Samaniyah, Dinasti

Samaniyah adalah sebuah dinasti kecil yang muncul di dunia Islam (Persia) pada abad ke-9, ketika Dinasti Abbasiyah mulai melemah. Wilayahnya meliputi daerah Khurasan (Irak) dan Transoksania (Uzbekistan) yang terletak di sebelah timur Baghdad. Ibukotanya adalah Bukhara.

Dinasti Samaniyah dapat bertahan selama kurang lebih 186 tahun (204 H/819 M–395 H/1005 M). Pendirinya adalah Ahmad bin Asad bin Samankhudat (w. 250 H/864 M). Nama Samaniyah dinisbahkan kepada leluhur pendirinya, yaitu Samankhudat, seorang pemimpin suku dan tuan tanah keturunan bangsawan terkenal dari Balkh, sebuah daerah di sebelah utara Afghanistan.

Data lain menyebutkan bahwa Samankhudat adalah keturunan penguasa Dinasti Sasaniyah di Persia.

Dalam sejarah Samaniyah terdapat dua belas khalifah yang memerintah secara berurutan. Berbeda dengan dinasti kecil lain yang berada di sebelah barat Baghdad, dinasti ini tetap tunduk kepada kepemimpinan khalifah Abbasiyah.

Tampilnya keturunan dinasti ini dalam sejarah Islam bermula dari masuknya Samankhudat menjadi penganut Islam pada masa Hisyam bin Abdul Malik (khalifah Umayah yang memerintah 106 H/724 M–126 H/743 M). Sejak itu Samankhudat dan keturunannya mengabdikan diri kepada penguasa Islam.

Selanjutnya, pada masa kekuasaan al-Ma’mun (198 H/813 M–218 H/833 M) dari Dinasti Abbasiyah, empat cucu Samankhudat memegang jabatan penting sebagai gubernur dalam wilayah kekuasaan Abbasiyah: (1) Nuh di Samarkand, (2) Ahmad bin Asad di Fergana (Turkistan) dan Transoksania, (3) Yahya di Shash serta Ushrusan (daerah di utara Samarkand), dan (4) Ilyas di Herat, Afghanistan.

Dalam perkembangan berikutnya, Ahmad bin Asad, salah seorang cucu Samankhudat, mulai merintis berdirinya Dinasti Samaniyah di daerah kekuasaannya, Fergana. Ahmad mempunyai dua putra, Nasr dan Isma‘il, yang juga menjadi orang kepercayaan khalifah Abbasiyah. Nasr I bin Ahmad dipercayakan menjadi gubernur di Transoksania dan Isma‘il I bin Ahmad di Bukhara.

Nasr I bin Ahmad selanjutnya mendapat kepercayaan dari Khalifah al-Mu‘tamid (257 H/870 M–279 H/892 M) untuk memerintah seluruh wilayah Khurasan dan Transoksania. Daerah luas inilah yang nantinya menjadi basis perkembangan Dinasti Samaniyah. Oleh karena itu, Nasr I bin Ahmad dipandang sebagai pendiri hakiki dinasti ini.

Antara Nasr dan saudaranya, Isma‘il, selalu terlibat konflik yang mengakibatkan terjadinya peperangan pada 275 H/888 M. Dalam peperangan ini Nasr kalah dan tertawan. Dengan kekalahan ini, kepemimpinan Dinasti Samaniyah beralih ke tangan Isma‘il I bin Ahmad. Pusat pemerintahan, yang sebelumnya di Khurasan, dipindahkan ke Bukhara.

Langkah awal yang dilakukan Isma‘il I bin Ahmad adalah memperkukuh kekuatan dinasti ini dan mengamankan batas wilayahnya dari ancaman suku liar Turki. Pada langkah berikutnya, ia melakukan penataan administrasi pemerintahan dan memperluas wilayah kekuasaan ke Tabaristan (selatan Laut Kaspia, Irak utara) dan Rayy (Iran).

Menurut Ibnu Asir (sejarawan muslim; 1160–1234), Isma‘il I bin Ahmad memiliki sifat terpuji, antara lain sangat mencintai dan memuliakan para ilmuwan serta bertindak adil terhadap rakyatnya. Ia wafat pada 295 H/907 M dan pemerintahannya diteruskan oleh putranya, Ahmad bin Isma‘il.

