Israil, Bani

(Ar.: Bani Isra’il)

Bani Israil (disebut juga Yahudi) adalah keturunan Nabi Ya‘qub AS. Sejarah Bani Israil bermula ketika Nabi Ibrahim AS mengembara menyeberangi Sungai Eufrat menuju Kanaan (kini Palestina). Dari istri muda Nabi Ibrahim AS (Siti Hajar) ia dikaruniai seorang putra, yakni Ismail, dan dari istri tua (Siti Sarah) juga seorang putra, yakni Ishaq. Ketika Ibrahim AS wafat ia meninggalkan Ismail di Hijaz dan Ishaq di Kanaan.

Ishaq AS mempunyai dua anak, yakni ‘Aish dan Ya‘qub AS. Yang disebut terakhir dikenal juga sebagai Israil dan darinyalah berasal keturunan Bani Israil. Ya‘qub AS mempunyai dua istri. Keduanya putri Laban bin Batwil, paman Ya‘qub AS. Dari kedua istrinya tersebut ia dikaruniai 12 orang anak, yaitu: Raubin, Syam’un, Lewi, Yahuda (asal kata “Yahudi”), Yasakir, Zabulon, Yusuf AS, Bunyamin, Kan, Asyar, Daan, dan Naftali.

Dari 12 putranya inilah kemudian keturunannya berkembang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama orang Israil sudah menjadi satu suku besar dan berpengaruh, mengembara ke berbagai daerah, dan akhirnya, melalui pantai timur Laut Tengah, mereka sampai ke Mesir, kemudian kembali ke utara memasuki daerah Palestina.

Kedatangan orang Israil ke Mesir didahului oleh kedatangan Yusuf AS, putra Ya‘qub AS, karena nasib. Diceritakan dalam Al-Qur’an, ia dibuang oleh saudaranya, kecuali Bunyamin, ke dalam sumur tua (QS.12:10) karena mereka iri melihat kasih sayang orangtua yang berlebihan kepadanya. Lalu saudaranya menyampaikan berita kepada ayah mereka bahwa Yusuf AS telah dimakan serigala. Dia kemudian ditemukan kafilah lalu dibawa ke Mesir dan akhirnya diambil Fir’aun menjadi orang kepercayaannya.

Pada masa selanjutnya, Ya‘qub AS bersama anaknya pindah ke Mesir karena bahaya kelaparan menimpa tempat pemukiman mereka di Kanaan. Pertemuan mereka dengan Yusuf AS dikisahkan dalam surahYusuf (12) ayat 58–101.

Selama 100 tahun pertama di Mesir, Bani Israil hidup dalam suasana aman dan makmur, tetapi masa berikutnya adalah masa pahit. Mereka hidup dalam kehinaan dan menderita kerja paksa di Pitom, salah satu kota perbekalan Mesir (Taurat, Kitab Keluaran 1:11).

Melihat kaumnya tertindas, Nabi Musa AS (keturunan Lewi, salah seorang putra Ya‘qub AS yang juga diangkat Tuhan sebagai nabi) membawa kaumnya itu keluar dari Mesir, menyelamatkan mereka dari penindasan. Kisah tentang keluarnya Bani Israil dari Mesir itu diceritakan Al-Qur’an surah Thaha (20) ayat 77–79, surah asy-Syu‘ara’ (26) ayat 60–68, dan surah Yunus (10) ayat 90–92.

Nabi Musa AS berhasil membawa mereka keluar dari Mesir tetapi tidak sanggup memberi kenikmatan dan kesenangan hidup kepada mereka. Hal itu menyebabkan mereka berbalik menentang Nabi Musa AS dan menuntut agar mereka dikembalikan ke Mesir, bahkan menuduh Nabi Musa AS ingin menghancurkan mereka.

Sementara Nabi Musa AS menunggu petunjuk dari Tuhan mengenai cara mengatasi krisis tersebut di Bukit Sina, kaumnya kembali sesat menyembah berhala dan membuat patung anak lembu (QS.20:85–98; QS.7:149–155; dan QS.2:55, 56, 63, dan 64).

