Secara etimologis hisbah berarti “melakukan suatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan”. Dalam terminologi Islam, hisbah berarti “lembaga peradilan Islam yang khusus menangani kasus moral dan berbagai bentuk maksiat yang tidak termasuk wewenang peradilan biasa dan peradilan mazalim” (peradilan khusus yang menangani tindak pidana penguasa).
Ulama fikih siyasi (politik) mendefinisikan hisbah sebagai “peradilan yang menangani kasus orang yang melanggar secara nyata perintah untuk berbuat baik dan kasus orang yang mengerjakan secara nyata larangan untuk berbuat mungkar”. Dengan demikian, tugas utama lembaga ini adalah mengajak orang berbuat baik dan mencegah orang berbuat mungkar, dengan tujuan mendapat pahala dan rida Allah SWT.
Petugas yang menangani hisbah disebut muhtasib. Muhtasib harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1) merdeka, akil balig, dan adil; (2) memiliki pandangan yang luas serta berpegang teguh kepada ajaran Islam; dan (3) memiliki pengetahuan yang memadai tentang bentuk kemungkaran. Sebagian ahli fikih menambahkan syarat lain yaitu muhtasib harus seorang mujtahid. Akan tetapi, syarat ini ditolak jumhur ulama.
Dasar hukum hisbah adalah firman Allah SWT dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 104 yang berarti: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf (baik) dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Pada dasarnya hisbah merupakan tugas setiap pribadi muslim, sesuai dengan tuntunan ayat Al-Qur’an di atas. Hal ini didukung hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abi Sa‘id al-Khudri yang berarti: “Siapa saja di antara kamu yang melihat suatu kemungkaran, hendaklah dicegah dengan tangannya (kekuasaannya). Jika ia tidak mampu (tidak mempunyai kekuasaan), maka cegahlah dengan lisan (ucapan) dan tulisan. Jika ia tidak mampu juga melakukannya, maka cegahlah dengan hati (berdoa)”
Akan tetapi, kewajiban melakukan tugas mengajak orang berbuat baik dan mencegah berbuat mungkar merupakan kewajiban kolektif umat Islam (wajib kifayah). Jika tugas ini telah dilaksanakan sebagian orang, kewajiban bagi orang lain yang tidak melakukannya gugur. Namun, bagi muhtasib, tugas ini merupakan kewajiban pribadi yang harus dijalankannya, sesuai dengan ketentuan pemerintah. Oleh sebab itu, orang yang secara sukarela melakukan tugas amar makruf nahi mungkar tidak dinamakan muhtasib, tetapi lebih dikenal dengan nama mutathawwi‘.
Ulama fikih siyasi membedakan antara muhtasib dan mutathawwi‘.
(1) Muhtasib ditunjuk secara resmi oleh pemerintah untuk melaksanakan tugas amar makruf nahi mungkar. Oleh sebab itu tugas ini bersifat wajib ain (kewajiban pribadi) baginya. Mutathawwi‘ adalah setiap pribadi muslim yang secara sukarela melakukan tugas tersebut, sehingga tugas ini bersifat wajib kifayah.
(2) Muhtasib memperoleh hak khusus dari jabatannya itu, sedangkan mutathawwi‘ hanya mengharap rida dan pahala dari Allah SWT.
(3) Muhtasib berhak secara langsung menentukan hukuman sekaligus melaksanakan sanksinya di tempat kejadian terhadap pelanggar prinsip amar makruf nahi mungkar dan keputusannya bersifat mengikat. Adapun mutathawwi‘ tidak berhak menentukan hukuman terhadap pelanggaran itu.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, kasus tindak pidana mulai dari yang berat sampai yang ringan ditangani langsung oleh Nabi SAW, tetapi pelaksanaan hukumannya terkadang didelegasikan kepada para sahabat. Nabi Muhammad SAW pernah mendelegasikan tugas untuk menghancurkan seluruh berhala dan bangunan kuburan yang ada di Madinah kepada Ali bin Abi Thalib dan mengawasi pasar Mekah kepada Sa‘id bin As.
Demikian juga halnya di zaman Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, tugas amar makruf nahi mungkar ditangani langsung oleh khalifah, dan terkadang juga didelegasikan kepada Umar bin Khattab.
Pembagian tugas peradilan secara tegas baru muncul dan dilakukan oleh Umar bin Khattab dengan menunjuk petugas khusus untuk masing-masing lembaga. Para al-muhtasib di zaman Umar bin Khattab antara lain adalah Sa‘id bin Yazid, Abdullah bin Utbah, dan seorang wanita yang bernama Umm asy Syifa’, yang khusus bertindak sebagai pengawas pasar Madinah. Akan tetapi, penamaan bidang tugas ini sebagai salah satu lembaga peradilan baru muncul di zaman Khalifah al-Mahdi (775–785) dari Dinasti Abbassiyah.
Pelanggaran yang ditangani lembaga hisbah ini bisa berbentuk pelanggaran menyangkut:
(1) ibadah, seperti orang yang tidak melakukan salat, puasa, zakat, dan haji, sedangkan ia mampu membayar zakat dan melaksanakan haji;
(2) muamalah (hubungan antar manusia), seperti kecurangan dalam penimbangan barang, penipuan dalam jual beli, pelanggaran susila, perjudian, sikap sewenang-wenang dalam mempergunakan hak tanpa mempertimbangkan kepentingan orang lain, dan pelanggaran moral lainnya; dan
(3) akidah, seperti sikap mengagungkan makhluk Allah SWT melebihi keagungan Allah SWT sendiri dan perbuatan lain yang mengarah kepada syirik.
Dalam perkembangan sejarahnya, lembaga hisbah masih tetap ada di negeri Islam yang dikuasai Kerajaan Usmani (Ottoman) sampai hancurnya kerajaan tersebut pada 1922. Dewasa ini negara Islam yang masih melestarikan lembaga hisbah antara lain adalah Arab Saudi (berdasarkan Surat Keputusan Kerajaan Arab Saudi tanggal 3-9-1396 H dan Kerajaan Maroko (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20/82 tanggal 21 Juni 1982).
Lembaga hisbah ini tidak ada lagi di beberapa negara Islam, termasuk Indonesia, tetapi tugas amar makruf nahi mungkar masih tetap berjalan. Wewenang lembaga hisbah ini terpencar di berbagai departemen.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Taimiyah. al-Hisbah fi al-Islam. Cairo: Dar asy-Sya‘b, 1976.
Ilahi, Fadl. al-Hisbah fi al-‘Asr an-Nabawi wa ‘Asr al-Khulafa’ ar-Rasyidin. Pakistan: Idarah Tarjumah al-Islam, 1990.
Kamaluddin, Muhammad. Ushul al-hisbah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Hidayah, 1986.
Khalaf, Abdul Wahhab. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Ma’tuq, Arsyad Abbas. Nizam al-hisbah fi al-‘Iraq hatta ‘Asr al-Ma’mun. Jiddah: Dar al-Bilad, 1982.
Nasrun Haroen