Muhammad adalah seorang nabi, pembawa risalah Islam, dan rasul terakhir penutup rangkaian nabi dan rasul Allah SWT di muka bumi. Ia adalah salah seorang dari lima rasul tertinggi yang termasuk dalam golongan ulul azmi (Ar.: ulu al-‘azmi) atau mereka yang mempunyai keteguhan hati (QS.46:35). Keempat lainnya adalah Ibrahim AS (bapak tiga agama: Yahudi, Kristen, dan Islam), Nuh AS, Musa AS, dan Isa AS.
Kelahiran Muhammad SAW. Mekah pada masa kelahiran Muhammad SAW adalah sebuah kota yang amat penting dan terkenal di antara kota di negeri Arab, baik karena tradisi maupun karena kedudukannya.
Mekah dilalui jalur perdagangan penting yang menghubungkan Yaman di selatan dengan Suriah di utara. Ka’bah, bangunan ibadah yang dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim AS dan anaknya Ismail AS, berada di tengah kota itu. Dengan adanya Ka’bah, Mekah menjadi pusat keagamaan Arab.
Ka’bah didatangi untuk beribadah dan berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala yang mengelilingi patung dewa utama, Hubal. Pada saat itu Mekah kelihatan makmur dan kuat.
Masyarakat Arab ketika itu hidup berdasarkan kesukuan. Wila yahnya kebanyakan terdiri dari padang pasir dan stepa. Mayoritas penduduknya adalah suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan pa-dang pasir dan nomadik, berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain untuk mencari air dan padang rumput bagi binatang gembalaan mereka.
Sebagian lainnya adalah penduduk yang menetap di kota, seperti Mekah dan Madinah. Secara keseluruhan, mata pencaharian yang penting adalah menggembala, berdagang, dan bertani. Yatsrib, yang namanya kemudian diganti Nabi SAW dengan Madinah, adalah suatu wilayah pertanian yang penting di semenanjung itu.
Peperangan antarsuku adalah suatu kejadian yang sering terjadi sejak lama. Baik masyarakat nomadik maupun yang menetap hidup dalam budaya kesukuan Badui. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu masyarakat yang luas. Satu kelompok yang terdiri dari beberapa keluarga membentuk kabilah atau suku (klan).
Beberapa kelompok kabilah membentuk suku yang dipimpin seorang syekh. Masyarakat umumnya sangat menekankan hubungan kesukuan. Kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku.
Seseorang banyak tergantung pada kehidupan suku yang sering saling menyerang. Dalam masyarakat yang suka berperang seperti itu, wanita mempunyai nilai yang rendah. Oleh karena itu, adalah biasa orang membunuh anaknya yang baru lahir jika bayi itu perempuan.
Nabi Muhammad SAW adalah anggota Bani Hasyim, sebuah kabilah yang paling mulia dalam suku Quraisy yang mendominasi masyarakat Arab. Bani Hasyim memang termasuk dalam sepuluh pemegang jabatan tertinggi dalam masyarakat Mekah.Jabatan itu adalah siqayah, yakni pengawas mata air Zamzam untuk dipergunakan para peziarah.
Walaupun demikian, jabatan itu kurang memberikan kekuasaan dan kurang menguntungkan dibandingkan dengan jabatan yang lain, seperti liwa’ (jabatan ketentaraan), diyat (kekuasaan hakim sipil dan kriminal), sifarah (kuasa usaha negara), khazanah (jabatan administrasi keuangan), dan nadwa (ketua dewan). Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW berasal dari kalangan keluarga terhormat yang relatif miskin.
Ayah Nabi Muhammad SAW bernama Abdullah, putra Abdul Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang berpengaruh besar. Pengaruh Abdul Muthalib yang besar ini bukan karena jabatannya tetapi karena sifat dan pembawaan pribadinya.
Ibu Muhammad SAW adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Baik dari garis ayah maupun ibunya, silsilah Nabi Muhammad SAW sampai kepada Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
Abdullah, ayah Muhammad SAW, dikenal masyarakatnya sebagai korban yang akan dipersembahkan Abdul Muthalib karena doanya dikabulkan Tuhan. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW dinyatakan sebagai keturunan dua korban: ayahnya dan nenek moyangnya, Nabi Ismail AS.
Abdul Muthalib telah bersumpah akan mengorbankan salah seorang putranya yang laki-laki kepada dewa Ka’bah. Putra Abdul Muthalib bertugas membantunya menggali kembali sumur Zamzam yang telah lama tertimbun. Ia bermaksud akan mengorbankan anaknya yang paling dicintainya, Abdullah.
Tetapi penyembelihan Abdullah tidak jadi dilakukan karena permintaan keluarga. Melalui suara peramal dalam rumah ibadah itu, pengorbanan itu diperlunak dengan seratus unta yang menjadi pengganti nyawa Abdullah.
Tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW dikenal dengan nama tahun gajah. Dinamakan demikian karena pada tahun itu terjadi suatu peristiwa besar, yaitu datangnya pasukan gajah menyerbu Mekah dengan tujuan menghancurkan Ka’bah.
Karena banyaknya tentara yang menyerbu menaiki gajah, orang Arab menyebut tahun itu tahun gajah. Pasukan gajah itu dipimpin oleh Abrahah, gubernur Kerajaan Habsyi di Yaman.
Latar belakang serbuan itu adalah keinginan Abrahah mengambil alih peranan kota Mekah dengan Ka’bahnya sebagai pusat perekonomian dan peribadatan bangsa Arab.
Ini merupakan keinginan yang sejalan dengan keinginan Kaisar Negus dari Ethiopia untuk menguasai seluruh tanah Arab, yang bersama-sama dengan kaisar Byzantium menghadapi musuh dari timur, yaitu Persia (Iran).
Pasukan gajah itu berhenti di dekat Mekah. Abrahah mengutus seseorang untuk menemui Abdul Muthalib dengan pesan bahwa kedatangan mereka semata-mata hanya untuk meruntuhkan Ka’bah, sama sekali tidak untuk memerangi penduduk Mekah, kecuali apabila ada perlawanan.
Abrahah memang sudah membangun al-Qulles, sebuah rumah ibadah yang megah dan indah di kota Sanaa, ibukota Yaman, sebagai ganti Ka’bah. Mengingat tentara Abrahah yang besar dan kuat itu, Abdul Muthalib dan penduduk Mekah sadar bahwa mereka tidak akan mampu melawannya. Sebab itu ia meng anjurkan penduduk mengungsi ke luar kota.
Pertahanan Ka’bah diserahkan kepada Tuhan. Abdul Muthalib berdoa, “Ya Tuhan, tak ada orang yang dapat kami harapkan kecuali Engkau. Selamatkanlah rumah-Mu dari serangan mereka. Musuh rumah-Mu adalah juga musuh-Mu.”
Tentara Abrahah hancur karena terserang wabah penyakit yang mematikan yang dibawa oleh burung ababil yang melempari tentara gajah. Dalam beberapa saat seluruh tentara Abrahah terserang penyakit, jatuh bergelimpangan bersama gajah mereka itu.
Abrahah sendiri lari kembali ke Yaman dan tak lama setelah itu meninggal dunia. Peristiwa ini disebutkan dalam Al-Qur’an pada surah al-Fil (105) ayat 1–5 yang berarti:
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbon-dong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).”
Beberapa bulan setelah serbuan tentara gajah, Aminah melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Muhammad. Ia lahir pada malam menjelang dini hari Senin tanggal 12 Rabiulawal tahun gajah yang bertepatan dengan 20 April 570.
Muhammad bin Abdullah lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya, Abdullah, meninggal dunia 3 bulan setelah ia menikahi Aminah. Waktu itu ia mengikuti rombongan kafilah ke negeri Syam (Suriah) untuk memulai usaha mencari nafkah sendiri.
Dalam perjalanan pulang, ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Yatsrib (Madinah). Ketika itu, Abdullah sudah meninggalkan bibit keturunannya dalam rahim Aminah.
Pagi hari setelah kelahiran, Abdul Muthalib langsung datang ke rumah Aminah setelah mendengar kabar gembira itu. Ia mengangkat, mencium, dan mendekap cucunya yang tampan itu dengan mesra, lalu membawanya berlari-lari menuju Ka’bah. Ia tawaf (Haji) mengelilingi Ka’bah sambil menggendong bayi itu.
Seminggu kemudian Abdul Muthalib mengadakan selamatan. Semua orang Quraisy diundang dan mereka pun hadir untuk menyatakan turut bergembira. Pada saat itulah Abdul Muthalib memberikan nama “Muhammad” kepada cucunya itu, yang berarti “orang yang terpuji”.
Nama itu agak ganjil di telinga orang Quraisy. Oleh karena itu mereka berkata,
“Sungguh di luar kebiasaan, keluarga Tuan begitu besar, tetapi tak satu pun yang bernama demikian.” Abdul Muthalib menjawab, “Saya mengerti. Dia ini memang lain dari yang lain. Dengan nama ini saya ingin agar seluruh dunia memujinya.”
Masa Pengasuhan Halimah binti Abi Dua’ib as-Sa‘diyah. Menurut kebiasaan orang Arab, anak yang baru lahir diasuh dan disusui oleh wanita kampung dengan maksud mendapat udara desa yang bersih serta pergaulan masyarakat desa yang sangat baik bagi pertumbuhan anak.
Tujuan lain adalah agar ia dapat berbicara bahasa Arab dengan fasih. Letak geografis kota Mekah di tengah lembah yang dikelilingi pegunungan menyebabkan udaranya kurang baik bagi pertumbuhan anak, lebih-lebih setelah Mekah menjadi kota besar dan berpenduduk semakin padat.
Anak itu diserahkan kepada ibu pengasuh yang menyusui mereka dengan mendapat upah. Dengan demikian, tentu saja, ibu asuh itu menginginkan dapat mengasuh anak orang kaya karena mengharapkan upah yang besar.
Ketika Muhammad lahir, ibu-ibu dari Desa Sa’ad datang ke Mekah menghubungi keluarga yang akan menyusukan anak-nya. Desa Sa’ad terletak kira-kira 60 km dari Mekah, dekat kota Ta’if, suatu daerah pegunungan yang sangat baik udaranya, tidak terlalu dingin dan tidak pula sepanas Mekah. Di antara ibu itu terdapat seorang wanita yang bernama Halimah binti Abi Dua’ib as-Sa‘diyah. Keluarganya termasuk miskin.
Ketika ibu-ibu yang lain sudah mendapatkan keluarga yang menyerahkan anak untuk disusui, Halimah belum mendapatkannya. Ia memang sudah menemui Aminah, tetapi belum mengambil keputusan untuk mengasuh putra Aminah karena kondisi ekonomi Aminah yang lemah.
