Partai Islam Indonesia adalah sebuah partai politik yang didirikan oleh sekelompok orang yang merasa tidak memiliki wadah penyaluran aspirasi politik setelah terjadi perpecahan di kalangan PSII (Sarekat Islam) pada dekade 1930-an. Mereka terdiri dari orang Persis, Muhammadiyah, Barisan Penyadar PSII, dan lain-lain. Program pertama Partai Islam Indonesia ini adalah menuntut agar Indonesia berparlemen.
Ide dasar pembentukan PII ini sebenarnya sudah muncul semenjak tahun 1933, ketika terbentuk Panitia Persatuan Islam Indonesia, suatu organisasi yang menurut para pendirinya didasarkan kepada Islam, swadaya, dan nasionalisme. Panitia ini kemudian menjalin kerjasama dengan PSII Merdeka di Yogyakarta, yaitu cabang PSII yang memutuskan hubungan dengan PSII pusat.
Panitia ini mendapat dukungan dari beberapa daerah seperti Cirebon, Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Pekalongan, Solo, Pare, dan Telukbetung untuk membentuk Partai Islam Indonesia yang disingkat Partii.
Usaha ini mula-mula tidak berhasil diwujudkan, tetapi pada 1938 baru dapat diwujudkan dengan berdirinya Partai Islam Indonesia, disingkat PII.
Pada 1933, satu tahun sebelum meninggalnya HOS Tjokroaminoto, terjadi kemelut di tubuh PSII yang mengakibatkan dipecatnya Dr. Sukiman, Surjopranoto, dan kawan-kawannya dengan alasan tidak sopan terhadap Ketua. Pemecatan ini menimbulkan reaksi keras dari daerah, dan menimbulkan pembentukan Panitia Persatuan Islam Indonesia.
Pada 28 November 1936 Agus Salim dan kawan-kawannya membentuk Barisan Penyadar PSII yang diketuai Mohamad Roem. Mereka juga dipecat dari PSII.
Orang yang terkena pemecatan tersebut merasa tidak punya wadah untuk menyalurkan aspirasi politiknya, sehingga timbul pemikiran untuk mendirikan partai politik baru. Di masa itu di Yogyakarta juga terdapat suatu kelompok belajar yang didirikan oleh orang Jong Islamieten Bond, dengan nama Islam Studi Club di bawah pimpinan Ahmad Kasmat Bauwinangun.
Mereka kemudian ikut menggabungkan diri kepada kelompok tersebut. Dengan bermodalkan anggota kelompok studi tersebut mereka sepakat mendirikan Partai Islam Indonesia pada 4 Desember 1938, dengan ketuanya yang pertama Rd. Wiwoho Purbohadidjojo yang juga menjadi anggota Volksraad.
Komposisi pengurus PII pada awal pembentukannya, 1938, adalah ketua: Rd. Wiwoho; wakil ketua: Sukiman; sekretaris I: Ahmad Kasmat; sekretaris II: Wali al-Fatah; bendahara: H.A. Hamid; dan komisaris: KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Rasyidi B.A. dan H Farid Ma’ruf.
Bagian personalia DPP PII didominasi oleh orang Muhammadiyah, tetapi di Priangan diketuai oleh orang Persis, yaitu M. Natsir, dan kepengurusan di Sumatera didominasi orang Permi (Persatuan Muslimin Indonesia).
Pada awal berdirinya, para pengurus PII belum begitu memikirkan penyusunan program yang bersifat menyeluruh. Mereka baru memikirkan yang praktis saja, antara lain menuntut Indonesia berparlemen kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Baru kemudian mereka menyusun program yang bersifat menyeluruh dan melakukan pengiriman juru kampanye untuk menarik anggota di daerah di seluruh Nusantara. Dengan cara ini pada 1939, PII sudah memiliki 41 cabang dan pada 1941 memiliki 125 cabang yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara.
Pada Kongres Pertama di Yogyakarta, terjadi pergantian personalia pengurus pusat: Sukiman menjadi ketua dan Wiwoho menjadi wakil ketua. Anggota DPP yang lain adalah Ki Bagus Hadikusumo, Wali al-Fatah, H Farid Ma’ruf, H.A. Hamid, Kartono, A. Gafar Ismail, H Anwar, H Rasyidi B.A., Abdul Kahar Muzakkir, Ahmad Kasmat; sedangkan KH Mas Mansur, ketua PP Muhammadiyah ketika itu, menjadi penasihat.
Adapun tuntutan Partai Islam Indonesia berdasarkan hasil kongres itu adalah menghendaki negara kesatuan (Indone sia) yang demokratis, dengan dilengkapi parlemen dan lembaga perwakilan yang keanggotaannya berdasarkan pemilihan langsung dan umum; indonesianisasi anggota staf pemerintahan; perluasan hak politik: kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berpikir, dan kebebasan pers.
PII juga menuntut penghapusan peraturan yang menghambat Islam, penghapusan subsidi bagi semua agama, penyerahan perusahaan vital kepada negara, penghapusan imigrasi, penghapusan pajak yang memberatkan rakyat banyak, dan perlindungan perusahaan Bumiputera terhadap saingan dan tekanan perusahaan asing.
Kongres Partai Islam Indonesia kedua diadakan di Solo 25–27 Juli 1941. Keputusan pentingnya adalah kesediaan PII menjadi anggota Gapi (Gabungan Politik Indonesia). PII juga bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan juga Majlis Rakyat Indonesia (MRI).
PII mengambil sikap kooperatif dengan pemerintah; namun PII juga mengang-gap bahwa strategi paling sehat untuk memperjuangkan kemerdekaan adalah dengan jalan persatuan. Itulah sebabnya PII selalu ikut menjadi anggota organisasi yang bersifat gabungan.
Daftar pustaka
Amelz. HOS Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Roem, Mohamad. Bunga Rampai dari Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Saidi, Ridwan. Cendekiawan Islam Zaman Belanda, Studi Pergerakan Intelektual JIB dan SIS (‘25–’42). Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu, 1990.
Atjeng Achamd Kusaeri