Ibnu Rusyd

(Cordoba, 1126–Marrakech,­ Maroko, 1198)

Ibnu Rusyd (nama asli: Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad) adalah seorang filsuf terkemuka pada periode perkembangan filsafat Islam (700–1200) dan ilmuwan besar. Di Barat ia dinamai Averroes. Di samping menulis buku ilmu pengetahuan, seperti fikih, kedokteran, logika, fisika, biologi, dan astronomi, ia juga mengomentari pemikiran Plato, Aristoteles, al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali.

Ibnu Rusyd berasal dari lingkungan keluarga yang menaruh perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ia sendiri pernah menduduki jabatan qadhi (hakim) di Sevilla dan qadhi al-qudhat (hakim agung) di Cordoba.

Sejak kecil ia telah mempelajari Al-Qur’an, lalu mempelajari­ ilmu keislaman, seperti tafsir, hadis, fikih, dan sastra Arab. Kemudian ia mendalami­ matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu kedokteran. Oleh karena itu, ia terkenal ahli diberbagai cabang ilmu pengetahuan.

Kebesaran dan kejeniusan Ibnu Rusyd tampak pada karyanya. Dalam berbagai karyanya ia selalu membagi pembahas­an­nya ke dalam tiga bentuk, yaitu komentar, kritik, dan pendapat.

Ia seorang komentator sekali­gus kritikus ulung. Ulasannya­ terhadap karya filsuf besar terdahulu banyak sekali, antara lain ulasannya terhadap karya Aristoteles. Dalam ulasan itu ia tidak semata-mata memberi komentar terhadap filsafat Aristoteles,­ melainkan juga menambahkan pan­dangan filosofisnya sendiri, suatu hal yang belum­ pernah dilakukan filsuf semasanya maupun­ sebelumnya.

Kritik dan komentarnya terhadap karya Aristoteles itulah yang mengantarkannya menjadi terkenal di Eropa. Ulasan­ nya terhadap filsafat Aristoteles berpengaruh besar pada­ kalangan ilmuwan Eropa sehingga muncul di sana suatu aliran yang dinisbahkan kepada nama­nya,­ yaitu Averroisme. Selain itu, ia juga banyak mengomentari karya filsuf muslim pendahulunya,­ seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, dan al-Ghazali. Komentarnya itu kebanyakan­ telah diter-jemahkan orang ke dalam bahasa Latin­ dan Ibrani.

Karya Ibnu Rusyd cukup banyak, antara­ lain Kitab al-Kulliyat (buku tentang filsafat) dalam ilmu kedokteran, Bidayah al-Mujtahid (Permulaan bagi Mujtahid) dalam bidang hukum, Kitab Fash al-Maqal fi ma Bain asy-Syari‘ah wa al-hikmah min al-Ittisal yang menguraikan adanya keselarasan antara agama dan akal karena keduanya­ adalah pemberian Tuhan, dan al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqa’id al-Millah yang menjelaskan secara terperinci masalah akidah yang dibahas­ para filsuf dan teolog Islam.

Bukunya yang paling terkenal dan mengundang banyak kontroversi­ adalah Tahafut at-Tahafut yang kandungan isinya membela kaum filsuf dari tuduhan kafir sebagaimana­ dilontarkan al-Ghazali dalam bukunya TahÎfut al-Falasifah.

Ibnu Rusyd dekat dengan amir Dinasti al-Muwahhidun pada masanya, khususnya dengan Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur, amir ketiga Dinasti al-Muwahhidun.

Jabatan yang pernah dipangkunya adalah qadhi al-qudhat (hakim agung). Kedudukan istimewa yang dipangkunya­ ini meresahkan ulama fikih yang tidak senang dengan pendapatnya. Untuk menjatuhkan­ Ibnu Rusyd, ulama fikih tersebut membuat fitnah terhadapnya dengan menuduhnya­ sebagai penye­bar ajaran filsafat yang menyimpang­ dari ajaran Islam.

Atas tuduhan­ itu, Ibnu Rusyd diasingkan ke sebuah tempat yang bernama Lucena. Buku ka­rangannya­ yang men­yangkut filsafat dibakar, dan selanjutnya dibuat­ keputusan yang meng­haramkan belajar filsafat­. Sejak itu, filsafat tidak lagi mendapat tempat untuk berkembang di dunia Islam karena kebesaran­ berpikir telah ditiadakan atas nama agama. Beberapa­ tahun setelah itu, al-Mansur memaaf­kan dan membebaskannya­. Ibnu Rusyd pergi ke Maro­ko dan di sanalah ia menghabiskan sisa hidupnya.

Pandangan Ibnu Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang perpaduan agama dan filsafat. Menurutnya, belajar filsafat dan berfilsafat itu sendiri tidak dilarang Islam, bahkan Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam berisi banyak ayat yang mengimbau agar mempelajari filsafat.

Untuk menghindari adanya pertentangan antara pen­dapat akal serta filsafat dan teks Al-Qur’an, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa teks Al-Qur’an itu hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwil. Takwil yang dimaksudkannya adalah meninggalkan arti harfiah ayat dan mengambil­ arti majasinya. Hal serupa ini menurut pendapatnya di­lakukan pula oleh ulama fikih dalam masalah hukum. Karena itu, filsuf juga boleh melakukannya.

