Menurut ulama tauhid, ibadah berarti “mengesakan Allah SWT dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri serta menundukkan jiwa kepada-Nya”. Arti ini didasarkan pada firman Allah SWT: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun” (QS.4:36). Menurut ulama fikih, ibadah berarti “semua bentuk upaya untuk memperoleh rida Allah SWT dan mendambakan pahala-Nya di akhirat”.
Secara kebahasaan, ibadah berarti “taat, tunduk, menurut, mengikut, dan doa”. Ibadah dalam arti “taat” diungkapkan dalam Al-Qur’an, antara lain dalam surah Yasin (36) ayat 60 yang berarti:
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan, sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.”
Jika ibadah ditinjau dari segi pelaksanaannya, maka ibadah dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu: (1) ibadah jasmaniah rohiah (rohaniah), yaitu perpaduan ibadah jasmani dan rohani, seperti halnya ibadah salat dan puasa; (2) ibadah rohiah dan maliah, yaitu perpaduan antara ibadah rohani dan harta, seperti zakat; dan (3) ibadah jasmaniah, rohiah, dan maliah sekaligus, seperti melaksanakan ibadah haji.
Adapun ibadah ditinjau dari segi kepentingannya ada dua, yaitu kepentingan fardi (perseorangan), seperti salat dan puasa, serta kepentingan ijtima‘i (masyarakat), seperti zakat dan haji.
Ibadah ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya ada lima macam, yaitu:
(1) ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan (ucapan lidah), seperti berzikir, berdoa, tahmid, dan membaca Al-Qur’an;
(2) ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, dan tajhiˆ al-janazah (mengurus jenazah);
(3) ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah di-tentukan wujud perbuatannya seperti salat, puasa, zakat, dan haji;
(4) ibadah yang tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti puasa, iktikaf, dan ihram; dan
(5) ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berutang kepadanya.
Hakikat Ibadah. Hakikat ibadah adalah menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk Allah SWT yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah aZ-Zariyat ayat 56 yang berarti:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Dengan demikian manusia itu diciptakan bukan sekadar untuk hidup mendiami dunia ini dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya pertanggungjawaban kepada penciptanya, melainkan manusia itu diciptakan Allah SWT untuk mengabdi kepada-Nya. Hal ini dinyatakan dalam surah al-Bayyinah (98) ayat 5 yang berarti: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”
Dari ayat tersebut dapat diartikan bahwa manusia diciptakan bukan sebagai unsur pelengkap isi alam saja yang hidupnya tanpa tujuan, tugas, dan tanggung jawab, akan tetapi penciptaannya melebihi penciptaan makhluk lainnya. Hal ini tercermin dalam surah at-Tin (95) ayat 4 yang berarti:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Pada hakikatnya manusia itu diperintahkan untuk meng-abdi kepada Allah SWT, maka itu tidak ada alasan baginya untuk mengabaikan kewajiban beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa” (QS.2:21).
Pada prinsipnya ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berarti “penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah SWT”. Dengan demikian, hal ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila hal ini dapat dicapai sebagai nilai dalam sikap dan perilaku manusia, akan lahir suatu keyakinan untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah SWT.
Ini berarti tidak akan terbuka peluang bagi penyimpangan yang dapat merusak pengabdian ke pada Allah SWT. Penyimpangan pengabdian akan merusak diri manusia itu sendiri, bukan merusak dan berakibat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, beribadah atau tidaknya manusia kepada-Nya tidaklah mengurangi keagungan dan kebesaran Allah SWT sebagai Rabb (Pemelihara) bagi alam semesta.
Manusia yang telah menyatakan diri sebagai muslim dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdikan diri kepada Allah SWT. Tanpa ketaatan beribadah, pengakuan seseorang sebagai seorang muslim diragukan dan dipertanyakan. Jika padanya ada kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami sepenuhnya konsepsi syariat tentang kewajiban pengabdian kepada Allah SWT.
