Tausiyyah

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS.103:1–3).

Secara bahasa, tausiyyah berarti “berwasiat kebaikan dan kebenaran”. Anjuran untuk melakukan tausiyyah di kalangan sesama muslim dapat dilihat pada ayat di atas. Menasihati saudara sesama muslim untuk tetap bertahan dalam kebenaran dan kesabaran merupakan bagian penting ajaran Islam. Islam memandang kehidupan manusia sebagai sebuah sistem yang membutuhkan kerjasama harmonis antaranggota masyarakat.

Islam tidak mengenal sistem kehidupan individualistik; artinya, seseorang berhak ‘mencampuri’ kehidupan orang lain. Amar ma‘ruf nahy munkar (memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran) merupakan prinsip sosial dalam kehidupan masyarakat muslim. Apabila melihat saudaranya terlibat dalam kemungkaran, seorang muslim harus mengingatkan atau menasihatinya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda,

“Barangsiapa dari kamu melihat kemungkaran, hen­daklah dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan mulutnya. Apabila tidak mampu juga, maka cukup dengan mengingkari dengan hatinya dan itu adalah bentuk iman yang paling lemah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bagaimana mungkin seorang muslim tidak menasihati saudaranya yang lain, padahal agama itu sendiri adalah nasihat, seperti disebutkan dalam hadis Nabi SAW. Agama adalah nasihat atau ajakan menuju kebajian. Ajakan kebenaran ini merupakan pengingatan terhadap fitrah yang ada dalam dirinya. Karena sibuk dengan urusan duniawi, terkadang manusia melupakan fitrah yang ada dalam dirinya. Di sinilah kemudian tausiyyah menjadi perlu bagi setiap manusia.

Hanya seorang muslim dengan jiwa besar yang dapat menerima teguran, kritik, atau protes sebagai nasihat. Ia dapat menerimanya secara timbal balik dan tidak monolog, karena yang menjadi ukuran baginya adalah kebenaran. Keberanian menyampaikan kebenaran adalah jihad bagi­nya. Kesiapan menerima setiap kebenaran merupakan bukti utama keimanan.

Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, salah seorang pemimpin teladan, menyadari pentingnya hal ini. Ia sadar bahwa kekuasaan sering melampaui batas jika tidak disertai dengan sikap kritis dan tausiyyah dari masyarakat. Karena itu, salah satu pidato kenegaraan Abu Bakar mendorong umat agar berani mengoreksinya jika ia salah, “Bantulah aku jika benar, dan luruskan aku jika aku salah!”

Umar bin Khattab, khalifah kedua, ketika berpidato secara resmi sebagai kepala negara pernah diinterupsi oleh seorang wanita tua yang mengingatkan kesalahan Umar dalam pidato itu. Umar menerima peringatan ini sebagai nasihat dan dengan jiwa besar mengakui bahwa ia salah dan wanita itu benar.

Sikap positif ini telah dimulai Umar sejak awal kepemimpinannya. Pada saat pelantikannya­ sebagai khalifah ia berpidato, “Seandainya aku dalam melaksanakan amanat ini melakukan kesalahan dan kekeliruan, maka tolong aku diingatkan dan diluruskan!” Salah seorang dari yang hadir lalu berdiri sambil menghunus­ pedang dan dengan lantang berkata, “Wahai Umar, aku akan meluruskan engkau dengan pedangku ini.” Kemudian Umar dengan tenang berkata, “Alhamdulillah, ada dari rakyatku yang mau meluruskan aku dengan pedangnya.”

Istilah tausiyyah juga populer dalam kamus politik Indonesia masa Presiden Soeharto. Berbagai kelompok ulama dan politik, khususnya di lingkungan NU, menggunakan istilah dan konsep ini untuk menyampaikan aspirasi dan nasihat baik kepada pemerintah maupun kekuatan-kekuatan politik lainnya.

Daftar Pustaka

Atjeh, Aboebakar Haji. Mutiara Akhlak. Jakarta: Bulan Bintang, 1959.

al-Ghazali, Muhammad. Khuluq al-Islam. Kuwait: Dar al-Bayan, 1970.

Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992.

ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Al-Islam: Kepercayaan, Kesusilaan, Amal Kebajikan. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

Ahmadie Thaha