Tauhid, Ilmu

(Ar.: ‘ilm at-tauhid)

Bahasan ilmu tauhid adalah tentang Allah SWT, yakni sifat yang wajib ada pada-Nya, yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan yang sama sekali harus ditiadakan dari-Nya. Ilmu tauhid juga membahas rasul Allah SWT untuk me­ne­tapkan kerasulan mereka, yakni hal yang wajib ada pada mereka dan yang boleh serta tidak boleh (terlarang) dikaitkan kepada mereka.

Kata tauhid berasal dari bahasa Arab tauhid yang berarti “mengesakan”. Tauhid adalah bentuk masdar (infinitif)­ dari kata kerja lampau wahhada yang merupakan­ derivasi dari
akar kata wahdah yang berarti “keesaan”, “kesatuan”, dan “persatuan”. Dalam terminologi Islam tauhid berarti “meyakini­ bahwa­ Allah SWT itu esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya”, yang dirumuskan dalam kalimat sya­hadat La ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah).

Ilmu ini dinamakan ilmu tauhid karena pokok pem­ba­hasannya yang paling penting adalah mene­tap­kan­ keesaan (wahdah) Allah SWT dalam Zat-Nya, dalam menerima peribadatan dari makhluk-Nya, dan meyakini bahwa Dia-lah tempat kembali, satu-satunya tujuan. Keyakinan tauhid­ inilah yang menjadi tujuan paling utama bagi kebangkitan Nabi Muhammad SAW.

Pokok pembahasan ilmu tauhid meliputi­ tiga hal, yaitu ma‘rifat al-mabda’, ma‘rifat al-wasithah, dan ma‘rifat al-ma‘ad. Ma‘rifat al-mabda’ adalah dengan penuh keyakinan mempercayai pencipta alam, Allah Yang Maha Esa. Hal ini se­ring diartikan dengan wujud yang sempurna, wujud mutlak atau wajib al-wujud.

Ma‘rifat al-wasithah adalah mempercayai dengan penuh keyakinan tentang para utusan Allah SWT yang menjadi utusan dan perantara Allah SWT dengan umat manusia untuk menyampaikan ajaran­-Nya, tentang kitab Allah SWT yang dibawa­ para utusan­-Nya, dan tentang para malaikat­-Nya. Ma‘rifat al-ma‘ad adalah mempercayai dengan penuh keya­kinan akan adanya kehidupan abadi setelah mati di alam akhirat dengan segala hal ihwal yang ada di dalamnya.

Ilmu tauhid bertujuan untuk memantapkan ke­yakinan dan kepercayaan agama melalui akal pikir­an,­ di samping kemantapan hati, yang dida­sarkan pada wahyu. Selain itu ilmu tauhid juga digunakan untuk membela keper­cayaan­ dan ke­ imanan dengan menghilangkan bermacam­-macam keraguan yang mungkin masih melekat atau sengaja dilekatkan oleh lawan-lawan kepercayaan itu. Dengan kata lain, ilmu tauhid bertujuan untuk mengangkat­ keperca­yaan­ seseorang dari lembah taklid ke puncak keyakinan. Itulah sebabnya ilmu tauhid dianggap sebagai “induk ilmu-ilmu agama”.

Sumber utama ilmu tauhid ialah Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW yang banyak berisi penjelasan tentang wujud Allah SWT, keesaan-Nya, sifat-Nya, dan persoalan-persoalan ilmu tauhid lainnya. Ulama memahami Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi SAW yang bertalian dengan soal tersebut, menguraikan dan menganalisisnya, dan masing-masing golongan berusaha memperkuat­ pendapatnya dengan ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW.

Dalil akal yang telah dipersubur­ dengan filsafat dan peradaban umat juga menjadi sumber yang tidak kurang pentingnya dalam­ mengem­bangkan­ ilmu tauhid. Karena itu pembicaraan ilmu tau­hid selalu didasarkan pada dua hal, yaitu dalil naqli (tertulis dalam Al-Qur’an dan hadis) dan dalil ‘aqli (akal pikiran).

Berdasarkan jenis dan sifat keyakinan tauhid, ulama membagi ilmu tauhid dalam tiga ba­gian. (

1) Tauhid rububiyyah, yakni mempercayai bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pencipta, pemeli­hara,­ penguasa, dan pengatur alam semesta.