SILSILAH DINASTI SAMANIYAH DI KAWASAN IRAK

DAN UZBEKISTAN (204 H/819 M–395 H/1005 M)

NAMA

MASA PEMERINTAHAN

1.            Ahmad bin Asad Samankhudat 204 H/819 M–250 H/864 M
2.            Nasr I bin Ahmad 250 H/864 M–279 H/892 M
3.            Isma’il I bin Ahmad 279 H/892 M–295 H/907 M
4.            Ahmad bin Isma’il 295 H/907 M–301 H/913 M
5.            Nasr II bin Ahmad 301 H/913 M–331 H/943 M
6.            Nuh I bin Nasr

7.            Abdul Malik I bin Nuh

331 H/943 M–343 H/954 M

343 H/954 M–350 H/961 M

8.            Mansur I bin Mansur 350 H/961 M–365 H/976 M
9.            Nuh II bin Mansur 365 H/976 M–387 H/997 M
10.          Mansur II bin Nuh 387 H/997 M–389 H/999 M
11.          Abdul Malik II bin Nuh 389 H/999 M–390 H/1000 M
12.          Isma’il II al-Muntasir 390 H/1000 M–395 H/1005 M

 

Ahmad bin Isma‘il tidak banyak mencatat prestasi selama pemerintahannya, kecuali meneruskan apa yang telah dirintis ayahnya. Pada 301 H/914 M ia dibunuh oleh sekelompok pemuda, tetapi tidak jelas motif pembunuhannya. Ia digantikan putranya, Nasr II bin Ahmad.

Nasr II bin Ahmad berhasil memperluas wilayah hingga meliputi Sijistan, Karman, Jurjan (CIS selatan) di samping Rayy, Tabaristan, Khurasan, dan Transoksania. Setelah Nasr II bin Ahmad, para khalifah berikutnya tidak mampu lagi mengadakan perluasan wilayah.

Bahkan, khalifah terakhir, Isma‘il II al-Muntasir, tidak dapat mempertahankan wilayahnya dari serbuan tentara Dinasti Qarakhan (999–1211) dan Dinasti Ghaznawiyah (999–1037) dari Turki.

Akhirnya, wilayah kekuasaan Samaniyah dipecah menjadi dua, daerah Transoksania direbut oleh Qarakhan dan wilayah Khurasan menjadi milik penguasa Ghaznawiyah. Isma‘il II al-Muntasir sendiri terbunuh pada 395 H/1005 M.

Sumbangan penting dinasti ini bagi perkembangan Islam antara lain adalah pengembangan sastra, baik sastra Arab maupun sastra Persia. Penguasa dinasti ini sangat berminat mengembangkan sastra Persia walaupun bahasa resmi yang digunakan tetap bahasa Arab.

Di masa itu lahir sastrawan terkemuka, seperti Firdausi (934–1020) yang terkenal karena syairnya dan Bal’ami (961–976) yang berjasa karena menerjemahkan karya Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir at-Tabari. Perhatian penguasa terhadap perkembangan ilmu dan sains menjadikan Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan.

Ketika itu Baghdad hampir tersaingi oleh Bukhara, yang ramai dikunjungi para ilmuwan dari berbagai pelosok dunia Islam karena perpustakaannya yang lengkap.

Pada masa itu muncul pula para ahli kedokteran, ahli ilmu falak, dan filsuf, antara lain yang terkenal adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (dokter dan filsuf terkemuka dari Rayy; w. 932 H/1526 M) dan Ibnu Sina (980–1037). Pada masa pemerintahan Nuh II bin Mansur (khalifah ke-9 Dinasti Samaniyah), Ibnu Sina pernah dipanggil ke istana untuk mengobati Khalifah.

DAFTAR PUSTAKA
Bosworth, C.E. Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1993.
Brockelmann, Carl. History of the Islamic Peoples. London: Routledge & Kegan Paul Ltd., t.t.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Siyasi wa ad-Dini wa ats-saqafi wa al-Ijtima‘i. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1976.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan Education Ltd., 1974.
Musdah Mulia