Secara kebahasaan nasab berarti “keturunan” atau “kerabat”. Secara etimologis, nasab berarti “pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah”. Hubungan nasab merupakan faktor penting dalam penentuan calon mempelai dan waris.
Kata “nasab” dalam Al-Qur’an disebutkan dalam tiga tempat. Pertama, dalam surah al-Mu’minun (23) ayat 101 yang berarti: “Ketika sangkakala ditiup (kiamat) maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.”
Kedua, dalam surah al-Furqan (25) ayat 54 yang berarti: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia berketurunan (nasab)….”
Ketiga, dalam surah as-saffat (37) ayat 158, yang berisi tuduhan umat Nabi Yunus AS yang ingkar bahwa Allah SWT dan jin berhubungan nasab.
Karena nasab adalah pertalian kekeluargaan yang didasarkan pada akad perkawinan yang sah, pengertian nikah perlu disinggung. Imam Hanafi mengartikan kata nikah secara hakiki adalah wath’i (hubungan seksual) dan secara majasi (ungkapan) adalah akad (transaksi).
Imam Syafi‘i mengartikan kata nikah secara hakiki adalah akad dan secara majasi adalah wath’i. Oleh karena itu jika seseorang melakukan perzinaan dan kemudian lahir anak akibat perzinaan itu, menurut Abu Hanifah (Imam Hanafi), Sufyan as-Sauri, dan Abdurrahman al-Auza’i (salah seorang imam dan pengumpul hadis yang pertama di Syam/Suriah), anak yang lahir dari perzinaan tersebut menjadi nasab bapak pezinanya.
Karena itu ia haram untuk dinikahkan oleh bapak pezinanya. Sementara menurut Imam Syafi‘i, yang didukung Imam Malik, anak yang lahir akibat perzinaan tidak bisa dinasabkan kepada bapak zinanya. Oleh karenanya, anak zina boleh dikawinkan oleh bapak pezinanya.
Namun ulama sepakat bahwa akad nikah merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh keturunan yang sah. Dalam ajaran fikih, seorang anak dinisbahkan kepada ayahnya.
Nasab, dalam arti keturunan, merupakan salah satu faktor dari empat faktor yang harus dipertimbangkan dalam keserasian antara kedua calon mempelai. Keserasian ini disebut dengan kafa’ah. Hal ini dimaksud agar tujuan perkawinan itu dapat tercapai, yaitu ketenangan hidup berdasarkan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah).
Nabi SAW bersabda, “Wanita dinikahi karena empat hal, karena agama, harta, kecantikan, dan karena nasab (keturunan)-nya. Maka pilihlah agamanya, maka akan menguntungkan kamu” (HR. Abu Dawud).
Hadis tersebut menunjukkan bahwa untuk memperoleh keserasian antara calon mempelai, faktor keturunan perlu dipertimbangkan. Yang dimaksud di sini adalah keturunan dari pihak calon mempelai perempuan dan laki-laki.
Tetapi apabila antara calon mempelai laki-laki dan perempuan terdapat hubungan nasab, dalam banyak hal diharamkan kawin antara keduanya. Adapun nasab yang diharamkan untuk dikawini dijelaskan dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 23, yaitu
(1) ibu, nenek dari bapak atau dari ibu, dan seterusnya ke atas;
(2) anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah;
(3) saudara perempuan sekandung, sebapak, dan seibu;
(4) anak perempuan saudara laki-laki (sekandung, sebapak, dan seibu);
(5) anak perempuan saudara perempuan (sekandung, sebapak, dan seibu);
(6) saudara perempuan bapak, kakek, dan seterusnya ke atas; dan
(7) saudara perempuan ibu, nenek, dan seterusnya ke atas.
Tentang hubungan persusuan, dapat dianalogikan (kias) pada hubungan nasab (QS.4:23), yaitu ibu dan saudara perempuan sepersusuan. Kedua orang ini diharamkan untuk dikawini oleh anak atau saudara sepersusuannya. Dalam kaitan ini, nasab yang haram dikawini disebut dengan mahram (muhrim).