(2) Tauhid uluhiyyah/‘ubudiyyah, yakni mempercayai ba­ hwa hanya kepada Allah SWT-lah manusia harus bertuhan, beribadah, memohon pertolongan,­ tunduk, patuh, dan merendah serta tidak kepada yang lainnya.

(3) Tauhid sifatiyyah, yakni mempercayai bahwa hanya Allah SWT yang memiliki segala sifat kesempurnaan dan terlepas dari sifat tercela atau dari segala kekurangan.

Ilmu Tauhid sering disebut juga ilmu usuluddin (pokok atau dasar agama) karena ilmu itu menguraikan pokok atau dasar agama. Istilah lainnya ialah ilmu akaid (keya­kinan) karena ilmu tersebut membahas masalah yang berhubungan dengan keyakinan yang harus terpatri dalam hati secara kuat.

Penyebutan lain untuk ilmu tauhid adalah ilmu kalam. Penamaan ini didasarkan pada beberapa alasan,­ antara lain:

(1) problem yang di­per­selisihkan­ umat Islam pada masa awal dalam­ ilmu ini adalah masalah kalam Allah SWT, yaitu Al-Qur’an, apakah ia makhluk dalam arti di­cipta­kan­ ataukah ia kadim dalam arti abadi, tidak diciptakan;­

(2) dalam membahas masalah ketuhanan tidak lepas dari dalil ‘aqli yang di­jadikan­ sebagai argumentasi yang kuat sesuai­ dengan­ aturan yang ditetapkan dalam logika (mantik) yang penyajiannya melalui permainan kata (kalam) yang tepat dan jitu (jami‘ mani‘).

Masih dalam soal istilah, ilmu tauhid juga dikenal­ dengan­ sebutan ilmu ilahiah karena yang menjadi objek utama dari ilmu ini pada dasarnya adalah masalah ketuhan­an. Ilmu tauhid juga ka­dang-ka­dang disebut teologi Islam.

Teologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ilmu ketuhanan. Teologi itu dapat bercorak agama (revealed theology) dan dapat juga tidak bercorak agama (natural theology atau philosophical theology). Oleh karena itu teologi­ membahas masalah ketuhanan dan pertaliannya dengan manusia, baik disandarkan pada kebenaran wahyu, maupun penyelidikan akal pikiran­ murni. Seorang ahli teologi dapat mengadakan­ penyelidikannya berdasarkan semangat penyelidikan bebas.

Untuk penentuan lapangan dan corak pembahasan­nya, perkataan teologi harus dikaitkan­ dengan kualifikasi tertentu, misalnya teologi­ Kristen, teologi Masehi, teologi filsafat, teologi masa kini, dan teologi Islam.

Dengan demikian maka istilah teologi lslam, ilmu kalam, dan ilmu tauhid memiliki kesamaan pengertian, yaitu di sekitar masalah sebagai­ berikut­.

(1) Kepercayaan tentang Tuhan dengan segala seginya, yang berarti termasuk di dalamnya­ soal wujud-Nya, keesaan-Nya, sifat-Nya, dan sebagainya.

(2) Pertalian-Nya dengan­ alam semesta,­ yang berarti termasuk di dalamnya­ persoalan­ terjadinya alam, keadilan dan kebijaksanaan Tuhan, serta kada dan kadar. Pengutusan­ rasul juga termasuk di dalam persoalan pertalian­ manusia dengan Tuhan, yang meliputi juga soal penerimaan wahyu dan berita alam gaib atau akhirat.

Pada masa Rasulullah SAW, istilah ilmu tauhid­ belum dikenal, demikian pula pada masa sahabat­. Ilmu tauhid baru dikenal setelah ilmu ke­islaman lainnya satu per satu muncul dan setelah orang banyak membicarakan soal alam gaib atau metafisika. Ilmu tauhid ini tidak sekaligus muncul pada satu masa, melainkan melalui tahap perkembangan dari abad ke abad.

Pada waktu Rasulullah SAW masih hidup, pembicaraan tentang sifat Allah SWT tidaklah menjadi perbincangan yang jauh, karena apa­bila sahabat menemukan suatu kesulitan atau sesuatu yang tidak dapat dipahami, mereka langsung­ menanyakan kepada Rasulullah SAW.

