Istikamah

(Ar.: al-istiqamah)

Istikamah berarti “keadaan atau upaya seseorang untuk teguh mengikuti jalan lurus (agama Islam) yang telah ditunjuk Allah SWT”. Secara harfiah istilah “istikamah” berarti “lurus, teguh, dan tetap”. Al-Qur’an tidak menyebut kata “istikamah” dalam bentuk masdar, tetapi dalam bentuk kata kerja (fi‘il) dan kata perintah (amr) sebanyak 10 kali serta sekali dalam bentuk kata sifat.

Allah SWT berfirman dalam surah at-Taubah (9) ayat 7 yang berarti: “… maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” Dalam konteks ini, istikamah berarti “berlaku lurus, sopan, dan berbudi pekerti yang baik”.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad (Imam Hanbali) dari Anas bin Malik dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah dapat istikamah iman seorang hamba, sehingga hatinya istikamah, hatinya tidak dapat istikamah sehingga lisannya istikamah dan tidak masuk seorang laki-laki itu ke dalam surga….”

Istikamah yang dimaksudkan di sini adalah keserasian antara hati, lisan (ucapan), dan tindakan yang didasarkan pada keimanan. Ini berbeda dengan sifat dan sikap munafik, yaitu antara hati, ucapan, dan tindakan sering berlawanan . Seorang yang munafik jika berbicara ia akan berbohong, jika berjanji ia akan mengingkari, dan jika ia dipercaya akan berkhianat.

Hadis lain menjelaskan bahwa Nabi SAW ketika ditanya oleh Sufyan bin Abdullah as-Saqafi tentang pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan oleh orang lain kepadanya, menjawab, “Katakan, aku beriman kepada Allah, kemudian teguhkan hati (pendirian)mu” (HR. Ahmad bin Hanbal).

Istikamah (teguh pendirian) selalu dipakai dalam arti yang positif. Istilah ini ditunjukkan beberapa kali dalam ayat Al-Qur’an sesudah seseorang terlebih dahulu beriman kepada Allah SWT.

Kedudukan orang yang istikamah digambarkan dalam surah Yunus (10) ayat 89 yang berarti: “Allah berfirman, ‘Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui’.”

Doa orang yang istikamah akan dikabulkan Allah SWT. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abu Zar:

“Sungguh beruntunglah orang yang ikhlas hatinya, menjadikan hatinya selamat, lisannya benar, jiwanya tenang, budi pekertinya teguh, telinganya mau mendengar, matanya mau melihat. Maka telinga cukup teliti (dalam menyaring berita) dan mata mengakui pada apa yang disadari hatinya, dan berbahagialah orang yang menjadikan hatinya sadar.”

Kalau dikaitkan dengan keterangan surah al-Fatihah (1) ayat 6 dan 7, dapat dipahami bahwa jalan yang lurus (siratal mustakim) adalah jalan orang yang telah mendapat anugerah nikmat dari Allah SWT dan bukan orang yang dimurkai serta sesat jalannya.

Ibnu Kasir dalam menjelaskan istikamah menggambarkan bahwa Allah SWT memerintahkan rasul dan hamba-Nya yang mukmin agar tetap dan terus-menerus istikamah karena istikamah merupakan pertolongan yang terbesar atas segala permusuhan dan untuk menentang kejahatan.

Maka wajar apabila Allah SWT memberikan gambaran dan juga memerintahkan agar setiap muslim senantiasa beristikamah dalam iman, Islam, dan ihsan. Dalam surah asy-Syura (42) ayat 15 Allah SWT berfirman yang berarti:

“… dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu.”

Kemudian dalam surah al-Jinn (72) ayat 16 Allah SWT berfirman yang berarti: “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).”

Selanjutnya dalam surah al-Ahqaf (46) ayat 13 Allah SWT berfirman yang berarti: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istikamah (teguh pendirian dalam tauhid dan tetap beramal saleh) maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.”

Istikamah juga berfungsi sebagai pencegah setiap pribadi muslim agar tidak tergoda oleh perilaku maksiat dan lebih-lebih ingkar kepada Allah SWT setelah ia beriman. Dalam surah Fussilat (41) ayat 6 Allah SWT berfirman yang berarti:

“Katakanlah: ‘Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan(Nya)’.”

Selanjutnya pada surah Fussilat (41) ayat 30 Allah SWT berfirman yang berarti:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) surga yang telah dijajikan Allah kepadamu.’”

Ayat dan hadis di atas memberi penjelasan bahwa istikamah berarti “bersikap konsisten terhadap pengakuan iman dan Islam serta dengan tulus mengabdikan diri kepada Allah SWT untuk mengharap rida-Nya”. Ini dilakukan untuk mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Kasir, al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: ‘Alam al-Kitab, 1405 H/1985 M.

at-Tabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir. Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil ayi Al-Qur’an. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1954.

Ahmad Rofiq