Dalam menanggapi kandungan Al-Qur’an, ia membagi manusia ke dalam tiga kelompok, yaitu awam, pendebat, dan ahli pikir. Kepada golongan awam, Al-Qur’an tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara tertulis, sedangkan­ kepada golongan pendebat juga sulit untuk disampaikan­ takwil. Oleh karena itu, takwil harus ditu­lis­ hanya dalam buku yang khusus diperuntukkan bagi golongan­ ahli pikir, agar orang yang bukan­ ahlinya tidak dapat memahaminya.

Ia juga menye­tujui pendapat bahwa Al-Qur’an mempunyai makna batin di samping makna lahir yang umum diketa-hui. Sebab, kenyataannya­ manusia memiliki naluri dan kemam­puan yang berbeda.

Makna batin hanya dapat disela­mi­ ahli pikir dan filsuf, dan tidak dapat dicerna oleh awam.

Menanggapi tuduhan kafir al-Ghazali, Ibnu Rusyd me­nyatakan bahwa seseorang dikategorikan kafir apabila ia tidak lagi mempercayai satu atau lebih dari tiga dasar keagamaan yang pokok, yaitu adanya Tuhan, rasul, dan hari kebangkitan. Selama seseorang masih percaya kepada tiga dasar utama ini, ia tidak boleh dikatakan­ kafir.

Dalam bukunya Tahafut at-Tahafut yang khusus dituju­kan untuk membela para filsuf, Ibnu Rusyd menjawab kritikan al-Ghazali yang mengafirkan filsuf dalam tiga hal, yaitu pendapat filsuf mengenai kekadiman alam, Tuhan tidak mengetahui perincian­ yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembang­kitan jasmani.

Pembelaan Ibnu Rusyd terhadap para­ filsuf diungkapkan dalam pendapatnya sebagai berikut. Pertama, tentang kadimnya alam Ibnu Rusyd mengatakan bahwa para filsuf meyakini alam ini kadim. Kadim yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang dalam kejadian terus-menerus (ma huwa fi hudits da’im), maksudnya tidak mempunyai permulaan dalam waktu.

Pendapat­ ini disimpulkan dari pandangan mereka bahwa alam ini diciptakan dari sesuatu, bukan dari tiada menjadi ada (creatio ex nihilo), seperti pendapat al-Ghazali yang dikutip pula oleh para teolog. Argumentasi­ Ibnu Rusyd adalah jika kita memperhatikan­ proses kejadian benda di alam, akan terlihat bahwa semuanya terwujud dari sesuatu­ yang ada.

Untuk memperkuat argumentasinya Ibnu Rusyd juga mengutip dalil Al-Qur’an, seperti surah Hud (11) ayat 7, Fussilat (41) ayat 11, al-Anbiya’ (21) ayat 30, dan surah Ibrahim (14) ayat 47 dan 48. Ayat itu menggambarkan bahwa “tiada” tidak mungkin­ dapat berubah menjadi “ada”. Yang terjadi, “ada” berubah menjadi “ada” dalam bentuk yang lain.

Walaupun demikian, Ibnu Rusyd tetap mengakui­ bahwa semua yang ada di alam ini adalah ciptaan Tuhan. Perbedaan filsuf dengan al-Ghazali terletak pada perbedaan antara keduanya tentang penafsiran kadim. Bagi al-Ghazali, kadim itu berarti sesuatu yang berwujud tanpa sebab, dengan kata lain wujud yang berdiri sendiri, sedangkan wujud yang berdiri sendiri hanya pantas diperuntukkan­ kepada Tuhan, karena Dialah pencipta. Selain Tuhan, se­muanya adalah ciptaan, bukan wujud yang berdiri sendiri. Jadi, mengakui adanya­ yang kadim selain Tuhan berarti mengakui adanya pencipta selain Tuhan, dan ini adalah syirik.

Kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Menurut Ibnu Rusyd, filsuf sebenarnya­ bukan mengingkari kemahatahuan Tuhan, akan tetapi bertolak dari pe-mikiran mereka yang menyamakan pengetahuan Tuhan dengan pengeta­ huan manusia. Pengetahuan manusia­ terbagi dua, yang bersifat khusus dan umum.

Yang khusus diketahui­ manusia melalui pancaindera dan yang umum didapati melalui akal. Tuhan bersifat immateriil yang tidak berpancaindera, lalu kaum filsuf memper­tanya­­kan cara Tuhan mengetahui­ perincian yang bersifat khusus itu. Jadi, kaum filsuf hanya mempertanyakan.

Ketiga, tentang adanya pembangkitan. Menurut Ibnu Rusyd, yang dimaksudkan filsuf adalah tidak adanya pembangkitan jasmani. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Yang penting bagi manusia itu adalah jiwa, bukan jasmaninya­. Kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan­ jiwa (rohani) yang dapat diperoleh dengan jalan kontemplasi dan menjauhkan diri dari keterikatan dengan­ benda materiil dengan cara meninggalkan­kesenangan jasmani.

Di akhirat hanya ada kesenangan jiwa, sehingga jasmani tidak dapat dibangkitkan. Walaupun begitu, filsuf tidak mengingkari­ adanya ayat yang menggambarkan kesenangan­ jasmani di akhirat. Bagi mereka, ayat itu adalah konsumsi orang awam. Sebenarnya, menurut Ibnu Rusyd, al-Ghazali juga mengakui bahwa pembangkitan itu hanya bersifat rohaniah. Penda­patnya inilah yang mengantarkan Ibnu Rusyd menjadi salah seorang filsuf Islam terbesar.

Daftar Pustaka

al-Ghazali, Imam. Tahafut al-Falasifah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1966.

Ibnu Rusyd. Tahafut at-Tahafut. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1969.

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.

Musdah Mulia