Kesultanan yang terletak di Kepulauan Riau ini adalah pecahan (1818) sekaligus pelanjut dari Kesultanan Johor-Riau yang berpusat di Riau. Sejak abad ke-15, Islam telah berkembang di Riau. Daerah ini juga menjadi pusat sastra Melayu Islam. Sejak 1818 hingga 1911, Kesultanan Riau diperintah oleh lima sultan.
Pada zaman pemerintahan Kesultanan Johor-Riau, para sultan sering terlibat dalam percaturan perebutan hegemoni di Selat Malaka dengan Belanda (VOC), Portugis (yang berpusat di Malaka), dan Aceh.
Aliansi dan perseteruan saling berganti terjadi. Setelah orang Bugis masuk dan mendominasi pemerintahan di kesultanan sebagai “yang dipertuan muda (yamtuan muda)”, hubungan antara Kesultanan Johor-Riau dan pihak Belanda sering ditandai dengan peperangan.
Sebenarnya kedatangan Belanda pertama kali di Riau (Pulau Bayan) tahun 1758 tidak disambut baik pihak kesultanan. Mereka disambut dengan peperangan yang berlarut-larut sampai akhirnya Yamtuan Muda Raja Haji (1777–1784) gugur dalam pertempuran dengan armada Belanda di Teluk Ketapang pada 30 Oktober 1784.
Sebagai pihak yang kalah perang, kepala pemerintahan Kesultanan Johor-Riau, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah (berkedudukan di Pulau Ling-ga) dan Yamtuan Muda Raja Ja‘far (berkedudukan di Riau), terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Belanda 10 November 1784. Sejak itu Kesultanan Johor-Riau mengakui hegemoni Belanda atas wilayah kesultanannya dan hak monopoli perdagangan di Kepulauan Riau.
Belanda kemudian menempatkan seorang residen yang berkedudukan di Tanjungpinang. Perjanjian antara Kesultanan Johor-Riau dan Belanda mendorong Inggris untuk memperkuat pengaruhnya di Singapura.
Pemimpin Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles (1781–1826), melantik kakak Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah, yaitu Tengku Long (Tengku Husain), 6 Februari 1818 sebagai sultan di Kesultanan Johor-Singapura dengan gelar Sultan Husain Syah (1818–1835).
Inggris kemudian mengadakan perjanjian dengan Sultan Husain Syah yang memperkenankan Inggris mendirikan benteng dan gudang perdagangan di Singapura. Mulai saat itu Inggris menancapkan kekuasaannya di Singapura.
Tindakan Stamford Raffles ini mengubah Kesultanan Johor yang dulunya meliputi Johor, Riau, Lingga, Singapura, Pahang, dan pulau-pulau di sekitar Johor dan Riau menjadi terpecah-pecah. Kesultanan Johor-Riau-Lingga menjadi Kesultanan Riau dan berada dalam pengaruh politik Belanda, sedangkan Kesultanan Johor-Singapura menjadi Kesultanan Johor dan berada dalam pengaruh politik Inggris.
Sementara Pahang membentuk kesultanan sendiri. Dengan demikian tahun 1818 merupakan awal dari pemerintahan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah di Kesultanan Riau.
Pertikaian antara Inggris dan Belanda berakhir dengan perjanjian 17 Maret 1824, yaitu Traktat London. Perjanjian ini berkenaan dengan garis pemisah wilayah kekuasaan masing-masing yang secara resmi memecah kesatuan politik Melayu dan berpengaruh sampai sekarang.
Kesultanan Riau hanya diperintah lima orang sultan selama masa berkuasanya. Urutan sultan yang memerintah di kesultanan ini adalah: (1) Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah I (1818–1832), (2) Sultan Muhammad Syah (1832–1841), (3) Sultan Mahmud Muzaffar Syah (1841–1857), (4) Sultan Sulaiman (1857–1885), dan terakhir (5) Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah II (1885–1911).
Sementara itu kedudukan yamtuan muda (perdana menteri) dijabat oleh keturunan Bugis, yaitu: (1) Raja Ja‘far (1818–1831), yang sebelumnya menjabat sebagai yamtuan muda di Kesultanan Johor-Riau ketika belum berpisah; (2) Raja Abdul Rahman (1833–1844), setelah terjadi kevakuman antara 1831–1833; (3) Raja Ali bin Raja Ja‘far (1845–1857); (4) Raja Abdullah (1857–1858); dan (5) Raja Mohammad Yusuf (1858–1899).
Perjanjian Kesultanan Riau dengan Belanda yang mengakui kekuasaan Belanda ditegaskan lagi dengan kesepakatan baru yang ditandatangani 29 Oktober 1830. Namun hal ini tidak menutup timbulnya perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Riwayat Kesultanan Riau berakhir dengan dimakzulkannya Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah II pada 1911 oleh Belanda karena Sultan tidak mau menerima penjajahan Belanda. Bersama beberapa orang pengikutnya, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah II kemudian menetap di Singapura sampai akhir hayatnya (1929).
Kesultanan Riau sejak awal berdirinya sudah kehilangan kekuasaan politiknya. Tetapi kesultanan mengembangkan unsur kebudayaan seperti sastra dan kesenian sebagai ekspresi kemampuannya sehingga unsur budaya itu mengalami kemajuan pesat.
Perkembangan tersebut berpusat di Pulau Penyengat, pulau kecil di dekat Pulau Bitan. Agama Islam yang telah berkembang di Riau sejak abad ke-15 menjadikan Riau sebagai pusat perkembangan kesusastraan Melayu Islam.
Pujangga yang terkenal pada saat itu ialah Raja Ali Haji (1809–1870), putra Raja Ahmad, Yang Dipertuan Muda Kes-ultanan Riau-Johor, keturunan langsung dari seorang “lima bersaudara bangsawan Bugis” yang datang membantu Sultan Riau-Johor menghadapi Raja Kecil dari Minangkabau (abad ke-18).
Ia meninggalkan karya besar budaya Melayu dalam bidang filsafat, akhlak-tasawuf, hukum, teologi, sejarah, dan terutama sekali bahasa dan sastra. Pandangannya tentang ilmu (kalam) dan kekuasaan (pedang) diutarakannya da-lam mukadimah bukunya yang berjudul Bustan al-Kaatibin. Menurutnya,
“Segala pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam, adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang, maka itulah ibarat yang terlalu nyata nya; dan berapa ribu dan laksa pedang yang terhunus, dengan segores kalam jadi tersarung.”
Daftar Pustaka
Ahmad, A. Samad. Kerajaan Johor-Riau. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1985.
Departemen Dalam Negeri RI. Profil Propinsi Republik Indonesia: Riau. Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992.
Lutfi, Muchtar, ed. et al. Sejarah Riau. Pekanbaru: Universitas Riau, 1977.
ar-Raniri, Nuruddin. Bustan as-Salatin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966.
Badri Yatim