Abbas Abdullah

(1883 - Payakumbuh, Sumatera Barat, 17 Juli 1957)

Abbas Abdullah –lebih dikenal dengan nama Syekh Abbas Padang Japang– adalah ulama besar dan tokoh pendidikan di Minangkabau. Ia lahir di Padang Japang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, dari keluarga yang saleh. Ayahnya, Syekh Abdullah (1830–1903), adalah juga ulama besar yang ikut berjuang melawan Belanda bersama dengan Tuanku Imam Bonjol (1772–1864).

Abbas Abdullah memulai pendidikannya dengan pendidikan agama di salah satu surau di Desa Gunung Mas, Suliki, Payakumbuh, Sumatra Barat. Salah seorang gurunya (tidak diketahui namanya) mendorong Abbas Abdullah untuk melanjutkan pelajarannya ke luar negeri. Dalam usia yang relatif muda, 15 tahun, ia bersama kakaknya, Mustafa Abdullah, berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus belajar agama Islam.

Di Mekah ia belajar agama pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860–1916), seorang ulama besar yang berasal dari Minangkabau. Kemudian, ia belajar kitab agama Islam pada Syekh Latif Syakur (pendiri at‑Tarbiyah al‑Hasanah di Bukittinggi, 1912) dan Syekh Muhammad Jamil Jambek, keduanya murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Setelah belajar di Mekah selama 6 tahun, Abbas Abdullah kembali ke kampung halamannya dan mengabdikan ilmunya di pengajian Surau Gadang Padang Japang, yang didirikan ayahnya pada 1875.

Pada1921 Abbas Abdullah kembali lagi ke Mekah untuk menunaikan haji. Setelah itu, ia ke Mesir untuk belajar di Universitas al-Azhar selama beberapa tahun. Dari Mesir ia melanjutkan perjalanannya ke beberapa negara sambil belajar di negara yang disinggahinya. Di samping belajar agama, ia juga melakukan studi perbandingan tentang sistem dan metode pendidikan agama, dalam rangka menyusun suatu sistem pendidikan agama yang akan diterapkan di pengajian Surau Gadang Padang Japang.

Sistem pendidikan agama yang digunakan di Surau Gadang Padang Japang adalah system halaqah (murid duduk bersila di depan guru). Dari studi perbandingannya di beberapa negara Arab, ia melihat sistem pendidikan agama yang diterapkan dengan sistem kelas.

Oleh sebab itu, setelah kembali ke kampungnya, ia berhubungan dengan beberapa ulama besar di Minangkabau ketika itu. Antara lain: Dr. H Abdul Karim Amrullah (1879–1945), pimpinan Madrasah Jambatan Besi, Padangpanjang; Syekh Ibrahim Musa Parabek (1882–1963), pimpinan Madrasah Parabek, Bukittinggi; dan Syekh Muhammad Thaib Umar (1874–1920) di Sungayang, Batusangkar.

Ketiga ulama besar ini mendukung gagasan Abbas Abdullah untuk menerapkan sistem kelas dan pendidikan Islam di Minangkabau. Kesepakatan ulama besar ini mendapat sambutan dari sebagian masyarakat Minangkabau ketika itu.

Sebagai realisasi dari ide pendidikan ini terbentuklah organisasi yang kemudian bernama Sumatra Thawalib pada 1918; dan nama “Pengajian Surau Gadang Padang Japang” diubah menjadi “Madrasah Sumatra Thawalib Padang Japang.” Sistem pendidikan yang diterapkan pada sekolah yang bernaung di bawah organisasi Sumatra Thawalib adalah system klasikal dengan menggunakan media kursi, meja, dan sarana lainnya.

Literatur yang digunakan di sekolah ini pun mengalami perubahan, dari kitab yang ditulis tangan kepada kitab yang dicetak. Proses belajar dan mengajar disesuaikan dengan kurikulum yang telah disusun, dengan pelajaran umum di samping pelajaran agama. Jenjang pendidikan disusun menjadi dua tingkat, yaitu tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah, yang masing-masing dilalui selama 4 tahun.

Ide sistem dan metode pendidikan yang dicanangkan Syekh Abbas Abdullah berkembang terus, apalagi setelah bertemu dan bertukar pikiran dengan H. Agus Salim (1884–1954), Mahmud Yunus (1899–1982), dan Fathurrahman Kafrawi (mantan Menteri Agama RI; w.3 Juli 1947).

Di samping memadukan pelajaran agama dengan pelajaran umum dan dengan system klasikal, Syekh Abbas Abdullah juga memberikan pendidikan keterampilan, seperti seni musik dan seni suara. Ia juga mendirikan gerakan kepanduan yang diberi nama al‑Kasyaf.

Buku teks yang digunakan di Madrasah Sumatra Thawalib Padang Japang ketika itu adalah buku standar. Dengan demikian, madrasah ini dikenal secara luas oleh masyarakat, baik masyarakat Minangkabau sendiri maupun di luar Minangkabau.