Ketika itu, ia berkata kepada suaminya, Haris, bahwa ia telah berusaha keluar masuk lorong mencari anak asuh, tetapi yang dicarinya tidak ada kecuali seorang bayi anak yatim. Ia merasa tidak sanggup mengasuhnya karena miskin. “Akan tetapi, anak itu sungguh menawan hatiku. Matanya berseri-seri dan pandangannya tajam,” katanya.
Suaminya kemudian mendesak supaya Hal-imah mengambil anak itu sambil berharap mudah-mudahan Tuhan memberkati mereka. Akhirnya Halimah mengambil Muhammad. Aminah dan Abdul Muthalib pun melepaskannya dengan segala senang hati.
Diceritakan bahwa kehadiran Muhammad dalam keluarga yang miskin itu sungguh membawa berkah. Kehidupan rumah tangga Haris dan Halimah yang sebelumnya suram dan penuh kesedihan karena miskin, berubah menjadi bahagia penuh kedamaian.
Kambing yang mereka pelihara menjadi gemuk dan menghasilkan lebih banyak susu dari biasanya. Rumput yang digunakan sebagai tempat menggembala domba juga tumbuh subur. Mereka percaya betul bahwa anak dari Mekah yang mereka asuh itulah yang membawa berkah dalam kehidupan mereka.
Tanda Kenabian. Sejak kecil bayi itu telah memperlihatkan keistimewaan yang tidak terdapat pada bayi lain. Pertumbuhan badannya sangat cepat. Pada usia 5 bulan Muhammad SAW sudah pandai berjalan dan pada usia 9 bulan sudah bisa berbicara.
Pada usia 2 tahun ia sudah bisa dilepas bersama anak Halimah untuk menggembala kambing. Pada usia itulah ia berhenti menyusu dan saatnya pun tiba untuk mengembalikannya kepada ibu kandungnya di Mekah.
Dengan berat hati Halimah terpaksa berpisah dengan anak asuhnya yang telah membawa berkah itu, sementara Aminah sangat senang melihat anaknya kembali dengan segar bugar.
Tidak lama setelah itu, Muhammad SAW kembali berada di bawah asuhan Halimah karena kota Mekah diserang wabah penyakit. Halimah kembali menawarkan jasa baiknya dan Aminah dengan rela melepaskannya demi kesehatan dan keselamatannya.
Dalam masa asuhannya kali ini, baik Halimah maupun anaknya yang memang biasa bermain bersama-sama dengan Muhammad SAW, sering menemukan keajaiban di sekitar diri Muhammad SAW. Misalnya, anak Halimah sering mendengar suara yang memberikan salam kepada Muhammad SAW, “As-salamu‘alaika, ya Muhammad,” padahal mereka tidak melihat ada orang yang memberikan salam itu.
Pada hari yang lain, Dimrah, anak Halimah, berlari-lari pulang sambil menangis. Dengan terbata-bata ia berkata bahwa ada orang yang menangkap Muhammad SAW.
Orang itu besar dan berpakaian putih. Halimah bergegas menyusul Muhammad SAW. Ia mendapatkannya sendirian tengah menengadah ke langit. Setelah ditanyai oleh Halimah, Muhammad SAW menjawab,
“Ada dua malaikat turun dari langit. Mereka memberikan salam kepadaku, membaringkanku, membuka bajuku, dan membelah dadaku, membasuhnya dengan air yang mereka bawa, lalu mereka menutup dadaku kembali tanpa aku merasa sakit, tidak ada luka, dan tidak ada bekasnya. Kedua malaikat itu baru saja menghilang ke angkasa.”
Halimah tentu gembira melihat anak asuhnya selamat tanpa cedera apa pun. Akan tetapi, keluarga Halimah sema kin khawatir dan merasa berat memelihara Muhammad dari segala kemungkinan, karena kondisi sosial ekonomi mereka yang lemah. Atas pertimbangan itu, akhirnya dalam usia 4 tahun Muhammad kembali diserahkan kepada ibu kandungnya, Aminah.
Kembali Aminah merasa gembira menerima anaknya pulang. Badan anaknya sehat, jiwanya murni, budi bahasanya halus, pikirannya cerdas, tutur katanya lemah lembut, dan raut wajahnya simpatik hingga menarik setiap orang yang melihatnya.
Dalam usia yang mulai dapat memahami ling-kungan seperti itu, Aminah banyak menceritakan kepada anaknya tentang ayahnya yang telah meninggal dunia dan dikebumikan di Yatsrib.
Pada suatu hari, Aminah membawa anaknya ke pusara suaminya dengan seorang pembantu wanita bernama Ummu Aiman. Mereka berangkat dengan mengendarai unta melalui padang pasir yang panas terik. Setelah berziarah dan mengunjungi beberapa keluarga sekitar sebulan lamanya di Yatsrib (Madinah), mereka pun pulang ke Mekah.
Sekali lagi mereka mengarungi padang pasir yang sangat terik. Setiba mereka di Kampung Abwa’ (antara Madinah dan Mekah, kira-kira 37 km dari Madinah), Aminah jatuh sakit dan be berapa hari kemudian meninggal dunia dan dikebumikan di sana.
Setelah pemakaman, dengan ditemani Ummu Aiman, Muhammad SAW pulang ke Mekah. Kakeknya, Abdul Muth-alib, menyambutnya dengan perasaan yang amat haru dan dukacita.
Dalam usianya yang ke-6, Muhammad SAW telah menjadi yatim-piatu. Hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman,
“Bukankah Allah mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Allah mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk” (QS.93:6–7).
Setelah Aminah meninggal dunia, Abdul Muthalib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad SAW. Hidup bersama kakeknya ini juga tidak berlangsung lama. Dua tahun kemudian, Abdul Muthalib meninggal dunia karena tua. Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abi Thalib.
Di antara pamannya, memang Abi Thalib yang paling menyerupai kakeknya, yakni mewarisi pembawaan seorang pemimpin. Walaupun miskin, seperti juga Abdul Muthalib, ia sangat disegani dan dihormati orang Quraisy dan penduduk Mekah pada umumnya.
Ketika berusia 12 tahun, Muhammad SAW telah tumbuh dengan tubuh yang sehat dan kuat. Siapa saja yang bergaul dengannya akan merasa sayang dan suka kepadanya.
Dalam usia seperti itu, Abi Thalib mengabulkan permintaan Muhammad SAW untuk ikut serta dalam kafilahnya ketika ia memimpin rombongan dagang ke Syam (Suriah).
Usia 12 atau 14 tahun adalah usia yang terlalu kecil untuk ikut dalam perjalanan seperti itu. Dalam perjalanan ini kembali terjadi keajaiban yang merupakan tanda kenabian Muhammad SAW.
Iringan kafilah Abi Thalib bergerak ke utara menuju Suriah. Sinar matahari yang panas terik membakar rombongan musafir tidak dirasakan Muhammad SAW, karena segumpal awan menggantung di atas kepalanya bagaikan sebuah payung yang selalu menaunginya. Awan itu bergerak mengikuti gerak kafilah dari pagi hingga sore. Jika kafilah berhenti, awan itu pun turut berhenti.
Awan itu menarik perhatian seorang pendeta Kristen bernama Buhairah yang memperhatikan dari atas biaranya di Busra. Ia menguasai betul isi kitab Taurat dan Injil. Hatinya bergetar ketika melihat dalam rombongan kafilah itu terdapat seorang anak yang terang-benderang sedang me ngendarai unta.
Anak itulah yang terlindung dari sorotan sinar matahari oleh segumpal awan di atas kepalanya. “Inilah Roh Kebenaran yang dijanjikan itu,” pikirnya. Dia berlari ke jalan menyongsong kafilah itu dan mengundang mereka dalam satu perjamuan makan. Dalam jamuan itu, pendeta Buhairah terlibat dalam perbincangan dengan Abi Thalib. Selain awan tersebut di atas, perbincangan dengan Abi Thalib semakin mempertegas keyakinannya bahwa anak yang bernama Muhammad adalah calon nabi yang ditunjuk Allah SWT.
Tanda itu semakin dipertegas lagi oleh isi perbincangannya dengan Muhammad SAW secara langsung dan tanda kenabian yang terdapat di belakang bahunya.
Ketika akan berpisah, pendeta Buhairah berkata kepada Abi Thalib, “Saya berharap Tuan berhati-hati benar menjaga dia. Saya yakin dialah nabi akhir zaman yang telah lama ditunggu-tunggu oleh seluruh umat manusia. Usahakan agar hal ini jangan diketahui oleh orang-orang Yahudi. Mereka telah membunuh nabi-nabi sebelumnya. Saya tidak mengada-ada, apa yang saya terangkan itu adalah berdasarkan apa yang saya ketahui dari Taurat dan Injil. Semoga tuan-tuan selamat dalam perjalanan.”
Apa yang dikatakan pendeta Kristen itu membuat Abi Thalib memutuskan untuk mempercepat urusannya di Suriah dan segera pulang ke Mekah.
Gelar“al-Amin”. Pada waktu berusia 15 tahun, ketika terjadi perselisihan dan kemudian peperangan antara suku Hawazin dan suku *Quraisy, Muhammad SAW terpaksa ikut membela sukunya. Ia bertugas menyediakan anak panah bagi paman-nya dalam perang yang dinamakan Perang Fijar (Ar.: harb al-Fijar) itu.
Ia sendiri tidak pernah membunuh musuh. Perang ini dinamakan Fijar atau perang yang melanggar kesucian, karena suku Hawazin menyerang suku Quraisy pada bulan Zulkaidah, salah satu bulan yang disebut bulan perdamaian.
Akibat perang itu, Ka’bah menjadi tidak ramai dikunjungi orang pada musim haji. Hal itu secara ekonomis menyebab-kan penduduk Mekah menderita, terutama rakyat kecil.
Ketika itu, Muhammad SAW yang semakin dewasa aktif membantu menyediakan air bagi orang yang datang beribadah ke Ka’bah, meskipun ia tidak pernah melakukan ibadah menurut cara mereka.
Menyaksikan kemiskinan dan penderitaan yang dialami penduduk Mekah tersebut di atas, ketika sudah berusia 20 tahun, Muhammad SAW mendirikan hilf al-Fusul, sebuah lembaga yang bertujuan membantu orang miskin dan orang yang teraniaya. Baik penghuni setempat maupun pendatang mendapat perlindungan dan hak yang sama dari lembaga itu.
Melalui hilf al-Fusul ini, sifat kepemimpinannya mulai tampak dan namanya makin harum di kalangan masyarakat Mekah. Karena aktivitasnya dalam hilf al-Fusul itu, di samping ikut membantu perdagangan pamannya, namanya makin terkenal sebagai orang yang tepercaya.