Jawaban­ Rasulullah SAW itu sudah cukup menjadi kepu­tusan final. Terhadap dalil yang terdapat dalam­ Al-Qur’an, para sahabat menerimanya­ sebagai akidah dan tidak terlalu jauh mem­perbincangkannya dengan penafsiran yang berbeda seperti apa yang dialami para ahli ilmu kalam di kemudian­ hari.

Pada masa awal al-Khulafa’ ar-Rasyidun (empat khalifah pertama), umat Islam masih tetap berpegang teguh pada pangkal akidah yang diwarisi dari masa Nabi SAW, meskipun pada masa itu muncul persoalan yang menimbulkan pertentangan­ di kalangan umat Islam, yaitu masalah khilafah­ (kekhalifahan)­.

Perbedaan pendapat ini masih bercorak­ politik dan bukan akidah. Selain itu pembahasan yang menyangkut akidah secara ilmia­h pada masa tersebut belum menonjol karena kesibukan­ menghadapi musuh dalam memperta­hankan­ keutuhan persatuan umat. Para sahabat membaca dan memahami Al-Qur’an dengan tidak mencari takwil atau penafsiran bagi ayat yang mereka baca.

Mereka memberi sifat pada Allah SWT menurut­ apa yang ada dalam Al-Qur’an. Mereka menyucikan­ Allah SWT dari se­gala sifat yang tidak layak bagi kebesaran dan kesucian­-Nya. Jika mereka­ menemukan ayat yang mutasyabihat, mereka mengimaninya se­demikian rupa sesuai de­ngan apa yang diungkapkan ayat itu dan menyerahkan­ penakwilannya­ kepada Allah SWT sendiri.

Pada masa khalifah ketiga, Usman bin Affan, terjadilah kekacauan politik. Mulailah timbul bibit perpecahan dan lahirlah golongan atau kelompok yang masing-masing berusaha mempertahankan pendiriannya. Persoalan tentang dosa besar muncul, yakni apa hakikatnya dan ba­gaimana hukum orang yang mengerjakannya.

Pembicaraan tentang dosa besar itu bermula dari ada­nya pembunuhan terhadap diri Khalifah Usman oleh kelompok pemberontak dari Irak yang antara lain disebabkan politik nepotisme yang dijalankan Usman. Selanjutnya timbullah perbedaan penda­pat tentang iman dan kufur (kafir).

Hal yang dipertanyakan­ adalah: apa pengertian dan bagaimana batasnya, bagaimana pertaliannya dengan­ perbuatan lahir, dan apakah pelaku dosa besar­ itu masih dianggap mukmin ataukah sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu.

Persoalan ini menimbulkan tiga aliran kalam: Khawarij­ yang menyatakan bahwa orang yang berdosa besar ada­lah kafir, Murji’ah yang berpendapat bahwa pelaku­ dosa besar tetap mukmin (bukan kafir), dan Muktazilah yang berpendiri­an bahwa pelaku dosa besar itu tidak kafir dan tidak pula mukmin.

Menurut­ Muktazilah, orang yang melakukan­ dosa besar berada di antara dua posisi, mukmin­ dan kafir (al-manzilah bain al-manzilatain). Keadaan serupa ini membuka peluang ke arah penakwilan­ nas-nas Al-Qur’an dan hadis. Sejak masa ini dimulai babak baru dalam pertumbuhan masalah akidah dengan segala problema­ti­ka­nya­. Masalah ini semakin lama semakin subur, meluas,­ dan membesar pada masa-masa berikutnya.

Dengan meluasnya wilayah Islam, peme­luk­ agama lain mulai masuk ke dalam Islam. Meskipun mereka telah masuk Islam, namun cara berpikir mereka masih dipengaruhi unsur kepercayaan­ yang pernah mereka anut. Ke­bebasan­ berbicara mendorong pula timbulnya kebebasan­ mengemukakan pendapat dan argumentasi masing-masing.

Persoalan kadar yang dahulunya tidak dipersoalkan­ mulai diungkapkan secara bebas. Timbullah golongan Kadariyah yang dipimpin Ma’bah al-Juhani (w. 80 H/700 M) dan dilanjutkan Gailan ad-Dimasyqi. Menurut Kadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat (free will and free act).

