Secara kebahasaan istidlal berarti “tuntutan mengemukakan alasan”. Menurut usul fikih istidlal berarti “alasan atau rujukan yang dikemukakan mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) pada saat menetapkan hukum suatu masalah”. Istilah “istidlal” juga berarti “cara berijtihad”.
Dalam menetapkan hukum suatu masalah, pertama-tama seorang mujtahid harus merujuk pada ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Jika tidak menemukan dalilnya, ia harus merujuk pada sunah Nabi SAW. Kemudian, jika dalam sunah Nabi SAW pun tidak menemukan dalilnya, ia dapat menggunakan ijmak ulama sebelumnya.
Jika dalam ijmak tetap tidak menemukan dasar hukumnya, ulama tersebut dapat menggunakan cara lain untuk menetapkan hukum. Dalam hal ini terdapat dua cara istidlal yang dikembangkan para ulama, yaitu: istidlal melalui qawa‘id lugawiyyah (kaidah kebahasaan) dan istidlal melalui maqasid asy-syari‘ah (tujuan yang diinginkan syarak dalam menetapkan hukum).
Istidlal melalui qawa‘id lugawiyyah dilakukan dengan meneliti secara cermat ayat Al-Qur’an dan/atau sunah Nabi SAW. Analisisnya dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: melakukan kompromi antara dalil yang bersifat umum dan yang bersifat khusus atau dalil yang mujmal (samar) dan dalil yang jelas, membatasi dalil yang mutlak dengan dalil yang bersyarat, takwil, tahlil, melakukan penafsiran terhadap nas, menggunakan kaidah yang berkaitan dengan lafal amr (perintah) atau nahi (larangan), memberlakukan hukum suatu lafal sesuai dengan makna sebenarnya (mantuk), menggunakan hukum lafal bukan dari makna yang langsung ditangkap dari lafal itu (mahfum), atau menggunakan lafal sesuai dengan cara yang dikehendaki Allah SWT dan Rasul-Nya.
Contoh istidlal melalui qawa‘id lugawiyyah adalah kewajiban seseorang untuk menzakatkan penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaannya dalam bidang jasa. Ulama menetapkan hukumnya berdasarkan dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 267:
“…nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu….”.
Kalimat hasil usaha (kasabtum) dalam ayat ini berarti umum, baik melalui perdagangan maupun melalui jasa. Karenanya, hasil pekerjaan dalam bidang jasa wajib dizakatkan berdasarkan keumuman ayat tersebut.
Istidlal melalui maqasid asy-syari‘ah bisa ditempuh melalui beberapa cara, yaitu: istihsan (kias kepada suatu kemaslahatan yang lebih besar), istislah (kaidah kemaslahatan), istishab, sadd adz-dzari‘ah (menutup seluruh jalan yang menuju pada segala sesuatu yang dilarang), dan melalui teori fath adz-dzari‘ah (kebalikan dari sadd adz-dzari‘ah).
Contoh istidlal melalui maqasid asy-syari‘ah adalah haramnya meminum wiski. Hukum meminum wiski dikiaskan berdasarkan hukum meminum khamar, karena keduanya mempunyai ilat (motivasi hukum) yang sama, yaitu memabukkan. Cara yang ditempuh mujtahid ini disebut istidlal qiyasi.
Seorang mujtahid dapat memilih cara istidlal yang diinginkannya. Sebagai syaratnya, hukum yang akan ditetapkan harus dapat mencapai tujuan syarak. Hal ini berdasarkan pada kaidah fikih: “setiap tindakan yang tidak dapat mencapai maksudnya adalah batal” (kullu tasarruf taqa‘ud ‘an tahsili maqsudih bathil).
Unsur subjektif seorang mujtahid harus ditekan sekecil mungkin. Menurut Muhammad Said Ramadan al-Buti (ahli usul fikih Universitas Damascus), jika seorang mujtahid dipengaruhi unsur subjektif dalam menetapkan hukum, berarti ia melakukan tindakan yang dilarang syarak, yaitu al-hukm bi at-tasyahhi (menetapkan hukum melalui hawa nafsu).
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Bek, Muhammad Khudari. Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
al-Buti, Muhammad Said Ramadan. Mabahits al-Kitab wa as-Sunnah min ‘Ilm al-Ushul, Damascus: Matba‘ah at-Ta‘awuniyyah, 1974.
Hasaballah, Ali. Ushul at-Tasyri‘ al-Islami. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1396 H/1976 M.
Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1983.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami. Damascus: Matba‘ah Dar al-Kitab, 1978.
Nasrun Haroen