Relasi dagangnya juga semakin luas karena berita kejujurannya segera tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia mendapat gelar al-Amin yang berarti orang yang tepercaya.
Dari waktu ke waktu, keadilan dan kemanusiaan Muhammad SAW semakin dikenal dalam masyarakat. Ketika Muhammad SAW menginjak usia yang ke-35 tahun, bangunan Ka’bah yang didirikan (disempurnakan) oleh Nabi Ibrahim AS dan anaknya, Nabi Ismail AS, rusak berat karena banjir besar. Perbaikan Ka’bah pun dilakukan secara gotong-royong. Penduduk Mekah membantu pekerjaan itu dengan sukarela.
Tetapi pada saat pekerjaan akan berakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad atau batu hitam pada tempatnya semula, timbul perselisihan. Setiap suku ingin mendapat kehormatan dan merasa lebih berhak dibandingkan yang lain untuk melakukannya.
Pada saat perselisihan itu sedang memuncak, Abu Umayah bin Mugirah dari suku Makzum, sebagai orang yang tertua, tampil ke depan dan berkata, “Serahkanlah putusan kamu ini kepada orang yang pertama sekali memasuki pintu Safa ini.”
Semua kepala suku menyetujui usul tersebut. Semua menanti siapa yang mula-mula masuk melalui pintu itu. Kemudian tampaklah Muhammad SAW muncul dari sana. Semua hadirin berseru: “Itu dia al-Amin, orang yang tepercaya. Kami rela menerima keputusannya.”
Setelah persoalannya diketahui, Muhammad SAW pun menerima kesepakatan mereka itu. Ia kemudian membentangkan serbannya di atas tanah. Ia meletakkan Hajar Aswad di tengah, lalu meminta agar seluruh kepala suku memegang tepi serban itu dan mengangkatnya serentak bersama-sama.
Setelah sampai pada ketinggian tertentu yang diharapkannya, Muhammad SAW kemudian meletakkan batu itu pada tempatnya semula. Dengan demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan bijaksana dan semua kepala suku merasa puas dengan penyelesaian serupa itu.
Pernikahan dengan Khadijah. Pada usianya yang ke-25, atas permintaan Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar kaya raya, Muhammad SAW berangkat ke Suriah membawa barang dagangan saudagar wanita yang telah lama menjanda itu. Ia dibantu Maisarah, seorang pembantu lelaki yang telah lama bekerja pada Khadijah.
Sejak pertemuan pertama antara Khadijah dan Muhammad SAW, Khadijah sudah menaruh simpati melihat penampilan Muhammad SAW yang tampan dan sopan itu. Kekagumannya bertambah besar setelah mengetahui bahwa hasil yang dicapainya di Suriah melebihi perkiraannya.
Akhirnya Khadijah mengutus Maisarah dan teman karibnya, Nufasah, untuk menyampaikan isi hatinya kepada Muhammad SAW. Khadijah, yang berusia 40 tahun, melamarnya untuk menjadi suaminya.
Setelah bermusyawarah dengan keluarganya, lamaran itu akhirnya diterima dan dalam waktu dekat segera diadakan upacara perkawinan dengan sederhana. Yang hadir dalam acara itu antara lain Abi Thalib, Waraqah bin Naufal (saudara sepupu Khadijah), dan Abu Bakar as-Siddiq.
Perkawinan bahagia dan saling mencintai itu dikaruniai 6 orang anak, yaitu 2 putra dan 4 putri bernama al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum, dan Fatimah.
Kedua putranya meninggal semasa masih kecil. Nabi Muhammad SAW tidak menikah lagi sampai Khadijah meninggal, pada saat Muhammad SAW berusia 50 tahun.
Dalam kehidupan rumah tangga, suami-istri itu hidup bahagia dan saling mencinta. Muhammad SAW tidak pernah menyakiti hati istrinya dan sebaliknya istrinya ikhlas menyerahkan segalanya kepada suaminya. Kekayaan istrinya itu memberi kesempatan kepada Muhammad SAW untuk membantu orang miskin dan tertindas.
Ia mendapat kesempatan untuk lebih mengaktifkan æilf al-Fusul. Ia membebaskan budak dengan uang tebusan yang mahal. Semua budak yang telah dimiliki Khadijah sebelum perkawinan dimerdekakannya. Salah seorang di antaranya adalah Zaid bin Harisah, yang kemudian menjadi anak angkat Muhammad SAW.
Turunnya Wahyu. Meskipun Muhammad SAW bekerja membantu jemaah haji yang datang ke Ka’bah dengan menyediakan air minum mereka, namun ia tidak pernah beribadah menurut kepercayaan orang Arab dan menyem bah berhala yang ada di sekitar Ka’bah itu.
Menjelang usianya yang ke-40, ia bahkan sering memisahkan diri dari keramaian masyarakat untuk lebih memusatkan pikiran guna mene-mukan jalan keluar agar masyarakat tidak lagi menyembah berhala. Muhammad SAW sering mengasingkan diri ke Gua Hira, sekitar 6 km di sebelah timur laut kota Mekah.
Di lereng gunung itu, sekitar 20 m dari puncaknya, terdapat sebuah gua yang sempit dan gelap. Di gua itulah Muhammad SAW mengheningkan cipta, bertafakur, dan beribadah menurut agama Ibrahim AS selama berjam-jam dan kemudian ber-hari-hari (Hira, Gua).
Apabila ia rindu akan keluarga atau perbekalannya habis, ia pun pulang dan datang kembali ke gua itu dengan membawa perbekalan secukupnya. Sepan-jang bulan Ramadan digunakannya untuk beribadah.
Pada 17 Ramadan/6 Agustus 611, ia melihat cahaya terang-benderang memenuhi ruangan gua itu. Tiba-tiba Malaikat Jibril muncul di hadapannya, menyampaikan wahyu Allah SWT pertama yang berarti:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS.96:1–5).
Dengan turunnya wahyu yang pertama itu, Nabi Muhammad SAW yang telah berusia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun kamariah atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun syamsiah itu berarti telah dipilih Allah SWT sebagai rasul.
Setelah pengalaman tersebut, dengan rasa khawatir dia pulang ke rumah dan berkata kepada Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku.” Sekujur tubuhnya terasa panas dan dingin berganti-ganti. Kemudian setelah merasa agak tenang, baru-lah ia bercerita kepada istrinya dengan tetap merasa cemas.
Khadijah berusaha menenangkan hati suaminya. Untuk lebih menenteramkan hati suaminya itu, Khadijah mengajak Nabi Muhammad SAW datang kepada saudara sepupunya, Wara-qah bin Naufal, yang banyak mengetahui kitab suci Kristen dan Yahudi.
Setelah Waraqah bin Naufal mendengar cerita tentang peristiwa di Gua Hira itu, ia pun berkata,
“Aku bersumpah dengan nama Tuhan, yang dalam tangan-Nya terletak hidup Waraqah, Tuhan telah memilihmu menjadi nabi kaum ini. An-Namus al-Akbar (Malaikat Jibril) telah datang kepadamu. Kaummu akan mengatakan bahwa engkau penipu, mereka akan memusuhimu, mereka akan membuangmu, dan mereka akan melawanmu. Sungguh, sekiranya aku dapat hidup sampai hari itu, aku akan berjuang membelamu.”
Meskipun mengandung kekhawatiran, hati Nabi SAW sudah mulai tenang kembali. Beberapa minggu kemudian Jibril datang lagi menyampaikan wahyu,
“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis; berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir pun) akan melihat; siapa di antara kamu yang gila. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS.68:1–7).
Wahyu berikutnya adalah awal surah al-Muzammil (73) ayat 1–9 yang memerintahkan Nabi SAW bangun malam untuk berzikir dan beribadah dengan tekun kepada Allah SWT dan agar Allah SWT dijadikan sebagai pelindung.
Wahyu kedua dan ketiga dimaksudkan untuk me mantapkan hati Nabi Muhammad SAW. Barulah setelah kemantapan itu menjadi semakin kuat, turun wahyu yang memerintahkan Nabi SAW untuk berdakwah, menyebarkan ajaran Allah SWT.
Dakwah Nabi Muhammad SAW. Wahyu keempat adalah surah al-Muddatsir (74) ayat 1–7, yang berarti:
“Hai orang yang berselimut; bangunlah lalu berilah pe-ringatan!; dan Tuhanmu agungkanlah; dan pakaianmu bersihkanlah; dan perbuatan dosa tinggalkanlah; dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”
Urutan turunnya keempat wahyu di atas merupakan pendapat Abu Bakar Muhammad bin Haris bin Abyad (seorang ulama hadis), berdasarkan hadis riwayat Jabir bin Zaid (seorang ulama dari golongan tabiin).
Pendapat ini dianggap tidak kuat. Pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa wahyu pertama adalah surah al-‘Alaq (96) ayat 1–5 dan wahyu kedua surah al-Muddatsir (74) ayat 1–7. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari, Muslim, al-Hakim, dan al-Baihaki dari Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq dan hadis yang diriwayatkan oleh at-Tabrani.
Dengan turunnya surah al-Muddatsir (74) ayat 1–7, mulailah Rasulullah SAW berdakwah. Pertama-tama, ia melakukannya secara diam-diam di lingkungan rumah dan keluarganya sendiri serta di kalangan rekan-rekannya. Dengan demikian, orang yang pertama kali menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah wanita yang pertama kali masuk Islam.
Menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, saudara sepupunya yang baru berumur 10 tahun. Dialah pemuda muslim pertama. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Ia merupakan pria dewasa yang pertama masuk Islam. Lalu menyusul Zaid bin Harisah, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya, dan Ummu
Aiman, pengasuh Nabi SAW sejak ibunya masih hidup. Abu Bakar sendiri kemudian berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya, seperti Usman bin Affan, Zu-bair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa‘d bin Abi Waqqas, dan Talhah bin Ubaidillah.
Mereka diajak Abu Bakar langsung menemui Nabi SAW dan masuk Islam di hadapan Nabi SAW sendiri. Dengan cara dakwah diam-diam ini, belasan orang telah masuk Islam.
Setelah beberapa lama Nabi SAW menjalankan dakwah secara diam-diam, turunlah perintah agar Nabi SAW menjalankan dakwah secara terang-terangan. Mula-mula ia mengundang kerabat karibnya dalam sebuah jamuan. Dalam kesempatan itu Nabi SAW berkata,
“Sesungguhnya orang yang menjadi mata-mata musuhnya sekalipun, tidak akan sampai hati berdusta kepada kaum kerabatnya sendiri. Demi Allah, kalau saya berdusta kepada orang ramai, saya tidak akan berdusta kepada kaum kerabatku.”
Setelah cukup mendapat perhatian, ia meneruskan, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, saya adalah utusan Allah kepada kalian dan kepada manusia umumnya.”
