Penguasa Kesultanan Banten sejak 1651 hingga 1682 adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Ia adalah putra Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (w. 1650; memerintah 1640–1650) dan cucu Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir (memerintah 1605–1640). Menurut Sejarah Banten, ibunya, Ratu Martakusumah, adalah putri Pangeran Jayakarta, Wijayakrama. Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang penyebar Islam dan pahlawan nasional.
Pada masa mudanya, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal dengan gelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat oleh kakeknya sebagai sultan muda dengan gelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya wafat, ia dinobatkan menjadi sultan. Sejak memegang tampuk pemerintahan dan mendapat restu dari Mekah, ia mendapat gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah, ada dua putranya yang mencapai usia dewasa, yaitu Pangeran Gusti (Sultan Haji) dan Pangeran Purbaya. Putra mahkota adalah Pangeran Gusti (putra tertua).
Sebelum diangkat menjadi sultan muda dan diserahi tugas pemerintahan, Pangeran Gusti lebih dulu menunaikan ibadah haji, sesuai dengan pesan ayahnya. Hal ini dimaksudkan agar putra mahkota dapat melihat dari dekat perkembangan berbagai negara Islam serta dapat memperluas wawasan pemikiran, demi kemajuan Kesultanan Banten.
Selama kepergian putra mahkota ke Mekah (1671), tugas pemerintahan dipercayakan kepada Pangeran Purbaya, sementara sang ayah mengundurkan diri dari pemerintahan. Meskipun demikian, soal penting seperti perjanjian dan pengiriman utusan masih tetap di tangan Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.
Sekembalinya Sultan Haji dari Mekah, ia melihat Pangeran Purbaya lebih banyak mendapatkan kekuasaan dari ayah mereka. Hal ini menimbulkan ketegangan antara Sultan Haji dan Pangeran Purbaya; demikian pula hubungan antara Sultan Haji dan ayahnya. Situasi ini dimanfaatkan kompeni Belanda.
Sultan Haji dihasut untuk menentang kebijakan ayahnya dan dibujuk supaya lebih percaya dan memihak kepada Belanda. Atas bantuan Belanda ia berhasil mengambil tampuk pemerintahan Kesultanan sebagai sultan muda yang berkedudukan di Sorosowan (Banten).
Sejak bertentangan dengan anaknya, Sultan Haji, Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah pergi ke Tirtayasa (kini di Kabupaten Serang, Jawa Barat) dan mendirikan keraton baru di situ. Sejak menetap di Tirtayasa, ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa.
Sebutan ini sangat masyhur pada bangsa asing, terutama Belanda, karena sikapnya yang tidak mau tunduk terhadap keinginan mereka. Hal ini terlihat dari berbagai usaha yang dilakukannya untuk mengusir Belanda dari Nusantara. Dari keraton Tirtayasa, ia mengawasi anaknya mengendalikan pemerintahan. Selain itu, ia juga menghimpun kekuatan rakyat Banten untuk menghapuskan penjajahan, sekalipun hanya berbentuk monopoli perdagangan.
Dalam rangka mewujudkan keinginan dan cita-citanya untuk menjadikan Banten sebuah kerajaan Islam yang besar, Sultan Ageng Tirtayasa melakukan berbagai upaya dalam bidang ekonomi dan keagamaan. Dalam bidang ekonomi, ia meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui pencetakan kawasan persawahan baru dan pembangunan irigasi, yang juga berfungsi sebagai sarana perhubungan.
Dalam bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama dari Makassar dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa, sebagai mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan, sekaligus sebagai penasihat sultan dalam bidang pemerintahan.
Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai perhatian besar terhadap pengembangan ajaran Islam. Untuk itu, ia menggalakkan pendidikan agama, baik di lingkungan istana maupun di kalangan masyarakat dalam bentuk pondok pesantren.
Pada 1683 Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dengan cara tipu muslihat yang dilakukan Belanda yang bekerjasama dengan Sultan Haji. Ia dipenjarakan dalam benteng Belanda di Batavia. Ia meninggal di penjara itu pada 1692.
Atas permintaan pembesar dan rakyat, jenazahnya dikirim ke Banten. Ia dikebumikan di samping makam para sultan di sebelah utara Masjid Agung Banten dengan upacara kebesaran agama. Pada 1975 ia dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah Republik Indonesia atas jasanya terhadap tanah air.
Daftar Pustaka
Ambary, Hasan Muarif, et al. Hasil Penelitian Hari Jadi Kabupaten Serang dan Sejarah Banten dari Masa ke Masa. Serang: t.p., 1988.
Amin, Rachmatullah. Banten dalam Perspektif Sejarah Islam. Serang: Grafika Populer, 1990.
Djajadiningrat, P.R.A. Hoesein. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. Jakarta: Djambatan, 1983.
Michrob, Halwani. A Hypothetical Reconstruction of the Islamic City of Banten Indonesia. New York: Master Sciences Thesis at University of Pennsylvania, 1987.
Arfah Shiddiq