan tempat, dan karena usul fikih adalah metode ijtihad yang dapat mengakomodasi persoalan yang berkembang.
Buku lain yang disusun Abdul Hamid Hakim adalah Tahdzib al-Akhlaq dalam tiga jilid (terbit 1976). Buku ini lebih banyak berbicara tentang tuntunan Islam dalam masalah akhlak yang mulia. Di samping buku fikih, usul fikih, dan akhlak, Abdul Hamid Hakim juga menyusun sebuah buku yang berkaitan dengan hadis, al-Hidayah ila ma Yanbagi min az-Ziyadah ‘ala al-Bidayah (Petunjuk yang Harus Ditambahkan terhadap Kitab al-Bidayah).
Buku ini menjelaskan posisi dan status hadis yang terdapat dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, kitab fikih yang disusun Ibnu Rusyd (520 H/1126 M – 595 H/1198 M).
Buku fikih, usul fikih, dan akhlak ditulisnya dalam bahasa Arab yang mudah dipahami siswa dan mahasiswa, dan pembahasannya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Buku ini dijadikan rujukan di berbagai pesantren (antara lain di Pesantren Darussalam Gontor, Pesantren Pabelan, dan Pesantren Darunnajah Jakarta), bahkan juga diajarkan di beberapa perguruan tinggi agama (antara lain di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat).
Atas jasanya sebagai tokoh pendidik di Sumatera Barat, 17 Agustus 1975 Abdul Hamid Hakim memperoleh penghargaan sebagai “pejuang pendidik”. Penghargaan ini diberikan gubernur Sumatera Barat, Harun Zain.
Daftar Pustaka