Ia menjelaskan bahwa setiap orang akan mati seperti orang tidur dan kemudian akan dibangkitkan kembali seperti orang dibangunkan dari tidurnya, lalu setiap amalnya akan dipertanggungjawabkan serta diberi balasan, yang baik dibalas baik dan yang jahat dibalas jahat. Balasan itu hanya satu di antara dua: surga atau neraka.
Melalui pertemuan seperti ini terlihat bahwa di antara kerabat dekatnya hanya sedikit yang menerimanya. Ada sebagian yang menolak tetapi dengan cara yang lemah-lembut dan ada pula yang menolaknya dengan cara yang kasar. Salah seorang yang menolak dengan kasar adalah Abu Lahab. Ia dalam kesempatan itu bahkan berkata,
“Tangkap Muhammad ini sebelum kamu dikeroyok oleh semua orang Arab. Kalau orang-orang Arab sudah menantang kamu gara-gara Muhammad ini, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya.”
Mendengar pembicaraan Abu Lahab itu, Abi Thalib murka dan berkata, “Demi Allah, selama kami masih hidup, Muhammad akan selalu kami bela.”
Langkah dakwah seterusnya yang diambil Nabi SAW adalah pertemuan yang lebih besar. Nabi SAW pergi ke Bukit Safa, dekat Ka’bah. Di atas bukit itu, Nabi SAW berdiri dan berteriak memanggil orang banyak. Penduduk segera berkumpul di sekitar Nabi SAW.
Karena Nabi SAW adalah orang yang tepercaya dan belum pernah berbuat seperti itu, penduduk berpendapat bahwa pastilah terdapat masalah yang penting. Untuk menarik perhatian mereka, Nabi SAW pertama-tama berkata, “Saudara-saudaraku, jika aku berkata, di belakang
bukit ini ada pasukan musuh yang besar siap menyerang kalian, percayakah kalian?” Dengan serentak mereka menjawab, “Percaya. Kami tahu, Saudara belum pernah bohong. Kejujuran Saudara tidak ada duanya. Saudaralah yang mendapat gelar al-Amin.” Kemudian Nabi SAW meneruskan,
“Kalau demikian, dengarkanlah. Aku ini adalah seorang pemberi peringatan (nadzir). Allah telah memerintahkanku agar aku memperingatkan saudara-saudara. Hendaknya kamu hanya menyembah Allah saja. Tidak ada Tuhan selain Allah. Apabila saudara ingkar, saudara akan terkena azab-Nya dan saudara nanti akan menyesal. Penyesalan kemudian tidak ada gunanya.”
Khotbah Nabi SAW tersebut membuat orang marah. Seba gian yang hadir ada yang berteriak-teriak marah dan ada yang mengejeknya sebagai gila. Namun ada pula yang diam saja.
Pada kesempatan itu Abu Lahab berteriak, “Celakalah engkau hai Muhammad. Untuk inikah engkau mengumpul kan kami?” Sebagai balasan terhadap ucapan Abu Lahab ini turunlah ayat 1–5 surah al-Lahab (111) yang membalas Abu Lahab, yang berarti:
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguh nya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak ia akan masuk ke dalam api yang bergolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.”
Aksi Menentang Dakwah Nabi SAW. Reaksi keras yang menentang dakwah Nabi SAW bermunculan. Namun, usaha dakwahnya tetap dilanjutkan terus tanpa mengenal lelah, sehingga hasilnya mulai nyata. Jumlah pengikut Nabi SAW yang tadinya hanya belasan orang, makin hari makin bertambah.
Hampir setiap hari ada yang menggabungkan diri ke dalam barisan pemeluk Islam. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, kaum budak, pekerja, dan orang miskin serta lemah. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang lemah, namun semangat yang mendorong mereka beriman sangat membaja.
Tantangan yang paling keras terhadap dakwah Nabi Muhammad SAW datang dari para penguasa dan pengusaha Mekah, kaum feodal, dan para pemilik budak. Mereka ingin mempertahankan tradisi lama, di samping juga khawatir jika struktur masyarakat dan kepentingan dagang mereka akan tergoyahkan langsung oleh ajaran Nabi SAW yang menekankan keadilan sosial dan persamaan derajat.
Mereka menyusun siasat untuk dapat melepaskan hubungan antara Abi Thalib dan Nabi Muhammad SAW. Mereka meminta agar Abi Thalib memilih satu di antara dua: memerintahkan Muhammad SAW agar berhenti dari dakwah atau menyerahkannya kepada mereka.
Abi Thalib terpengaruh oleh ancaman tersebut dan minta agar Muhammad SAW menghentikan dakwahnya. Tetapi Muhammad SAW menolak permintaannya. Nabi Muhammad SAW berkata, “Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan mengucilkan saya.” Mendengar jawaban kemenakannya itu, Abi Thalib kemudian berkata, “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu.”
Gagal dengan cara ini, mereka kemudian mengutus Walid bin Mugirah dengan membawa seorang pemuda untuk dipertukarkan dengan Muhammad SAW. Pemuda itu bernama Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan.
Walid bin Mugirah berkata, “Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan kepada kami Muhammad untuk kami bunuh, karena dia telah menentang kami dan memecah belah kita.” Usul Quraisy itu langsung ditolak keras oleh Abi Thalib dengan berkata,
“Sungguh jahat pikiran kalian. Kalian serahkan anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan saya serahkan kemenakan saya untuk kalian bunuh. Sungguh suatu saran yang tak mungkin saya terima.”
Setelah orang Quraisy kembali mengalami kegagalan, berikutnya mereka menghadapi Nabi Muhammad SAW secara langsung. Orang Quraisy Mekah mengutus Utbah bin Rabi’ah, seorang ahli retorika, untuk membujuk Nabi SAW.
Mereka menawarkan takhta, wanita, dan harta yang diduga diinginkan Nabi SAW, asalkan Nabi Muhammad SAW berse-dia menghentikan dakwahnya. Semua tawaran itu ditolak Muhammad SAW dengan mengatakan,
“Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah agama Allah ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya.”
Setelah gagal menghentikan dakwah Muhammad SAW dengan cara diplomatik dan bujuk rayu, kaum Quraisy mulai melakukan tindakan kekerasan. Mereka mempergunakan kekerasan fisik setelah mengetahui bahwa rumah tangga mereka sendiri juga sudah dimasuki pemeluk agama Islam.
Budak mereka yang selama ini mereka anggap sebagai harta kekayaan, sekarang sudah masuk Islam. Budak tersebut disiksa dengan sangat kejam di luar perikemanusiaan oleh tuan mereka. Mereka dipukul, dicambuk, dan tidak diberi makan dan minum.
Ada yang ditelentangkan di atas pasir yang panas dan di atas dadanya diletakkan batu yang besar dan berat. Mereka yang merdeka, bukan budak, juga mendapat siksaan serupa dari keluarga mereka yang masih bertahan dalam agama nenek moyang.
Setiap suku diminta menghukum dan menyiksa anggota keluarganya yang masuk Islam sampai murtad kembali. Usman bin Affan, misalnya, dikurung dalam kamar gelap dan dipukuli sampai babak belur oleh anggota keluarganya sendiri.
Orang yang tidak mempunyai pelindung yang disegani, seperti Abu Bakar, mendapat tindakan yang lebih keras. Secara keseluruhan, sejak saat itu umat Islam mendapat siksaan yang pedih dari kaum Quraisy Mekah. Mereka dilempari kotoran, dihalangi untuk melakukan ibadah di Ka’bah, dan lain sebagainya.
Kekejaman yang dilakukan penduduk Mekah terhadap kaum muslimin itu mendorong Nabi Muhammad SAW untuk mengungsikan para sahabatnya ke luar Mekah.
Dengan pertimbangan yang mendalam, pada tahun ke-5 kerasulannya, Nabi SAW menetapkan Abessinia atau Habasyah (Ethiopia) sebagai negeri tempat pengungsian, karena raja negeri itu adalah seorang yang adil, lapang hati, dan suka menerima tamu.
Ia merasa pasti bahwa para pengikutnya akan diterima dengan terbuka. Rombongan pertama yang terdiri dari 10 orang pria dan 5 orang wanita berangkat. Di antara anggota rombongan terdapat Usman bin Affan beserta istrinya Ruqayyah (putri Rasulullah SAW), Zubair bin Awwan, dan Abdurrahman bin Auf.
Kemudian menyusul rombongan kedua yang dipimpin Ja‘far bin Abi Thalib. Ada yang mengatakan rombongan ini terdiri dari 80 pria. Sumber lain menyebutkan mereka terdiri dari 83 pria dan 18 wanita.
Berbagai usaha dilakukan orang Quraisy untuk meng halangi hijrah ke Habasyah ini, termasuk membujuk raja agar menolak kehadiran umat Islam di sana. Namun berbagai usaha itu gagal juga. Semakin kejam mereka memperlakukan umat Islam, semakin bertambah jumlah yang memeluk Islam.
Bahkan di tengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang kuat Quraisy masuk Islam, yakni Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab. Dengan masuknya dua orang yang dijuluki “singa Arab” itu, semakin kuatlah posisi umat Islam dan dakwah Muhammad SAW pada waktu itu.
Menguatnya posisi Nabi SAW dan umat Islam tersebut membuat reaksi kaum Quraisy semakin keras. Karena mereka berpendapat bahwa kekuatan Muhammad SAW terletak pada perlindungan Bani Hasyim, mereka berusaha melumpuh kan Bani Hasyim secara keseluruhan dengan melaksanakan blokade.
Mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang pun penduduk Mekah boleh melakukan hubungan dengan Bani Hasyim, termasuk hubun-gan jual-beli dan pernikahan. Persetujuan yang mereka buat dalam bentuk piagam itu mereka tandatangani bersama-sama dan mereka gantungkan dalam Ka’bah.
Akibatnya, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya pindah ke suatu lembah di luar kota Mekah untuk mengungsi.
Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsung selama tiga tahun dan merupakan tindakan yang paling menyiksa. Pemboikotan itu baru berhenti karena terdapat beberapa pemimpin Quraisy yang menyadari bahwa tindakan pemboikotan itu sungguh suatu tindakan yang keterlaluan.
Kesadaran itulah yang kemudian mendorong mereka untuk melanggar perjanjian yang mereka buat sendiri. Dengan demikian, Bani Hasyim seakan dapat bernapas kembali dan pulang ke rumah masing-masing.
Setelah Bani Hasyim sampai di rumah masing-masing, Abi Thalib, paman Nabi Muhammad SAW yang merupakan pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari setelah itu, Khadijah, istrinya yang tercinta dan teman seperjuangan yang selalu mendampinginya, juga meninggal dunia.