Usaha Nabi Musa AS untuk membawa Bani Israil masuk ke Palestina tidak berhasil karena mereka tidak mengikuti petunjuk Nabi Musa AS sampai ia wafat. Begitu juga saudaranya, Harun AS, yang wafat di padang pasir. Sementara itu, Bani Israil masih dalam kesesatan.

Atas wasiat Nabi Musa AS, salah seorang sahabatnya, Yusa bin Nun, melanjutkan kepemimpinan atas Bani Israil. Ia membawa mereka memasuki Palestina melalui timur laut Sungai Yordan dan menyeberangi sungai itu memasuki kota Ariha dengan membunuh seluruh penduduknya.

Dengan peristiwa ini mulailah zaman pemerintahan Bani Israil atas bumi Palestina dan mereka berhasil membentuk suatu umat dari berbagai suku bangsa (QS.5:23–26). Ketika Bani Israil memasuki Palestina di bawah pimpinan Yusa bin Nun, mereka dapat menguasai daerahnya, sementara negara kuat seperti Mesir dan Mesopotamia tidak mencampuri urusan dalam negeri Palestina.

Kehidupan Bani Israil di Palestina ini dapat dibagi dalam tiga zaman, yaitu: (1) zaman pemerintahan para hakim (lebih kurang 4 abad); pada zaman ini mereka mulai berubah dari cara hidup musafir kepada cara hidup menetap; (2) zaman pemerintahan para raja (sekitar 1028–933 SM); pada masa inilah, tepatnya pada masa pemerintahan Nabi Daud AS, Bani Israil memasuki masa jaya di Palestina; dan (3) zaman perpecahan dan hilangnya kekuasaan Bani Israil.

Setelah meninggal kira-kira 935 SM, Nabi Sulaiman AS digantikan putranya, Rahub’am. Tetapi keluarga Israil yang lain mengangkat saudara Rahub’am, yaitu Yarub’am. Dari sini mulailah Bani Israil memasuki masa perpecahan. Sementara itu, Kerajaan Mesir di selatan kembali berjaya, demikian pula Suriah di utara.

Keadaan itu menyebabkan wilayah Israil di Palestina bagaikan wilayah kecil yang terjepit di celah dua rahang mulut musuh yang menganga. Menjelang 721 SM Kerajaan Israil lenyap dihancurkan tentara Asyur (kini Irak).

Dengan demikian Bani Israil hanya sempat hidup menetap selama periode 1473–586 SM. Setelah itu, mereka berpencar kembali ke berbagai negara, seperti Mesir dan Irak. Sewaktu Cyrus Agung (memerintah ± 576–529 SM), pendiri Kerajaan Parsi (Persia) yang menguasai daerah Timur Tengah sejak sekitar 530 SM, memberikan kesempatan kepada mereka untuk kembali ke Palestina, hanya sebagian kecil yang bersedia.

Sekitar 330 SM, Alexander Agung menguasai Palestina. Pada 63 SM pasukan Romawi menaklukkan Palestina dan menduduki Baitulmakdis di bawah Panglima Papyrus. Pada Pada tahun 70, Panglima Titus Flavius Vespasianus (pengganti Vespasianus sebagai kaisar Romawi, 79–81), memusnahkan Yerusalem karena terjadi pemberontakan orang Yahudi di situ.

Akhirnya, pada tahun 135 pasukan Romawi kembali menghancurkan Yerusalem. Bani Israil berhasil menyelamatkan diri ke berbagai negara seperti Mesir, Afrika Utara, dan Eropa. Dengan ini mulailah babak pengembaraan Bani Israil ke seluruh penjuru dunia.

Ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah telah menemukan orang Israil sebagai suatu komunitas penting di sana. Maka sebagai penghargaan terhadap mereka, Nabi Muhammad SAW menyusun Piagam Madinah yang mengatur hidup berdampingan antara umat Islam dan umat lain, termasuk umat Yahudi.

