Hasyimiyah adalah nama sebuah kerajaan atau dinasti yang didirikan dan diperintah oleh keturunan Hasyim (Bani Hasyim), nenek moyang Nabi Muhammad SAW, baik yang ada di Damascus (1920–1921), Irak (1921–1958), maupun di Yordania (1921 sampai sekarang). Keturunan Bani Hasyim inilah yang telah membentuk sebuah klan dari suku Quraisy Mekah.
Dalam sejarah Islam, keturunan Bani Hasyim ini telah berkali-kali berhasil membentuk pemerintahan. Sejak masa pra-Islam, klan Hasyimi selalu dipandang klan Umawi (keturunan Bani Umayah) dan klan lain dari suku Quraisy sebagai saingan.
Nabi Muhammad SAW berasal dari klan Hasyimi. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas menyiarkan kerasulannya, Nabi SAW selalu mendapat tentangan dan perlawanan dari orang Quraisy klan Umawi. Namun perlawanan itu berakhir setelah Nabi Muhammad SAW berhasil menaklukkan Mekah secara gemilang dan anggota klan Umawi telah memeluk Islam.
Setelah Muhammad SAW wafat (632), salah seorang anggota klan Umawi, Usman bin Affan, memegang kendali pemerintahan khilafah atau kekhalifahan (644–656). Namun, karena peristiwa terbunuhnya Usman yang kemudian di gantikan Ali bin Abi Thalib (656–661) dari klan Hasyimi, pertentangan antara kedua klan muncul kembali. Selanjutnya, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, dari klan Umawi, akhirnya berhasil menggulingkan Ali dan mengambil alih kepemimpinan negara (661–680).
Hasyimiyah menjadi nama yang berwibawa karena Nabi Muhammad SAW berasal dari klan ini. Kaum Syiah mengambil berkah atau tafa’ul (Ar.: berpengharapan baik) nama ini dari keturunan Ali melalui Husein bin Ali (cucu Nabi SAW). Mereka mempunyai paham bahwa jabatan kepala negara (imamah) setelah Nabi SAW harus turun kepada anak laki-lakinya.
Namun, karena Nabi SAW tidak mempunyai anak laki-laki yang hidup, jabatan tersebut jatuh ke anggota keluarga Nabi SAW yang terdekat. Akhirnya jabatan ini digantikan oleh Ali, karena Ali adalah anak paman Nabi SAW dan juga menantunya. Dengan demikian, dialah yang berhak menggantikan Nabi SAW sebagai kepala negara. Selanjutnya jabatan tersebut digantikan anak cucunya secara turun-temurun.
Nama Hasyimiyah juga digunakan orang Abbasiyah untuk memperoleh pengesahan bagi gerakan propaganda mereka dalam menumbangkan Bani Umayah. Gerakan ini mendapat dukungan terbesar dari orang Syiah yang memandang Hasyimiyah sebagai nisbah dari Hasyim, pemimpin Syiah Kaisaniyah (salah satu sekte Syiah), salah seorang keturunan Ali.
Akan tetapi, bagi orang Abbasiyah, nama itu mencakup keluarga Muhammad SAW secara umum termasuk di dalamnya keturunan Abbas, paman Nabi SAW. Dengan demikian, gerakan Abbasiyah tetap berjalan tanpa ada kecurigaan dari pihak Syiah dan berhasil mendirikan pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750–1258).
Keluarga Hasyimiyah dari keturunan Ali di sebagian dunia Islam bergelar sayid atau syarif. Belakangan gelar tersebut dibatasi hanya pada keturunan Hasan bin Ali, saudara Husein bin Ali bin Abi Thalib. Syarif Mekah berkuasa di Mekah sejak abad ke-10 sampai tahun 1924. Bahkan setelah Perang Dunia I keluarga ini mempunyai peran yang sangat besar dalam pemerintahan di kawasan Timur Tengah.
Irak dan Yordania adalah negara Hasyimiyah yang terbentuk pada akhir Perang Dunia I untuk memenuhi kepentingan Imperium Britania di kawasan Timur Tengah. Dalam pertemuan di Damascus (1919–1920), kaum nasionalis Arab menetapkan Faisal bin Husein bin Ali sebagai penguasa Suriah dan Amir Abdullah, adiknya, sebagai penguasa Irak. Kedua orang bersaudara ini berasal dari keluarga Hasyimiyah (putra Syarif Husein).
Mereka sangat gigih dalam menentang penetrasi asing. Pada 1920 Faisal bin Husein bin Ali terdesak kekuatan Perancis dari Suriah ke Irak. Inggris mengambil kebijakan untuk menyerahkan kekuasaan atas Irak kepada Faisal, kemudian memisahkan Trans-Yordania dari Palestina dan menyerahkannya kepada Abdullah.