Tahun ke-10 kenabian ini benar-benar merupakan tahun kesedihan (‘Am al-huzn) bagi Nabi Muham mad SAW. Apalagi, sepeninggal dua pendukung itu, orang Quraisy tidak segan-segan melampiaskan kebenciannya kepada Nabi SAW.
Melihat sikap penduduk Mekah sedemikian rupa, Nabi SAW kemudian berusaha menyebarkan dakwahnya ke luar kota, yaitu ke Ta’if, sebuah kota kecil yang berjarak 65 km di sebelah tenggara kota Mekah.
Namun, reaksi yang diterima Nabi SAW dari Bani Saqif (penduduk Ta’if) tidak berbeda dengan reaksi penduduk Mekah. Nabi SAW diejek, disoraki, dan dilempari batu, sehingga Nabi SAW terluka di bagian kepala dan badannya.
Peristiwa Isra Mikraj. Pada tahun ke-10 kenabian, Nabi Muhammad SAW melakukan isra mikraj, yaitu Allah SWT memperjalankan Nabi SAW pada malam hari (isra) dari Masjidilharam ke Masjidilaksa di Yerusalem dan kemudian membawa Nabi SAW naik (mikraj) ke langit untuk meng hadap Allah SWT di sidratulmuntaha.
Peristiwa luar biasa yang dikaruniakan Allah SWT kepada hamba-Nya ini adalah suatu kehormatan khusus bagi Nabi Muhammad SAW. Dalam surah al-Isra’ atau Bani Isra’il (17) ayat 1 Allah SWT berfirman,
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dalam kesempatan mikraj itulah Allah SWT menurunkan kewajiban salat lima waktu. Berita tentang isra dan mikraj itu telah menggemparkan masyarakat Mekah.
Bagi orang kafir, ia dijadikan bahan propa-ganda untuk mendustakan Nabi SAW. Akan tetapi bagi orang yang beriman, ia dijadikan bahan ujian.
Hijrah. Harapan baru bagi perkembangan dakwah Islam muncul dengan datangnya jemaah haji ke Ka’bah di Mekah yang berasal dari Yatsrib (Madinah). Nabi SAW memanfaat kan kesempatan itu untuk menyebarkan agama Allah SWT kepada jemaah dengan mendatangi kemah mereka.
Usaha Nabi SAW itu selalu diikuti Abu Lahab dan kawan-kawannya dengan mendustakan Nabi SAW sehingga usaha Nabi SAW ini tidak mendapat sambutan yang diharapkan.
Suatu saat Nabi SAW bertemu dengan enam orang dari suku Aus dan Khazraj yang berasal dari Yatsrib. Setelah Nabi SAW menyampaikan pokok ajaran Islam, mereka menyatakan diri masuk Islam di hadapan Nabi SAW. Mereka berkata,
“Bangsa kami sudah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kini kiranya Tuhan mempersatukannya kembali dengan perantaraanmu dan ajaran-ajaran yang kamu bawa. Oleh karena itu, kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari kamu ini.”
Pada musim haji berikutnya, datanglah delegasi Yatsrib yang terdiri dari 12 orang dari suku Khazraj dan Aus. Mereka menemui Nabi Muhammad SAW di suatu tempat yang bernama Aqabah. Di hadapan Nabi SAW, mereka menyatakan ikrar kesetiaan.
Rombongan ini kemudian kembali ke Yatsrib sebagai juru dakwah dengan ditemani Mus‘ab bin Umair yang sengaja diutus Nabi SAW atas permintaan mereka. Pada musim haji berikutnya, jemaah haji yang datang dari Yatsrib berjumlah 75 orang. Mereka menemui Nabi SAW di Aqabah.
Dalam rombongan ini terdapat semua orang yang telah menemui Nabi SAW pada dua musim sebelumnya. Dalam kesempatan ini, atas nama penduduk Yatsrib, mereka meminta agar Nabi SAW bersedia pindah ke Yatsrib. Mereka semua berjanji akan membela Nabi SAW dari segala ancaman. Nabi SAW menyetujui usul yang mereka ajukan.
Setelah mengetahui adanya perjanjian antara Nabi SAW dan orang Yatsrib, kaum Quraisy semakin kejam terhadap kaum muslimin. Hal itu membuat Nabi SAW segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib.
Secara diam-diam berangkatlah rombongan demi rombongan yang terdiri dari dua atau tiga orang muslim ke Yatsrib. Dalam wak-tu 2 bulan, hampir semua kaum muslimin sejumlah kurang lebih 150 orang telah berada di Yatsrib.
Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar as-Siddiq tetap tinggal di Mekah bersama Nabi SAW, membelanya sampai Nabi SAW mendapat wahyu untuk hijrah ke Yatsrib.
Dengan berpindahnya sebagian kaum muslimin ke Yatsrib, kaum musyrikin Quraisy berencana untuk membunuh Nabi Muhammad SAW sebelum sempat menyusul umatnya ke Yatsrib. Pembunuhan itu direncanakan melibatkan semua suku. Setiap suku diwakili oleh seorang pemudanya yang terkuat.
Rencana itu terdengar Nabi SAW, sehingga ia mer-encanakan hijrah bersama sahabat Abu Bakar. Abu Bakar ditugaskan untuk mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam perjalanan, termasuk dua ekor unta. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib diminta untuk menggantikan Nabi SAW mene-mpati tempat tidurnya agar kaum musyrikin mengira bahwa Nabi SAW masih tidur.
Pada malam hari yang direncanakan, di tengah malam buta, Nabi SAW keluar dari rumahnya tanpa diketahui para pengepung dari kalangan kaum Quraisy. Nabi SAW menemui Abu Bakar yang telah siap menunggu. Mereka berdua keluar dari Mekah menuju sebuah gua di Gua Sur, kira-kira 3 mil di sebelah selatan kota Mekah. Mereka bersembunyi di dalam gua itu selama 3 hari tiga malam menunggu keadaan aman.
Pada malam ke-4, setelah usaha orang Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi SAW sudah sampai di Yatsrib, keluarlah Nabi SAW dan Abu Bakar dari persembunyiannya. Pada waktu itu Abdullah bin Uraiqit yang diperintahkan Abu Bakar pun tiba dengan membawa dua ekor unta yang memang telah dipersiapkan sebelumnya.
Berangkatlah Nabi SAW dan sahabatnya itu menuju Yatsrib menyusuri pantai Laut Merah, suatu jalan yang tidak pernah ditempuh orang.
Setelah 7 hari perjalanan, Nabi SAW dan Abu Bakar tiba di Quba, sebuah desa yang berjarak 5 km dari Yatsrib. Di desa ini, Nabi SAW beristirahat selama beberapa hari.
Ia menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi SAW membangun masjid (Masjid Quba). Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi SAW sebagai pusat peribadatan. Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan Nabi SAW.
Sementara itu, penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Menurut perhitungan mereka, berdasarkan perhitungan yang lazim ditempuh orang, seharusnya Nabi SAW sudah tiba di Yatsrib.
Oleh karena itu mereka pergi ke tempat yang tinggi, memandang ke jurusan Quba, menan-tikan dan menyongsong kedatangan Nabi SAW dan rom-bongan. Akhirnya waktu yang mereka tunggu-tunggu itu datang. Dengan perasaan bahagia, mereka mengelu-elukan kedatangan Nabi SAW. Mereka berbaris di sepanjang jalan dengan menyanyikan lagu:
“Telah tiba bulan purnama, dari €aniyyah al-Wada‘i (celah-celah bukit). Kami wajib bersyukur, selama ada orang yang menyeru kepada Ilahi. Wahai orang yang diutus kepada kami, engkau telah membawa sesuatu yang harus kami taati.”
Setiap orang ingin agar Nabi SAW mampir dan menginap di rumahnya. Mereka memang mengundang Nabi SAW untuk itu. Tetapi Nabi SAW hanya berkata, “Aku akan menginap di mana untaku berhenti. Biarkanlah dia berjalan sekehendak hatinya.”
Unta itu ternyata berhenti di tanah milik dua anak yatim, Sahal dan Suhail, di depan rumah Abu Ayyub al-An-sari. Dengan demikian Nabi SAW memilih rumah Abu Ayyub sebagai tempat menginap sementara. Tujuh bulan lamanya Nabi SAW tinggal di rumah Abu Ayyub, sementara kaum muslimin bergotong-royong membangun rumah untuknya.
Sejak itu, nama kota Yatsrib diubah menjadi MadÓnah an-Nabi (kota Nabi). Orang sering pula menyebutnya Madinah al-Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia. Dalam penggunaan sehari-hari, kota itu disebut Madinah.
Terbentuknya Negara Madinah. Setelah Nabi SAW tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi SAW menjadi pemimpin penduduk kota itu. Ia segera meletakkan dasar kehidupan yang kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat baru.
Dasar pertama yang ditegakkannya adalah ukhuwah islamiah (persaudaraan dalam Islam), yaitu antara Muhajirin (orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah) dan Ansar (penduduk Madinah yang sudah masuk Islam dan ikut membantu kaum Muhajirin itu). Nabi SAW mempersaudarakan individu dari golongan Mujahirin dengan individu dari golongan Ansar.
Misalnya, Nabi SAW mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid dan Ja‘far bin Abi Thalib dengan Mu‘az bin Jabal. Dengan demikian, diharapkan masing-masing orang akan merasa terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan.
Dengan persaudaraan ini, Rasulullah SAW telah menciptakan suatu persaudaraan yang baru, yaitu per saudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah atau keturunan.
Dasar kedua adalah sarana terpenting untuk mewujudkan rasa persaudaraan itu, yakni tempat pertemuan. Sarana itu adalah masjid, tempat untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT secara berjemaah, yang juga dapat digunakan sebagai pusat kegiatan untuk berbagai hal, seperti proses belajar mengajar, mengadili perkara yang muncul dalam masyarakat, musyawarah, dan transaksi dagang.
Nabi SAW merencanakan pembangunan masjid itu dan langsung ikut membangun bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang dibangun itu (Masjid Nabawi) cukup besar, di atas sebidang tanah dekat rumah Abu Ayyub al-Ansari.
Dindingnya terbuat dari tanah liat, sedangkan atapnya dari daun dan pelepah kurma. Dekat masjid itu dibangun pula sebuah rumah tempat tinggal Nabi SAW dan keluarganya.
Dasar ketiga adalah hubungan persahabatan dengan pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, di samping orang Arab Islam, juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka.
Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang Yahudi sebagai suatu komunitas dikeluar kan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan.
Kemerdekaan beragama dijamin dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar. Dalam piagam itu disebutkan bahwa Rasulullah SAW sendiri menjadi kepala pemerintahan Madinah, karena selama ini sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas diberikan kepada Nabi SAW.