Banyak alumni madrasah ini yang menjadi ulama besar dan tokoh pendidikan di tanah air, seperti Zainuddin Labayel‑Yunusy (1890–1924), pendiri Madrasah Diniyah Padangpanjang; Zainuddin al‑Hamidi (1907–1957), pendiri Madrasah Ma’had Islami di Payakumbuh; dan Nasruddin Thaha, seorang ulama dan pengarang beberapa buku tentang agama Islam.

Madrasah Sumatra Thawalib Padang Japang juga dilengkapi dengan al‑Imam, sebuah majalah yang diterbitkan Syekh Abbas Abdullah sendiri. Melalui majalah ini, Syekh Abbas Abdullah menyuarakan pemikiran pembaruan Islamnya. Pemikiran pembaruan Islam yang disuarakannya disambut baik oleh sebagian masyarakat Sumatra Barat, namun tidak sedikit pula yang menentangnya, karena menganggapnya perpanjangan suara pembaruan yang dilancarkan gerakan Wahabi di Arab Saudi.

Tantangan yang paling keras terutama datang dari kalangan ulama tua (Kaum Tua). Tetapi, berkat keteguhan Syekh Abbas Abdullah dengan idenya, serta produk pendidikan yang dihasilkan dari madrasah yang dipimpinnya, akhirnya tantangan ini kian lama kian reda.

Perkembangan Madrasah Thawalib Padang Japang yang diasuh oleh Syekh Abbas mengalami pasang surut, khususnya setelah kongres organisasi Sumatra Thawalib 1930. Kongres ini menghasilkan keputusan tentang Sumatra Thawalib menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). D

engan pergantian nama ini, seluruh madrasah yang bernaung di bawah Sumatra Thawalib dialihkan ke bawah Permi. Syekh Abbas Abdullah menentang keputusan ini dan melepaskan diri dari Sumatra Thawalib. Ia kemudian mengubah nama madrasahnya menjadi Darul Funun el‑Abbasiyah.

Perubahan nama ini tidak mengganggu kegiatan di madrasah tersebut. Bahkan madrasah ini memberikan andil yang besar bagi perjuangan bangsa Indonesia. Pada 1934 Bung Karno pernah berkunjung ke Darul Funun el‑Abbasiyah, karena waktu itu juga sebagai imam Jihad Sumatera Tengah dan salah satu pendiri Barisan Sabilillah dalam menentang penjajahan Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, Syekh Abbas dengan beberapa ulama besar lainnya mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) dengan pusat kegiatannya di Madrasah Darul Funun el‑Abbasiyah. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Darul Funun el‑Abbasiyah menjadi markas gubernur Sumatra, Teuku Muhammad Hassan, dan pusatnya para pejuang. Pada masa pemerintahan darurat Republik Indonesia (PDRI), Darul Funun el-Abbasiyah dijadikan kantor menteri Pendidikan, Pengajaran, dan kebudayaan (PPK) dan menteri Agama PDRI.

Sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, baik di zaman penjajahan maupun setelah merdeka, Darul Funun el‑Abbasiyah juga mengalami pasang surut. Meski kini perkembangannya agak surut, sekolah ini tetap berdiri. Kegiatannya dikelola Yayasan Darul Funun el-Abbasiyah.

Pada 2018, akta yayasan diperbarui untuk pengembangan kegiatan yang lebih dinamis dan menjawab tantangan zaman. Organisasi-organisasi direstrukturisasi untuk mendukung transparansi dan juga misi Darul Funun. Ruang lingkup yayasan dibagi menjadi tiga unit besar: Perguruan, Institut (IDRIS) dan unit sosial (Aamil).

 Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. “Kebangkitan dan Kemunduran Surau Minangkabau: Sebuah Lembaga Pendidikan Islam Tradisional Selama Pemerintahan Kolonial Belanda,” Tesis MA, Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Universitas Columbia, New York, 1988.

Djamal, Murni. Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad Ke-20 (terj. Theresia Slamet). Jakarta: INIS, 2002.

Djaya, Tama. Pustaka Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1966.

HAMKA. Gerakan Pembaharuan Agama di Minangkabau. Padang: MinangPermai, 1969.

–––––––. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.

Islamic Center Sumatera Barat. Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat. Padang: tp, 1981.

Noer, Deliar. Gerakan Muslim Modernis di Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942 (terj.) Jakarta: LP3ES, 1980.

Schrieke, BJO. Pergolakan Agama di Sumatera Barat (terj. Soegarda Poerbakawatja). Jakarta: Bharata, 1973.

Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1985.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara, 1979.

https://darulfunun.or.id/13/syekh-abbas-abdullah/, diakses pada 10 Maret 2022.

Nasrun Haroen

Data diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (Maret 2022).