Sebagai lawan dari golongan Kadariyah, muncullah golongan Jabariyah dengan tokohnya Jahm bin Sofwan (w. 131 H/749 M). Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemerdekaan­ dalam kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya,­ segala gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan (fatalisme).

Pada penghujung abad pertama Hijriah, muncullah Hasan al-Birsi (w. 110 H/729 M). Tokoh ini berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah fasik dan tidak kafir. Dalam pada itu, Wasil bin Ata (w. 131 H/749 M), murid Hasan al-Bisri, menentang pendapat gurunya­.

Ia mengemukakan­ konsep al-manzilah bain al-manzilatain. Dialah tokoh pertama aliran Muktazilah. Menurut al-Maqrizi (sejarawan; 767 H/1364 M–846 H/1442 M), seorang ahli ilmu kalam, Wasil bin Ata telah menyusun kitab tauhid yang berjudul Kitab at-Tauhid, Kitab al-Manzilah Bain al-Manzilatain, dan Kitab al-Futya (Kitab Fatwa). Dengan demikian pada masa inilah­ dimulai usaha menyu­sun­ kitab yang berisikan ilmu tauhid.

Selanjutnya bermunculan kitab lain, misalnya ar-Radd ‘ala al-Qadariyyah (Jawaban terhadap Golongan­ Kadariyah) disusun oleh Amr bin Ubaid (w. 144 H/762 M) dan al-‘Alim wa al-Muta‘allim (Guru dan Murid) dan al-Fiqh al-Akbar (Fikih Besar) oleh Abu Hanifah (Imam Hanafi). Selain itu Imam Syafi‘i juga menyusun kitab dalam bidang ilmu tauhid dengan judul al-Fiqh al-Akbar.

Dengan diterjemahkannya buku filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab, kaum Muktazilah terpengaruh oleh penggunaan­ rasio atau akal yang mempunyai kedudukan­ tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik. Ke­percayaan pada rasio yang begitu tinggi dibawa kaum Muktazilah ke dalam lapangan pembahasan ilmu tauhid­.

Karena­ itu mudah dipahami jika pembahasan tauhid mereka bercorak liberal, dalam arti banyak meng­gunakan rasio meskipun tidak me­ninggalkan wahyu. Pemikiran mereka dalam lapangan ilmu tauhid yang bersifat rasional dan libe­ral itulah yang menarik sebagian kaum cendekia­wan­ yang ada dalam­ lingkungan pemerintahan kekhalifahan­ Abbasiyah pada permulaan abad ke-3 H atau abad ke-9.

Bahkan Khalifah al-Ma’mun (w. 218 H/833 M) menjadikannya sebagai mazhab resmi negara­. Karena­ telah menjadi aliran­ resmi negara, kaum Muktazilah menyiarkan­ ajarannya itu secara­ paksa, terutama­ tentang paham me­reka yang memandang Al-Qur’an sebagai makhluk dalam arti diciptakan. Pada masa al-Ma’mun, se­butan ilmu kalam lahir untuk suatu ilmu yang berdiri sendiri, sebagaimana­ dikenal sekarang.

Beberapa waktu kemudian Muktazilah menda­pat tantangan dari golongan tradisional Islam, terutama­ pengikut Mazhab Hanbali. Akhirnya aliran Muktazilah sebagai mazhab resmi negara dibatal­­kan oleh Khalifah al-Mutawwakil. Berikutnya Abu Hasan al-Asy‘ari (w. 324 H/936 M) tampil sebagai tokoh tradisional yang menentang Muktazilah. Ia menjadi pelopor aliran yang disebut Ahlusunah waljamaah atau yang dikenal juga sebagai aliran Asy‘ariyah. Muncul pula Abu Manzur al-Maturidi (w. 333 H/945 M) yang membawa paham yang agak libe­ral dibandingkan Asy‘ariyah, meskipun tidak sefanatik Muktazilah, yakni Maturidiyah.

Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad. Risalah at-Tauhid. Cairo: Muhammad Ali Sabih wa Auladuh, 1965.

Amin, Ahmad. Duha al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, t.t.

Hanafi, A. Pengantar Theologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, t.t.

Muin, Thahir Abdul. Ikhtisar Ilmu Tauhid. Jakarta: Dar an‑Najah, t.t.

Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran‑Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1978.

ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

asy-Syahristani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Oman Fathurrahman