Segala perkara dan perselisihan dibawa kepadanya untuk diselesaikan. Dalam bidang sosial, ia meletakkan dasar persamaan antarmanusia. Perjanjian ini, dalam pandangan ketatanegaraan dewasa ini, sering disebut dengan Piagam Madinah atau Mitsaq Madinah.
Masyarakat yang dibangun Nabi Muhammad SAW di Madi-nah setelah hijrah itu sudah dapat dikatakan sebagai sebuah negara, dengan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negaranya.
Dengan terbentuknya negara Madinah itu, Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang Mekah menjadi risau, takut kalau-kalau umat Islam memukul mereka dan membalas kekejaman yang pernah mereka lakukan.
Mereka juga khawatir, kafilah dagang mereka ke Suriah akan diganggu atau dikuasai kaum muslimin Madinah. Jika demikian, masa depan perdagangan mereka akan menjadi suram.
Para Muhajirin memang tidak pernah melupakan negeri tumpah darah mereka. Bahkan dalam strategi perjuangan Nabi SAW, Mekah mempunyai arti yang sangat penting dan karena itu harus dikuasai.
Untuk memperkokoh dan mempertahankan keberadaan negara yang baru didirikan itu, Nabi SAW mengadakan beberapa ekspedisi ke luar kota, baik langsung di bawah pimpinannya maupun tidak. Hamzah bin Abdul Muthalib membawa 30 orang berpatroli ke pesisir Laut Merah.
Ubaidah bin Haris membawa 60 orang menuju Wadi Rabiyah. Sa‘d bin Abi Waqqas ke Hijaz dengan 8 orang Muhajirin. Nabi SAW sendiri membawa pasukan ke Abwa dan di sana berhasil mengikat perjanjian dengan Bani Damrah, ke Buwat dengan membawa 200 orang Muhajirin dan Ansar, dan ke Usyairah. Di Usyairah Nabi SAW mengadakan perjanjian dengan Bani Mudij.
Demikianlah kegiatan Nabi Muhammad SAW pada tahun pertama berdirinya negara Madinah. Ekspedisi itu sengaja digerakkan Nabi SAW sebagai aksi siaga dan melatih ke mampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian perdamaian dengan berbagai kabilah dimaksudkan sebagai usaha memperkuat kedudukan Madinah.
Perang Badar. Perang Badar yang merupakan perang antara kaum muslimin Madinah dan kaum musyrikin Quraisy Mekah terjadi pada 2 H/624 M.
Perang ini merupakan puncak dari sejumlah pertikaian yang banyak terjadi antara pihak kaum muslimin Madinah dan musyrikin Quraisy. Perang ini berkobar setelah berbagai upaya damai yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW gagal.
Tentara muslimin Madinah terdiri dari 313 orang den-gan perlengkapan sederhana. Senjata mereka terdiri dari pedang, tombak, dan panah. Dalam perang ini Nabi SAW sendiri yang memberi komando.
Berkat kesetiaan kepada kepemimpinan Nabi SAW dan dengan iman serta semangat yang membaja, kaum muslimin keluar sebagai pemenang. Abu Jahal, panglima perang Mekah dan musuh utama Nabi SAW sejak awal, tewas dalam perang itu.
Tujuh puluh orang tewas dari pihak Quraisy dan 70 orang menjadi tawanan. Di pihak kaum muslimin, hanya 14 orang yang gugur sebagai syahid. Kemenangan ini sungguh merupakan pertolongan Allah SWT (QS.3:123).
Orang Yahudi Madinah merasa tidak senang dengan ke-menangan kaum muslimin. Mereka memang tidak sepenuh hati menerima perjanjian yang telah dibuat antara mereka dan Nabi SAW.
Sementara itu, Nabi Muhammad SAW terus berusaha menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan para tawanan melalui musyawarah dengan para sahabat. Melalui musyawarah itu, Nabi SAW akhirnya memutuskan agar para tawanan dibebaskan dengan tebusan sesuai dengan kemampuan sendiri atau kemampuan keluarga masing-masing.
Tawanan yang pandai membaca dan menulis dapat dibebas-kan apabila bersedia mengajari orang Islam yang masih buta aksara. Akan tetapi, tawanan yang tidak memiliki kekayaan apa-apa dan tidak pula pandai membaca dan menulis, dibebaskan.
Tidak lama setelah itu Nabi SAW menandatangani sebuah piagam perjanjian dengan beberapa suku Badui yang kuat. Mereka ingin menjalin hubungan dengan Nabi SAW karena melihat kekuatan Nabi SAW. Akan tetapi, ternyata suku itu hanya memuja kekuatan semata-mata.
Sesudah Perang Badar, Nabi SAW juga menyerang Bani Qainuqa, suku Yahudi Madinah yang berkomplot dengan orang Mekah, dan mengusir mereka ke Suriah.
Perang Uhud. Perang Uhud terjadi di Bukit Uhud pada 3 H/625 M. Perang ini meletus karena keinginan balas dendam orang musyrikin Quraisy Mekah yang kalah dalam Perang Badar.
Pasukan Quraisy, dengan dibantu kabilah Tihamah dan Kinanah, membawa 3.000 ekor unta dan 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Tujuh ratus orang di antara mereka memakai baju besi. Adapun pasukan Nabi Muhammad SAW hanya berjumlah 700 orang.
Setelah berlangsung perang tanding yang dimenangkan kaum muslimin, perang pun berkobar. Para prajurit Islam dapat memukul mundur pasukan musuh yang lebih besar itu. Tentara Quraisy mulai mundur dan kocar-kacir meninggalkan harta mereka.
Melihat kemenangan yang sudah di ambang pintu itu, para pemanah yang ditempatkan Rasulullah SAW di puncak bukit meninggalkan posnya dan turun untuk mengambil harta peninggalan musuh. Mereka lupa akan pesan Rasulullah SAW untuk tidak meninggalkan pos mereka dalam keadaan bagaimanapun sebelum diperintahkan.
Mereka tidak lagi menghiraukan gerakan musuh. Situasi ini dimanfaatkan musuh yang segera melancarkan serangan balik. Tanpa konsentrasi penuh, pasukan Islam tak mampu lagi menangkis serangan. Mereka terjepit dan satu per satu pahlawan Islam berguguran.
Nabi SAW sendiri terkena serangan musuh. Sisa pasukan Islam diselamatkan berita tidak benar yang diterima pasukan musuh bahwa Nabi SAW sudah meninggal. Berita ini membuat mereka mengendurkan serangan untuk kemudian mengakhiri pertempuran itu. Peperangan ini menyebabkan 70 orang pejuang Islam gugur sebagai syahid.
Perang Khandaq. Perang yang terjadi pada 5 H/627 M ini merupakan perang antara kaum muslimin Madinah di satu pihak dan masyarakat Yahudi Madinah yang mengungsi ke Khaibar serta masyarakat Mekah di lain pihak. Karena itu perang ini dinamakan juga Perang Ahzab (sekutu beberapa suku).
Pasukan gabungan ini terdiri dari 10.000 orang tentara. Salman al-Farisi, sahabat Nabi SAW, mengusulkan agar kaum muslimin membuat parit pertahanan pada bagian kota yang terbuka. Karena itu perang ini juga disebut Perang Khandaq (parit).
Tentara sekutu yang tertahan oleh parit itu mengepung Madinah dengan mendirikan perkemahan di luar parit hampir sebulan lamanya. Pengepungan yang menyebabkan masyarakat Madinah terputus hubungannya dengan dunia luar cukup membuat masyarakat Madinah menderita berat.
Suasana kritis itu masih ditambah pula oleh pengkhianatan orang Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizah, di bawah pimpinan Ka‘ab bin Asad. Namun akhirnya pertolongan Allah SWT-lah yang menyelamatkan kaum muslimin.
Setelah sebulan mengadakan pengepungan, sekutu mengalami kekurangan persediaan makanan. Sementara itu, pada malam hari angin dan badai turun dengan amat kencang, menghantam dan menerbangkan kemah dan seluruh perlengkapan tentara sekutu itu.
Mereka terpaksa menghentikan pengepungan dan kembali ke negeri masing-masing tanpa suatu hasil. Pengkhianat Yahudi dari Bani Quraizah dijatuhi hukuman yang keras, yakni hukuman mati. Hal ini dinyatakan dalam surah al-Ahzab (33) ayat 25–26.
Perjanjian Hudaibiyah. Pada 6 H/628 M, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, hasrat kaum muslimin untuk mengunjungi Mekah sangat bergelora. Nabi SAW memimpin langsung sekitar 1.400 orang kaum muslimin berangkat pada bulan suci, bulan yang dilarang adanya perang, untuk melaku kan ibadah umrah.
Untuk itu, mereka mengenakan pakaian ihram dan membawa senjata ala kadarnya untuk menjaga diri, bukan untuk berperang. Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah, yang terletak beberapa kilometer dari Mekah.
Orang kafir Quraisy melarang kaum muslimin masuk ke Mekah dengan menempatkan jumlah tentara yang besar untuk berjaga-jaga.
Akhirnya diadakanlah Perjanjian Hudaibiyah antara Madinah dan Mekah yang antara lain berisi:
(1) kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah pada tahun tersebut, tetapi ditangguhkan sampai tahun berikutnya;
(2) lama kunjungan dibatasi 3 hari saja dan ketika itu orang Quraisy akan men-gosongkan kota;
(3) kaum muslimin wajib mengembalikan orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah, sebaliknya pihak Quraisy tidak harus menolak orang Madinah yang kembali ke Mekah;
(4) selama 10 tahun diberlakukan gencatan senjata antara masyarakat Madinah dan masyarakat Mekah; dan
(5) tiap kabilah yang ingin masuk dalam persekutuan dengan kaum Quraisy atau kaum muslimin diberi kebebasan melakukannya tanpa mendapat rintangan.
Kesediaan orang Mekah untuk berunding dan membuat perjanjian dengan kaum muslimin benar-benar merupakan kemenangan diplomatik yang besar bagi kaum muslimin.
Karena dengan diberlakukannya perjanjian tersebut, paling tidak sudah terbuka harapan bagi kaum muslimin untuk mengambil alih Ka’bah dan kemudian Mekah.
Dengan perjanjian tersebut, tujuan utama Nabi SAW sebenarnya adalah berusaha merebut dan menguasai Mekah, untuk kemudian dari sana menyiarkan Islam ke daerah lain.
Ada dua faktor utama yang mendorong kebijakan ini. Pertama, Mekah adalah pusat keagamaan bangsa Arab dan dengan melalui konsolidasi bangsa Arab dalam Islam diharapkan Islam dapat tersebar keluar. Kedua, apabila suku Quraisy dapat diislamkan, Islam akan memperoleh dukungan yang besar, karena orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar di kalangan bangsa Arab.
