Tawakal

(Ar.: tawakkal)

Tawakal berarti “menyerahkan segala perkara, ikhtiar, dan usaha kepada Allah SWT serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya untuk mendapat manfaat atau menolak mudarat”. Tawakkal berasal dari kata at-tawakkul yang dibentuk dari kata wakala, yang berarti “menyerahkan”, “mempercayakan”, atau “mewakilkan urusan kepada orang lain”.

Tawakal merupakan pekerjaan hati manusia dan puncak­ tertinggi keimanan. Sifat ini akan datang­ dengan sendirinya jika iman seseorang sudah matang­. HAMKA mengatakan,

“Belum berarti pengakuan­ iman kalau belum tiba di puncak tawakal­. Maka apabila seorang mukmin telah bertawakal, berserah diri kepada Allah SWT, terlimpahlah­ ke dalam dirinya sifat aziz (terhormat, termulia) yang ada pada-Nya. Ia tidak takut lagi menghadang maut. Selain itu, terlimpahlah kepadanya­ pengetahuan­ Allah SWT. Dengan demikian,­ ia memperoleh­ berbagai ilham dari Allah SWT untuk mencapai­ kemenangan.”

Orang yang bertawakal kepada Allah SWT tidak akan berkeluh kesah dan gelisah. Ia akan selalu berada dalam ketenangan, ketenteraman, dan ke­gembiraan. Jika ia memperoleh nikmat dan karunia dari Allah SWT, ia akan bersyukur, dan jika tidak, ia akan bersabar. Ia menyerahkan semua­ keputusan,­ bahkan dirinya sendiri, kepada Allah SWT. Penyerahan diri itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan semata-mata karena Allah SWT. Namun,­ tidak berarti orang yang bertawa­kal harus meninggalkan semua usaha dan ikhtiar. Usaha dan ikhtiar itu harus tetap dilaku­kan, sedangkan­ keputusan terakhir diserahkan kepada Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT menegaskan:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauh­ kan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan ber­musyawarahlah dengan me­reka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan­ tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya­ Allah menyukai orang-orang yang bertawa­kal­ kepada-Nya” (QS.3:159).

“Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan, ‘(Kewajiban kami hanyalah) taat’. Tetapi apabila mereka­ telah pergi dari sisimu, sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah­ kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung” (QS.4:81).

Menurut Imam al-Ghazali, pendapat yang me­ngatakan bahwa tawakal adalah meninggalkan usaha-usaha badaniah dan tadbir (memutuskan) dengan hati merupakan pendapat orang yang tak paham agama. Hal tersebut haram di dalam syariat­.

Syariat memuji orang-orang yang bertawakal (yang disertai usaha). Karena itu Hujjatul Islam tersebut menjelas­­kan bahwa amal orang yang bertawakal terbagi empat bagian:

(1) berusaha­ memperoleh­ sesuatu yang dapat memberi­ manfaat kepadanya,­

(2) berusaha memelihara sesuatu­ yang dimilikinya dari hal-hal yang bermanfaat itu,

(3) ber­usaha menolak dan menghindarkan diri dari hal-hal yang akan menimbulkan mudarat (bencana), dan

(4) berusaha meng­hilangkan mudarat yang menimpa­ dirinya.

Di dalam hadis riwayat at-Tirmizi disebutkan, pada zaman Rasulullah SAW ada seorang laki-laki ingin meninggalkan­ untanya di depan masjid tanpa diikat, dengan alasan ia bertawakal kepada Allah SWT. Ketika hal itu diketahui Rasulullah SAW, beliau mengatakan, “Ikatlah untamu lebih dahulu, kemudian barulah bertawakal­.”

Di dalam penerapannya, tawakal terdiri atas tiga tingkat.

(1) Tawakal itu sendiri, yaitu hati senantiasa merasa tenang dan tenteram terhadap apa yang dijanjikan Allah SWT. Tawakal pada tingkat ini merupakan tawakal yang seharusnya­ dimiliki setiap mukmin dan menempati pering­kat pertama atau peringkat terbawah di da­lam maqam tawakal yang disebut maqam Bidayah.

(2) Taslim, yaitu menyerahkan­ urusan kepada Allah SWT ka­rena Ia mengetahui segala sesuatu mengenai diri dan keadaannya. Tawakal dalam bentuk ini dimiliki orang tertentu (khawas) dan menempati peringkat­ kedua di dalam maqam tawakal yang disebut­ maqam mutawassith.

(3) Tafwid, yaitu rida atau rela menerima­ segala ketentuan Allah SWT, bagaimanapun bentuk dan keadaannya­. Tawakal semacam­ ini dimiliki khawas al-khawas, seperti Rasulullah­ SAW. Maqam­ ini disebut maqam nihayat dan merupakan­ maqam yang tertinggi dalam peringkat­ tawakal.

Keyakinan utama yang mendasari tawakal adalah­ keyakinan sepenuhnya akan kekuasaan dan kemaha­besaran Allah SWT. Karena itulah tawa­kal merupakan bukti nyata dari tauhid. Di dalam batin­ seseorang yang bertawa­kal tertanam iman yang kuat bahwa segala sesuatu terletak di tangan Allah SWT dan berlaku atas ketentuan-Nya.

Tidak seorang­ pun dapat berbuat dan meng­hasilkan­ sesuatu tanpa izin dan kehendak Allah SWT, baik berupa hal-hal yang memberikan manfaat atau mudarat dan menggembirakan atau mengecewakan. Sekalipun seluruh makhluk ber­usaha untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat kepadanya, mereka tidak akan dapat melakukannya­ kecuali dengan izin Allah SWT. Demikian pula sebaliknya. Sekalipun mereka­ semua berkumpul untuk memudaratkannya, mereka tidak­ akan dapat melakukannya kecuali­ dengan izin-Nya.

Karena itu, hikmah tawakal antara lain membuat seseo­rang penuh percaya diri, memiliki keberanian­ dalam menghadapi setiap persoalan, memiliki ketenangan­ dan ketenteraman jiwa, dekat­ dengan Allah SWT dan menjadi kekasih-Nya, dipelihara, ditolong, dan dilindungi Allah SWT, diberikan re­zeki yang cukup, dan selalu berbakti dan taat ke­pada Allah SWT.

Syekh Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad (1044 H/1634 M–1132 H/1720 M; seorang sufi pendiri Tarekat Haddadiyah) mengatakan,­ syarat keabsahan tawakal adalah tidak melakukan perbuatan maksiat, selalu menghindarkan diri dari segala­ yang dilarang, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan­ Allah SWT.

Daftar Pustaka

al-Haddad, Syekh Abdullah bin Alwi bin Muhammad. Risalah al-Mu‘awanah wa al-Muzaharah. Singapura: Maktabah wa Matba‘ah Sulaiman Mar’i, t.t.

HAMKA. Tafsir al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional, 1990.

__________. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Said, Usman, et.al. Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Sumatera Utara, 1981/1982.

Salim, Haji Agus. Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Takdir, dan Tawakal. Jakarta: Intermasa, 1987.

Syukur, Asywadi. Ilmu Tasawwuf. Surabaya: Bina Ilmu, 1979.

Yaqub, H Hamzah. Tasawwuf & Taqarrub: Tingkat Ketenangan dan Kebangkitan Mukmin. Bandung: Pustaka Madya, 1987.

A. Hafizh Anshari