Dalam syariat Islam diungkapkan bahwa tujuan akhir dari semua bentuk aktivitas hidup manusia adalah pengabdian kepada Allah SWT, sebab Ia adalah wujud kreatif yang telah menciptakan manusia serta alam. Sebagai Rabb bagi manusia, Allah SWT tidak membebankan kewajiban beribadah di luar batas kemampuan manusia itu sendiri.
Melaksanakan perintah-Nya itu saja telah bernilai ibadah, sebab tidak satu pun anjuran dan perintah-Nya yang tidak bernilai ibadah. Demikian juga dengan larangan-Nya; jika manusia mematuhinya, semuanya mempunyai nilai ibadah. Bahkan, menurut Islam, setiap aktivitas manusia yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT bernilai ibadah.
Tujuan ibadah dalam Islam bukan sejenis perbuatan magis, yang bermaksud mengundang campur tangan adikodrati di dunia yang terikat dengan hukum kausalitas (sebab akibat). Ibadah juga bukan pemujaan yang mengandung maksud berlebihan dengan mengharapkan pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Tetapi ibadah merupakan pengabdian dan dedikasi terhadap semangat hidup yang bertujuan untuk mendapatkan keridaan Allah SWT karena Allah SWT-lah yang telah memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk lainnya.
Macam Ibadah. Secara garis besar ibadah dibagi menjadi dua macam:
(1) ibadah khassah (khusus) atau ibadah mahdhah (yang ketentuannya pasti), yakni ibadah yang ketentuan dan pelaksanaannya telah ditetapkan nas dan merupakan sari ibadah kepada Allah SWT, seperti salat, puasa, zakat, dan haji; dan
(2) ibadah ‘ammah (umum), yakni semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT, seperti minum, makan, dan bekerja mencari nafkah.
Dengan demikian, niat merupakan kriteria sahnya ibadah ‘ammah. Dengan kata lain, semua bentuk amal kebaikan dapat dikatakan ibadah ‘ammah apabila dilandasi dengan niat semata-mata karena Allah SWT. Selain itu niat juga diutamakan dalam ibadah mahdhah dengan tujuan untuk membedakan ibadah madhah yang satu dengan yang lainnya, misalnya untuk membedakan salat fardu dari salat sunah.
Niat juga merupakan salah satu syarat sahnya ibadah mahdhah. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT yang berarti: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus…” (QS.98:5).
Dalam suatu hadis Nabi SAW juga disebutkan:
“Sesungguhnya semua amal itu tergantung dari niatnya, dan sesungguhnya apa yang diperoleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di samping itu, ulama juga berbeda pendapat dalam memberi kriteria niat itu. Ada yang menggolongkannya sebagai syarat sahnya suatu perbuatan dan ada pula yang menggolongkannya syarat sempurnanya suatu perbuatan.
Dalam ibadah ‘ammah, adanya usaha untuk mendapatkan suatu kebajikan berkaitan erat dengan sikap dan perilaku seseorang. Sikap dan perilaku itu berhubungan dengan tujuan hidup manusia itu sendiri. Apabila sadar akan diri dan fungsinya, dan sadar dari mana dan mau ke mana, tentu manusia akan mengikuti rumusan tujuan hidup yang berasal dari penciptanya. Ia tidak akan keluar dari konsepsi yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya. Semua peralatan yang ada pada dirinya dan semua fasilitas yang ada di bumi dijadikannya untuk mendekatkan dirinya (beribadah) kepada Allah SWT.
Manusia yang mampu menjadikan semua aktivitas dirinya untuk mendapatkan rida Allah SWT berarti melakukan suatu amal ibadah yang amat besar artinya dalam mencapai tujuan hidup yang telah ditetapkan Allah SWT.