Setahun kemudian ibadah haji dapat ditunaikan sesuai dengan rencana. Banyak orang Quraisy yang masuk Islam setelah menyaksikan ibadah haji orang Islam itu, di samping melihat kemajuan yang dicapai masyarakat Islam Madinah.
Penyebaran Islam ke Negeri Lain. Gencatan senjata den-gan penduduk Mekah memberi kesempatan kepada Nabi SAW untuk menoleh ke berbagai negeri yang lain sambil memikirkan bagaimana cara mengislamkan mereka.
Salah satu cara yang ditempuh Nabi SAW kemudian adalah mengirim utusan dan surat kepada berbagai kepala negara dan pemerintahan. Di antara raja yang dikirimi surat oleh Nabi SAW adalah raja Gassan (Iran), Mesir, Abessinia, Persia, dan Romawi.
Melalui cara yang demikian, tidak ada raja tersebut yang masuk Islam. Akan tetapi, paling tidak dengan cara itu risalah Islam sudah sampai kepada mereka. Di antara mereka ada yang menolak dengan baik dan simpatik sambil mengirimkan berbagai hadiah, tetapi ada juga yang menolak dengan kasar.
Di antara raja yang menolak dengan kasar adalah raja Gassan. Utusan Nabi SAW dibunuh dengan kejam oleh raja ini. Sebagai jawabannya Nabi SAW kemudian mengirim pasu kan perang sebanyak 3.000 orang di bawah pimpinan Zaid bin Harisah untuk memerangi raja Gassan yang bersekutu dengan Romawi.
Peperangan terjadi di Mu’tah, di ujung selatan Laut Mati, sekarang termasuk wilayah Yordania. Pasukan Islam mendapat kesulitan menghadapi tentara Gassan yang mendapat bantuan langsung dari Romawi.
Beberapa pahlawan gugur dalam pertempuran melawan pasukan yang berkekuatan ratusan ribu orang itu. Di antara mereka yang gugur adalah Zaid bin Harisah sendiri, Ja‘far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Abi Rawahah.
Melihat kenyataan yang tidak berimbang itu, Khalid bin Walid, yang sudah masuk Islam, mengambil alih komando dan memerintahkan pasukan untuk menarik diri dan kembali ke Madinah. Perang ini disebut dengan Perang Mu’tah.
Kembali ke Mekah. Selama 2 tahun Perjanjian Hudaibiyah, dakwah Islam sudah menjangkau seluruh Semenanjung Arabia dan mendapat tanggapan yang positif.
Hampir seluruh Semenanjung Arabia, termasuk suku yang paling selatan, telah menggabungkan diri ke dalam Islam. Hal yang demikian membuat orang Mekah merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah itu ternyata telah menjadi senjata bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya.
Oleh karena itu, secara sepihak orang Quraisy membatalkan perjanjian tersebut. Mereka menyerang Bani Khuza‘ah yang berada di bawah perlindungan Islam hanya karena kabilah ini berselisih dengan Bani Bakar yang menjadi sekutu Quraisy.
Sejumlah orang Khuza‘ah dibunuh dan yang lainnya dicerai-beraikan. Bani Khuza‘ah segera mengadu kepada Nabi Muhammad SAW dan meminta keadilan.
Rasulullah SAW segera bertolak dengan 10.000 orang tentara untuk melawan kaum musyrik Mekah itu. Kecuali perlawanan kecil dari kaum Ikrimah dan Safwan, Nabi Muhammad SAW tidak mengalami kesukaran memasuki kota Mekah.
Nabi SAW memasuki kota itu sebagai pemenang. Pasukan Islam memasuki Mekah tanpa kekerasan. Patung berhala di seluruh negeri dihancurkan. Allah SWT berfirman yang berarti: “…Kebenaran sudah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” (QS.17:81).
Setelah melenyapkan berhala itu, Nabi SAW berkhotbah menjanjikan ampunan Allah SWT terhadap orang Quraisy. Setelah khotbah disampaikan, berbondong-bondong mereka datang dan memeluk agama Islam. Ka’bah bersih dari berhala dan dari tradisi serta kebiasaan orang musyrik. Sejak itu, Mekah berada di bawah kekuasaan Nabi SAW.
Setelah Mekah dapat dikalahkan, masih terdapat suku Arab yang masih menentang, yaitu Bani Saqif, Bani Hawazin, Bani Nasr, dan Bani Jusyam. Mereka merupakan kaum musyrikin Mekah.
Suku ini berkomplot membentuk satu pasukan untuk memerangi Islam karena ingin menuntut bela atas berhala mereka yang diruntuhkan Nabi SAW dan umat Islam di Ka’bah.
Pasukan mereka dipimpin Malik bin Auf (dari Bani Nasr). Dalam perjalanan mereka ke Mekah itu, mereka berkemah di Lembah Hunain yang sangat strategis.
Kurang lebih 2 minggu setelah pendudukan Mekah itu, Nabi SAW kemudian memimpin kira-kira 12.000 tentara menuju Hunain. Pasukan Islam menjadi kacau balau dan banyak di antara mereka yang gugur.
Setelah banyak anggota pasukan yang menjadi goyah, Nabi SAW kemudian memberi semangat dan langsung memimpin peperangan itu sehingga umat Islam dapat memenangkan pertempuran dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Pasukan musuh yang melarikan diri ke Ta’if terus diburu dan setelah beberapa minggu menye rah. Pemimpin mereka, Malik bin Auf menyatakan diri masuk Islam.
Dengan ditaklukkannya Bani Saqif dan Bani Hawazin, seluruh Semenanjung Arabia berada di bawah satu kepe mimpinan, yakni kepemimpinan Nabi SAW. Melihat kenyataan itu, Heraclius, pemimpin Romawi, menyusun pasukan besar di Suriah, kawasan di utara Semenanjung Arabia yang merupakan daerah pendudukan Romawi.
Dalam pasukan besar itu bergabung Bani Gassan dan Bani Lachmides. Dalam masa panen dan pada musim yang sangat panas itu, banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri untuk berperang bersama Nabi SAW.
Pasukan Romawi kemudian menarik diri setelah melihat besarnya pasukan yang dipimpin Nabi SAW. Nabi SAW sendiri tidak melakukan pengejaran, tetapi berkemah di Tabuk. Di sini Nabi SAW membuat beberapa perjanjian dengan penduduk setempat dan dengan demikian daerah perbatasan itu dapat dirangkul ke dalam barisan Islam. Perang Tabuk inilah perang terakhir yang diikuti Nabi SAW.
Pada 9 H/631 M dan 10 H/632 M banyak suku dari seluruh pelosok Arab yang mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan tunduk kepada Nabi SAW.
Masuknya orang Mekah ke dalam agama Islam mempunyai pengaruh yang amat besar pada penduduk Arab. Oleh karena itu, tahun ini disebut dengan Tahun Perutusan atau ‘Am al-Bi‘tsah.
Mereka yang datang ke Madinah, rombongan demi rombongan, mempelajari ajaran Islam dan setelah itu mereka kembali ke negeri masing-masing untuk mengajarkannya kepada kaumnya.
Dengan cara ini, persatuan Arab terbentuk. Peperangan antarsuku yang berlangsung selama ini berubah menjadi persaudaraan agama. Pada saat seperti itulah turun firman Allah SWT yang berarti:
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan; dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong; maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Tobat” (QS.110:1–3).
Kini apa yang ditugaskan kepada Nabi Muhammad SAW sudah tercapai. Di tengah suatu bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban telah lahir seorang nabi.
Ia telah berhasil membacakan ayat Allah SWT kepada mereka dan menyuci kannya serta mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, padahal sebelumnya mereka berada dalam kegelapan yang pekat.
Pada awalnya Nabi SAW menemukan mereka bergelimang dalam ketakhayulan yang merendahkan derajat manusia, lalu ia mengilhami mereka dengan kepercayaan kepada satu-satunya Tuhan Yang Maha Benar dan Maha Kasih Sayang.
Ketika bercerai-berai dan terlibat dalam peperangan yang se-olah-olah tak ada akhirnya, mereka dipersatukannya dengan ikatan persaudaraan. Kalau sebelumnya Semenanjung Arabia berada dalam kegelapan rohani, ia datang membawa cahaya terang-benderang untuk menyinari mereka secara rohani.
Pekerjaannya selesai sudah dan seluruhnya diselesaikannya dengan baik semasa hidupnya. Di sinilah letak keunggulan Nabi Muhammad SAW dibanding dengan nabi yang lain.
Ibadah Haji Terakhir. Pada 10 H/632 M Nabi SAW mengerja-kan ibadah haji yang terakhir, yang disebut juga dengan haji wadak. Pada 25 Zulkaidah 10/23 Februari 632 Rasulullah SAW meninggalkan Madinah. Sekitar seratus ribu jemaah turut menunaikan ibadah haji bersamanya.
Pada waktu wukuf di Arafah, di tengah lautan manusia itu, Nabi Muhammad SAW menyampaikan khotbahnya yang sangat bersejarah. Isi khotbah itu antara lain: larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan larangan mengambil harta orang lain dengan batil, karena nyawa dan harta benda adalah suci; larangan riba dan larangan men-ganiaya; perintah untuk memperlakukan para istri dengan baik serta lemah lembut; perintah menjauhi dosa; semua pertengkaran di antara mereka di zaman Jahiliah harus saling dimaafkan; pembalasan dengan tebusan darah sebagaimana yang berlaku di zaman Jahiliah tidak lagi dibenarkan; persau-daraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan; hamba sahaya harus diperlakukan dengan baik, yakni mereka memakan apa yang dimakan majikannya dan memakai apa yang dipakai majikannya; dan yang terpenting adalah bahwa umat Islam harus selalu berpegang pada dua sumber yang tak pernah usang, yakni Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW.
Setelah itu Nabi SAW bertanya kepada seluruh jemaah, “Sudahkah aku menyampaikan amanat Allah, kewajibanku, kepada kamu sekalian?” Jemaah yang ada di hadapannya segera menjawab, “Ya, memang demikian adanya.” Nabi Muhammad SAW kemudian menengadah ke langit sambil mengucapkan, “Ya Allah, Engkaulah menjadi saksiku.” De ngan kata-kata seperti itulah Rasulullah SAW mengakhiri khotbahnya.
Kembali ke Madinah. Setelah upacara haji yang lain disempurnakan, Nabi Muhammad SAW segera kembali ke Madinah. Di kota terakhir inilah ia menghabiskan sisa hidupnya. Ia mengatur organisasi masyarakat kabilah yang telah memeluk agama Islam dan menjadi bagian dari persekutuan Islam.