Namun, kemudian umat Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, sehingga Al-Qur’an mengutuk mereka secara terus-menerus sebagai orang yang mengkhianati janji dan mereka diusir dari Madinah. Pada kurun waktu 636–1916 mereka berada di bawah kekuasaan Islam.

Sejak awal pengembaraan ini sampai dengan abad ke-19, orang Yahudi tidak banyak diperbincangkan. Hanya tercatat bahwa orang Yahudi terbuang dari satu daerah ke daerah lain atau terusir dari satu negara ke negara lain. Umat Kristen selalu memusuhi mereka, sebaliknya umat Islam mengulurkan tangan kepada mereka.

Pada akhir abad ke-19 dan seterusnya, keadaan berbalik. Perang Dunia I dan Perang Dunia II mengubah nasib bangsa ini. Cita-cita zionisme ditunjang dengan semangat yang tinggi oleh seluruh peserta perang, kecuali Nazi Jerman. Dengan cara khusus, berangsur-angsur umat Yahudi bergelombang memasuki daerah Palestina.

Komisi persetujuan Amerika-Inggris memberi rekomendasi terhadap satu rombongan besar kaum ini untuk memasuki Palestina. Sampai pertengahan abad ke-20, dalam tempo 30 tahun, mereka yang memasuki Palestina mencapai angka 1.400.000 jiwa.

Pada tahun 1947, negara-negara pemenang Perang Dunia II menghadiahkan satu negara Israel untuk orang Yahudi di Palestina. Negara ini sampai sekarang merupakan duri dalam daging bagi dunia Arab. Akibatnya, negara Arab di satu pihak dan Israel di pihak lain merupakan dua kubu yang saling berhadapan. Peperangan antara dua kubu itu tidak putus-putusnya.

Pada tanggal 30 Oktober 1991, atas prakarsa Amerika Serikat dan Uni Soviet, diadakan Konferensi Perdamaian Timur Tengah di Madrid, Spanyol, yang dilanjutkan di Washington, D.C., Amerika Serikat. Tetapi konferensi ini belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.

Tulang punggung kekuatan Bani Israil pada abad modern adalah Gerakan Zionisme. Gerakan ini, dalam kongresnya yang pertama tahun 1897 di Basel, Swiss, yang dihadiri para bankir dan industrialis Yahudi, melahirkan Basel Program yang terdiri dari empat pasal, yakni:

(1) promosi menurut garis yang layak untuk kolonisasi di Palestina oleh pekerja tani industri Yahudi;

(2) mengorganisasi dan menyatukan seluruh Yahudi melalui lembaga yang bersifat lokal maupun internasional sesuai dengan perundang-undangan setiap negara;

(3) memperkokoh dan memperkuat sentimen dan kesadaran akan nasionalitas Yahudi; dan

(4) mempersiapkan langkah ke arah penumbuhan pemerintahan merupakan keharusan dalam tujuan Zionisme.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bey. Rangkaian Cerita dalam Al-Qur’an. Bandung: al-Ma‘arif, 1986.

Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun. Bandung: Mizan, 2001.

Bahreisy, Salim. Sejarah Hidup Nabi-Nabi. Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1988.

Daya, Burhanuddin. Agama Yahudi, Sekitar Sejarah Bani Israel. Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN, 1955.

Ebban, Abba. Sejarah Ringkas Umat Yahudi. Flores: Nusa Indah,1978.

Finkelstein, Louis. The Jews: Their Religion and Culture. New York: Schocken Books, 1975.

Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama: Pendekatan Budaya terhadap Agama Yahudi, Kristen Katolik, Protestan dan Islam, bagian II. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

Syalabi, Ahmad. Muqaranah al-Adyan. Cairo: an-Nahdah al-Misriyah, 1979.

Vriezen, Th.C. Agama Israel Kuna, terj. Dr. I.J. Cairns. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.

Wach, Joachim. The Comparative Study of Religions, atau Ilmu Perbandingan Agama, terj. Jakarta: Rajawali, 1984.

Syahrin Harahap