Yang dimaksud dengan aktivitas di sini mencakup semua bentuk usaha yang dilakukannya, misalnya bertani, berdagang, menjadi buruh, menjadi pengusaha, berjihad menegakkan agama Islam, menuntut ilmu pengetahuan, dan berdakwah meningkatkan penghayatan dan pengamalan agama. Semuanya akan menjadi ibadah ‘ammah apabila dilandasi dengan niat mencari keridaan Allah SWT dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan Allah SWT. Allah SWT berfirman yang berarti:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS.16:97).
Manusia yang berpandangan hidup bahwa semua aktivitasnya diarahkan kepada amal saleh berarti memandang materi atau harta benda, jabatan, dan lain-lain sebagai alat untuk mencapai tujuan hidupnya yang diridai Allah SWT. Sikap yang demikian sangat terpuji di sisi Allah SWT karena ia telah mengikuti jalan baik yang telah dianugerahkan Al-lah SWT kepada manusia yang beramal saleh. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berarti:
“Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS.2:38).
Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman yang berarti:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari ker-idaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS.29:69).
Jadi, jelas bahwa semua bentuk aktivitas dan kreativitas manusia dapat dikategorikan sebagai amal saleh. Yang dimaksudkan amal saleh di sini adalah seluruh aktivitas hidup manusia yang dilandasi niat karena Allah SWT (ikhlas) dalam rangka mencapai keridaan-Nya. Semua ini dilaksanakan berdasarkan aturan Allah SWT, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT (hablun min Allah), antarmanusia (hablun min an-nas), maupun hubungan dengan alam (hablun min al-‘alam) dalam sutu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Hubungan sesama manusia secara luas disebut muamalah, yaitu segala kegiatan yang dilakukan secara perseorangan maupun secara bersama dengan maksud untuk memperoleh kemaslahatan bersama serta menghindari kemudaratan.
Dalam Islam ada perbedaan antara ibadah dan muamalah, tetapi keduanya tidak mungkin dipisahkan. Ibadah dan muamalah terjalin dalam satu kesatuan yang utuh; yang menjalin adalah niat ikhlas mencari rida Allah SWT, sehingga semua bentuk aktivitas muamalah akan menjadi ibadah ‘ammah.
Ibadah khassah dan ibadah ‘ammah dapat diterima Allah SWT jika keduanya dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT dalam nas Al-Qur’an dan hadis sebagai dasarnya. Adapun ketentuan itu antara lain adalah ikhlas dan sah.
Ikhlas berarti “ibadah dilaksanakan atas dasar karena Allah SWT”, dan sah berarti “amal ibadah dilakukan sesuai dengan ketentuan syarak (hukum Islam) atau memenuhi rukun dan syaratnya”. Ibadah khassah yang telah ditentukan bentuk dan tata cara pelaksanaannya memerlukan adanya pemenuhan ketentuan tersebut.
Di samping itu ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan aspek ibadah. Ada yang mencukupkan hanya pada salat, puasa, haji, zakat, dan jihad. Namun ada pula yang menambahkannya dengan taharah (bersuci dari najis dan hadas kecil), jinabah (bersuci dari hadas besar), nazar, kurban, akikah, makan, dan minum.
Namun semua pendapat tersebut dapat diterima karena ulama telah sepakat membagi ibadah khassah dan ibadah ‘ammah. Artinya, yang tidak termasuk dalam kategori ibadah khassah tentu dapat dimasukkan dalam aspek ibadah ‘ammah.
Daftar Pustaka
Badawi, Abdurrahman. Mazhahib al-Islamiyyin. Beirut: Darul Ilmi li al-Malayin, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Singapura: Sulaiman Mar’i, 1960.
Syaltut, Mahmud. al-Fatawa. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
–––––––. al-Islam: ‘Aqidah wa Syari‘ah. Cairo: Dar al-Qalam, 1966.
–––––––. Min Taujihat al-Islam. Cairo: Dar al-Qalam, 1966.
Sudirman M.