Ia mengutus petugas keagamaan dan para dai ke berbagai daerah dan mengirim kabilah untuk mengajarkan ajaran Is-lam, untuk mengatur peradilan Islam, dan untuk memungut zakat.
Salah seorang di antara petugas yang dikirimnya itu adalah Mu‘az bin Jabal yang dikirimnya ke Yaman. Ketika itulah hadis Mu‘az yang terkenal muncul, yaitu perintah Nabi
SAW agar Mu‘az mempergunakan pertimbangan akalnya dalam mengatur pesoalan agama apabila tidak menemukan petunjuk Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW.
Pada saat seperti itu pula Allah SWT menurunkan wahyu yang terakhir:
“…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu …” (QS.5:3).
Mendengar ayat ini, banyak orang bergembira karena ag-ama mereka telah sempurna, tetapi ada pula yang menangis, seperti Abu Bakar, karena mengetahui bahwa ayat itu dengan jelas merupakan pertanda berakhirnya tugas Rasulullah SAW.
Wafatnya Nabi SAW. Dua bulan setelah menunaikan ibadah haji wadak itu, Nabi SAW sakit demam. Meskipun badannya mulai lemah, ia tetap memimpin salat berjemaah. Baru setelah sangat lemah, 3 hari menjelang wafatnya, ia tidak lagi mengimami salat berjemaah. Sebagai gantinya, ia menunjuk Abu Bakar sebagai imam salat. Tenaganya dengan cepat berkurang.
Pada hari Senin 13 Rabiulawal 11/8 Juni 632, Nabi Muhammad SAW meninggal dunia di rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar, dengan wasiat terakhir: “Ingatlah salat dan tobatlah.”
Ummul Mukminin. Setelah Khadijah meninggal dunia, Nabi SAW menikah kembali sebanyak sepuluh kali. Kesebelas istri Nabi SAW itu disebut Ummul Mukminin (ibu orang yang beriman). Sebutan tersebut menunjukkan bahwa para istri Nabi SAW adalah wanita yang terpilih dan dimuliakan Allah SWT.
Nabi SAW menikahi para wanita tersebut karena beberapa alasan, antara lain untuk melindunginya dari tekanan kaum musyrikin, membebaskannya dari status tawanan perang, dan mengangkat derajatnya. Tidak jarang perkawinan yang dilakukan oleh Nabi SAW menciptakan hubungan perdamaian antara dua suku yang sebelumnya bermusuhan.
Para Ummul Mukminin itu adalah Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zam’ah, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq, Zainab binti Huzaimah bin Abdullah bin Umar, Juwairiyah binti Haris, Sofiyah binti Hay bin Akhtab, Hindun binti Abi Umaiyah bin Mugirah bin Abdullah bin Amr bin Mahzum, Ramlah binti Abi Sufyan, Hafsah binti Umar bin Khattab, Zain-ab binti Jahsy bin Ri’ah bin Ja’mur bin Sabrah bin Murrah, dan Maimunah binti Haris. Beberapa dari istri Nabi SAW ini juga periwayat hadis, yaitu Aisyah, Hafsah, dan Zainab binti Jahsy.
Karya tentang Nabi SAW. Para penulis biografi Nabi Muhammad SAW sangat dimudahkan karena perkataan, riwayat tentang tindakannya telah dilestarikan dengan cermat dan wahyu telah dikumpulkan dalam Al-Qur’an.
Di antara karya tentang Nabi Muhammad SAW yang paling awal adalah syair Hassan bin Sabit, seorang sahabat yang bergabung dengan Nabi SAW di Madinah dan ikut melakukan kejadian penting dalam kehidupan masyarakat muslim, berisi pujian terhadap Nabi Muhammad SAW dan celaan terhadap musuhnya.
Ada juga karya tulis yang menggambarkan tentang perang (magazi) yang dilakukan Nabi SAW dan penyebaran Islam di Semenanjung Arabia. Ibnu Ishaq (w. 768) telah menyusun surah (biografi) Nabi Muhammad SAW yang disunting dan disempurnakan oleh Ibnu Hisyam (w. 833) dan menjadi dasar bagi seluruh biografi Nabi Muhammad SAW yang ditulis kemudian, baik dari kalangan Islam maupun non-Islam.
Bagi umat Islam, mengetahui biografi Nabi SAW bukan hanya sekadar untuk memenuhi rasa keingintahuan, tetapi mengandung makna keagamaan, yaitu keharusan me neladani Nabi SAW. Karya seperti itu ada yang termasuk kategori dala’il an-nubuwwah (dalil kenabian) dan ada pula syama’il, yaitu karangan kesusastraan yang menjelaskan sifat mulia dan ketampanan lahiriah Nabi SAW.
Buku yang paling awal dalam bentuk dala’il dan syama’il ini antara lain adalah: (1) Syama’il al-Mustafa, karya Abu Isa at-Tirmizi (w. 892); (2) Kitab asy-Syifa’ fi Ta‘rif huquq al-Mustafa, karya Qadi Iyad; dan (3) al-Mawahib al-Ladiniyyah, karya al-Qastalani (w. 1517).
Kepribadian, Akhlak, dan Sifat Nabi SAW. Dalam kitab tersebut dilukiskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang paling baik budi pekertinya dan paling tampan rupanya.
Dalam kitab Syama’il an-Nubuwwah dilukiskan bentuk fisik Nabi SAW, mulai dari ujung rambut, wajah, mata, bulu mata dan alis, hidung dan kumis, dagu dan janggut, sampai ukuran badannya. Di samping itu juga disebutkan tentang cara Nabi Muhammad SAW memelihara dan merawat tubuhnya.
Dalam kitab tersebut dijelaskan keteladanan Nabi Muham mad SAW. Kebaikan rohani, kemuliaan jiwa dan kesucian hati, kesederhanaan tingkah laku, kebersihan dan kehalusan rasa, serta ketaatan yang sungguh dalam memenuhi kewajibannya membuatnya digelari al-Amin.
Sifatnya lemah lembut tetapi kesatria, ramah tetapi serius, dan otaknya cerdas. Ia pandai membaca rahasia alam meskipun buta aksara. Alam pikirannya luas. Ia mempunyai bakat untuk mempengaruhi, baik orang yang pandai maupun yang tidak berpengetahuan. Senyumnya paling memikat.
Kejeniusannya membuat semua orang yang berhubungan dengannya dipenuhi oleh perasaan hormat dan cinta. Ia sangat sabar terhadap bawahannya dan tidak akan membiarkan orang dicaci-maki apapun kesalahan-nya.
Orang sakit dijenguknya dan undangan orang, budak sekalipun, dipenuhinya. Ia menjahit sendiri pakaiannya yang sobek. Ia juga memerah sendiri susu kambingnya. Demikianlah cermin kesederhanaannya. Tangannya sangat senang memberi, hatinya amat berani, dan lidahnya sangat bisa dipercaya.
Pada malam hari, ia tidur hanya sebentar; sebagian besar waktunya dipergunakan untuk beribadah. Ia menyayangi orang miskin, mencintai anak-anak, dan menghormati wanita. Ia bagaikan seorang ayah bagi sahabatnya. Bahkan ia juga mencintai binatang. Singkatnya, budi pekertinya begitu sempurna, lebih sempurna dari apa yang dapat dituangkan dalam tulisan.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu….”
Aisyah, istri Nabi SAW, pernah ditanya tentang akhlak suaminya. Aisyah hanya berkata: “Akhlaknya adalah Al-Qur’an.” Semua penggambaran seperti itu sejalan dengan keyakinan umat Islam bahwa Nabi SAW itu maksum, yakni terlindung atau bebas dari keburukan moral. Integritas moralnya bukan hanya sempurna tetapi juga tak bercela sama sekali.
Dalam Islam diajarkan bahwa Tuhan melindungi nabinya dari dosa dan kesalahan, sebab jika tidak, firman Tuhan akan tercemar oleh noda yang berasal dari pembawanya.
Buku dasar keimanan tentang ajaran Islam yang menjadi pegangan sejak akhir Abad Pertengahan menyebutkan bahwa Nabi SAW mempunyai empat macam sifat, yaitu œidq (bisa dipercaya), amanah (patut menerima kepercayaan), tabligh (bisa menyampaikan firman Allah SWT), dan fatanah (bijaksana dan cerdas). Sebaliknya Nabi SAW mustahil mempunyai sifat berikut: kizb (berdusta), khiyanah (berkhianat), katman (menyembunyikan pesan Ilahi), dan baladah (bodoh).
Mengetahui biografi Nabi SAW menjadi amat penting bagi umat Islam, bukan saja karena adanya kebutuhan untuk meneladaninya tetapi juga karena sunahnya merupakan sumber kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Pengetahuan tentang sejarah hidup Nabi SAW menjadi syarat untuk memahami Al-Qur’an secara kontekstual.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Maulana Muhammad. hayah Muhammad wa Risalatihi, terj. Munir al-Ba’albaki. Beirut: Darul ‘Ilm lil Malayin, 1967.
al-’Aqqad, ‘Abbas Mahmud. ‘Abariyah Muhammad. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1969.
al-Buti, Muhammad Sa’id Ramadan. Fiqhus-Sirah. Beirut: Darul Fikr, t.t.
Dinet, Étienne dan Sliman bin Ibrahim. Muhammad Rasul Allah, terj. Abdul Halim Mahmud dan Muhammad Abdul Halim Mahmud. Cairo: Darul Ma’arif, 1966.\
Duwaidar, Amin. Suwar min hayah ar-Rasul. Cairo: Darul Ma’arif, 1968.
al-Ghazali, Muhammad. Fiqh as-Sirah. t.tp., 1408 H/1988 M.
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah. Jakarta-Bogor: Litera AntarNusa, 1995.
Husain, Muhammad al-Khadari. Muhammad Rasul Allah wa Khatam an-Nabiyyun. Damascus: t.p., 1971.
Ibnu Hisyam, Abdul Malik bin Hisyam al-Himyari. as-Sirah an-Nabawiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halami, 1355 H/1936 M.
al-Jaza’iri, Abu Bakr Jaber. Hadza al-Habib. Madinah: t.p., 1408 H/1987 M.
Khan, Majid Ali. Muhammad the Final Messenger. Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1980.
Lings, Martin (Abu Bakr Sirajuddin). Muhammad, His Life Based on the Earliest Sourses. London: George Allen & Unwin, 1986.
Wahhab, Muhammad bin Abdul. Mukhtasar Sirah ar-Rasul. Beirut: Darul Arabiyah, t.t.
Washington, Irving. hayah Muhammad, terj. Ali Husni al-Kharbuzi. Cairo: Darul Ma’arif, 1966.
Watt, W. Montgomery. Muhammad at Mecca. Oxford: Oxford University Press, 1960.
BADRI YATIM