Pemerintahan Dinasti Hasyimiyah di Irak berdiri pada Agustus 1921 dengan Faisal sebagai raja pertama. Raja Faisal I ini merupakan pendiri Irak modern dan pemersatu negeri ini. Sementara itu, Inggris masih tetap mempunyai peran politik di dalamnya.
Untuk kemajuan Irak, Raja Faisal I melakukan berbagai usaha, antara lain mengundang para ahli untuk menyelidiki keadaan agraria, pendidikan (termasuk pendidikan militer bagi para pemuda), dan perekonomian. Ia berusaha membantu mewujudkan kemerdekaan untuk Suriah dan Libanon serta pembebasan Palestina. Pada 1933, setahun setelah Irak memperoleh kemerdekaan dan diterima menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa, Raja Faisal I meninggal dunia.
Ia digantikan putranya, Ghazi, yang memerintah tidak begitu lama. Setelah Ghazi wafat (tahun 1939), ia digantikan oleh putranya, Faisal II, dengan pamannya, Pangeran Abdullah, bertindak sebagai wali raja sampai 1953.
Selama masa pemerintahan perwalian, terjadi beberapa peristiwa penting, antara lain: (1) pemberontakan antarsuku 1935–1939; (2) kudeta militer Bakar Sidqi 1936; (3) gerakan tipu muslihat antarkabinet yang saling menjatuhkan 1936–1951; (4) kudeta militer Rasyid Ali 1941–1942; dan Gerakan November 1948 yang mendesak diadakannya pemilihan umum. Setelah Perang Dunia II Irak menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada 1955 persetujuan Anglo-Irak menuntut agar tentara Inggris diungsikan dari lapangan terbang Habbania di dekat Baghdad. Sebuah revolusi militer pada 1958 di bawah pimpinan Jenderal Abdul Kasim telah mengakhiri riwayat Dinasti Hasyimiyah Irak. Sejak itu, sistem pemerintahan berubah dari kerajaan menjadi republik.
Pemerintahan Dinasti Hasyimiyah Yordania yang dibentuk sejak 1921 sampai sekarang tetap berdiri. Semula, pada akhir Perang Dunia I Kerajaan Hasyimiyah Yordania hanya merupakan sebuah keamiran (kepemimpinan). Abdullah, saudara Faisal I, diangkat Inggris sebagai amir untuk kawasan Trans-Yordania.
Pemerintahannya sejak 1924 mirip sebuah protektorat (negara di bawah perlindungan negara lain) kolonial di bawah seorang residen Inggris yang membuat semua keputusan penting. Pada 1929 orang Inggris menduduki beberapa posisi di pemerintahan. Pada 1937 pegawai asing dari Palestina, Libanon, Suriah, Turki, Hijaz, Tripolitania (Libya), dan Mesir turut pula menduduki posisi tersebut.
Akhirnya bangkit rasa ketidakpuasan terhadap pemerintahan Abdullah. Kaum nasionalis Arab menuduhnya sebagai alat Inggris. Pada tahun 1946 Trans-Yordania memperoleh kemerdekaannya dan ke amiran berubah menjadi kerajaan dengan Abdullah sebagai raja pertama.
Pada tahun 1948 mandat Inggris di Palestina berakhir. Yahudi mendirikan negara Israel di wilayah yang disediakan PBB. Pada Oktober 1948 para pengungsi Palestina mengadakan konferensi di Amman dan menyerukan kepada Abdullah untuk langsung menganeksasi (menggabungkan) Tepi Barat Sungai Yordan.
Tahun 1949 Trans-Yordania berganti nama menjadi Yordania. Setelah Raja Abdullah wafat (1951) karena dibunuh di Yerusalem, ia digantikan putranya, Talal. Karena Talal menderita sakit jiwa, kekuasaan segera digantikan putra Abdullah yang lain, Husein. Husein wafat pada 1999 karena sakit dan digantikan oleh putranya, Abdullah.
DAFTAR PUSTAKA
Hassan, Hassan Ibrahim. Islamic History and Culture from 632–1968. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Peretz, Don. The Middle East Today. New York: Preager, 1986.
Robinovich, Itamar and Haim Shaked, ed. Middle East Contemporary Survey. Boulder, Colorado: Westview Press Inc., 1986.
Watt, W. Montgomery. The Majesty: That was Islam the Islamic World 661–1100. London: Sidgwick & Jackson, 1974.
Hery Noer Aly