Nasab dalam hukum waris Islam merupakan salah satu sebab seseorang dapat mewarisi harta pewarisnya. Dalam Islam, masing-masing nasab dengan tidak memandang jenis kelamin dan usia mempunyai hak untuk memperoleh warisan dari pewarisnya.
Sebagaimana ditetapkan dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 11–12, pembagian warisan ini terbagi tiga kelompok, yaitu(1) kelompok yang menerima bagian tertentu (ashab al-furud),(2) kelompok penerima bagian sisa (‘asabah), dan (3) kelompok yang tidak menerima bagian, kecuali dalam keadaan dua kelompok tersebut di atas tidak ada (dzawi al-arham).
Kelompok nasab ashab al-furud terbagi dua: ahli waris perempuan dan ahli waris laki-laki. Ahli waris perempuan terdiri dari: (1) anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah; (2) ibu, nenek dari garis ibu dan bapak, dan seterusnya ke atas; (3) saudara perempuan sekandung, sebapak, dan seibu; dan (4) istri (bukan nasab, tetapi akibat perkawinan).
Adapun ahli waris laki-laki terdiri dari: (1) anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya ke bawah; (2) bapak, kakek, dan seterusnya ke atas; (3) saudara laki-laki sekandung, sebapak, dan seibu; (4) anak laki-laki saudara laki-laki sekandung dan seayah; (5) paman (saudara laki-laki ayah) yang sekandung atau seayah; (6) anak laki-laki paman (saudara ayah); dan (7) suami (bukan nasab).
Ahli waris laki-laki kebanyakan menerima bagian sisa, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Berikanlah bagian warisan itu kepada yang berhak menerimanya, maka sisanya adalah untuk ahli waris yang terdekat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengenai nasab yang termasuk kelompok dzawi al-arham (seperti cucu perempuan dari anak perempuan dan kakek dari garis ibu), apabila ahli waris penerima bagian tertentu dan sisa tidak ada, terdapat perbedaan pendapat.
Menurut Imam Malik, Syafi‘i, dan mayoritas ahli hukum amsar (kota besar) serta Zaid bin Sabit, nasab dzawi al-arham tidak dapat menerima warisan. Sebagian sahabat, ahli hukum Irak, Kufah, dan Basrah berpendapat bahwa dzawi al-arham dapat menerima warisan. Tetapi yang terakhir ini berbeda pendapat mengenai cara pembagiannya.
Imam Hanafi dan sahabatnya memberikan bagian kepada dzawi al-arham dengan prinsip ‘asabah, artinya mengutamakan rumpun yang terdekat, yaitu: (1) kelompok anak dan cucu (bunuwah), (2) kelompok bapak (ubuwah), (3) kelompok saudara (ukhuwah), dan (4) kelompok paman (‘umumah). Selama ada kelompok yang terdekat, yang lain tidak dapat menerima bagian.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa cara pembagian warisan kepada nasab dzawi al-arham adalah dengan cara menurunkan atau mendekatkan pertalian nasabnya sehingga seakan-akan menduduki kedudukan ahli waris yang menghubungkan mereka kepada pewaris.
Mazhab ini disebut dengan Mazhab Ahl at-Tanzil. Dengan demikian pelaksanaannya mirip dengan pembagian warisan sebagaimana biasa.
Ada pendapat lain menyatakan, cara pembagian warisan kepada nasab dzawi al-arham adalah dengan cara membagi rata sesuai dengan jumlah ahli waris dzawi al-arham yang ada.
Yang terakhir ini disebut Mazhab Ahl ar-Rahim. Adapun dalil yang dikemukakan, yakni firman Allah SWT yang berarti: “…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah…” (QS.8:75).
Ayat ini ditafsirkan secara berbeda-beda. Menurut Imam Malik, Syafi‘i, dan lainnya yang tidak memberikan warisan kepada kelompok dzawi al-arham, ayat tersebut khusus berlaku pada ayat warisan.
Sementara menurut Abu Hanifah (Imam Hanafi), kelompok dzawi al-arham memperoleh warisan karena memiliki keunggulan dibanding kaum muslim lainnya, yaitu karena nasab dan kerabat. Karena itu wajar apabila dzawi al-arham memperoleh warisan.