Hasyim, Bani

Bani Hasyim adalah sebuah kabilah suku Quraisy yang mendominasi masyarakat­ Arab ketika Muhammad SAW lahir (570) dan menjadi nabi. Nabi SAW sendiri berasal dari kabilah ini. Bani Hasyim adalah keturunan­ Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay (l. 464), moyang Nabi SAW. Qusay, kakek Hasyim, lahir pada 400.

Qusay berusaha memberi dasar pemerintahannya atas sistem organisasi­. Untuk menjalankan­ pemerintahannya, ia mendirikan Dar an-Nadwah (balai musyawarah), Rifadah (pajak tahunan untuk kebutuhan makanan orang miskin yang datang berziarah ke Ka’bah), Siqayah (pengurusan­ sumber air), dan hijabah (pemegang­ kunci Ka’bah). Semua urusan itu terpusat pada diri Qusay. Ia menghimpun semua fungsi agama yang utama, jabatan sipil, dan fungsi politik­ di tangannya.

Qusay meninggal pada usia 80 tahun. Anaknya yang tertua adalah Abdud Dar, tetapi adiknya, Abdul Manaf bin Qusay, lebih dahulu tampil dan mendapat tempat di hadapan umum. Setelah berusia lanjut, ia menyerahkan kekuasaan atas Mekah dan Ka’bah kepada Abdud Dar. Setelah Abdud Dar meninggal dunia, kekuasaan turun kepa­da putranya.

Akan tetapi, putra Abdul Manaf se­benarnya dipandang lebih mampu dan terpandang. Oleh karena itu, putra Abdul Manaf, yaitu Hasyim, al-Muthalib, dan Naufal se­pakat akan mengambil kepemimpinan yang ada di tangan­ sepupu mereka. Akhirnya terjadilah perjanjian antara kedua keluarga itu. Sebagai hasilnya, keluarga Abdul Manaf dipercaya mengurus masalah air dan makanan, selebihnya tetap dalam kekuasaan keluarga Abdud Dar.

Masalah air dan makanan itu berada di tangan Hasyim, tokoh yang sangat berpengaruh dan kaya di kalangan orang Quraisy. Hasyim kemudian mengadakan­ banyak pembaruan atas kota Mekah. Dialah yang membuat ketentuan­ perjalanan musim, musim dingin ke Yaman dan musim panas ke Suriah. Di tangannya, keadaan­ Mekah mempunyai kedudukan penting di Semenanjung Arabia.

Di tengah kejayaan Hasyim itu, Umayah anak Abdul Syams, sepupunya, berpendapat bahwa ia juga berhak atas itu. Akan tetapi ia tak berdaya dan kedu­dukan itu tetap berada di tangan Hasyim. Sementara itu, Umayah telah meninggalkan Mekah dan selama 10 tahun tinggal di Suriah. Persaingan ini merupakan­ awal dari persaingan Bani Hasyim dan Bani Umayah.

Hasyim meninggal dunia dalam suatu perjalan­an­ musim panas dan meninggalkan anak bernama Syaibah yang masih sangat muda yang tinggal di Yatsrib bersama ibunya. Kedudukan Hasyim di­gantikan adiknya, al-Muthalib. Sete­lah beberapa­ lama, al-Muthalib kemudian menjemput anak saudaranya, Syaibah, ke Yatsrib.

Orang Quraisy­ menduga bahwa yang dibawanya­ dari Yatsrib itu adalah budaknya­. Oleh karena itu mereka lalu memanggilnya Abdul Muthalib (Budak Muthalib). Sebutan itu terus melekat­ pada dirinya. Setelah al-Muthalib, Abdul Muthalib-lah yang mengurus persoalan air dan makanan. Abdul Muthalib kemudian­ berusaha menggali air zamzam yang sejak lama tertimbun. Setelah itu, kota Mekah dan Ka’bah menjadi lebih maju lagi. Ketika itulah pasukan gajah menyerbu kota Mekah dengan­ tujuan meng­hancurkan Ka’bah.

Pasukan ini dipimpin­ Abrahah, gubernur­ Kerajaan Habsyi (Ethiopia) di Yaman. Pada tahun yang sama, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib lahir. Setelah Abdul Muthalib wafat, tugasnya diambil alih putranya, Abi Thalib, paman Nabi Muhammad­ SAW.

Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib terus melindungi Nabi Muhammad SAW dari kemungkinan siksaan pendu­duk­ Mekah. Akhirnya,­ penduduk Mekah berkesimpulan bahwa kekuatan Nabi SAW hanya dapat dilumpuhkan de­ngan melumpuhkan Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib secara keseluruhan.

Untuk itu mereka sepakat membuat ketentuan tertulis dengan mengadakan­ pemboikotan total terhadap Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib untuk tidak saling kawin dan saling berjual beli. Ketentuan itu kemudian­ digantung di Ka’bah sebagai suatu pengukuhan dan registrasi­ bagi Ka’bah.

Dengan pemboikotan itu, se­luruh anggota Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib di­biarkan mati ke­laparan. Pemboikotan penduduk Mekah itu baru berhenti karena terdapat bebe­rapa pemimpin Quraisy yang menya­dari bahwa tindakan pemboikotan itu merupakan­ suatu tindakan yang keterlaluan.

Mereka kemu­dian­ merobek-robek perjanjian yang mereka buat sendiri. Setelah­ itu Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib bangkit­ kembali. Tetapi setelah pemimpin­ mereka, Abi Thalib, meninggal dunia, te­kanan kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim yang melindungi Nabi SAW bertambah keras.

Sebagai penghormatan atas perjuangan me­reka, Nabi Muhammad SAW kemudian menetapkan­ bahwa anggota keluarga kabilah Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib dan keturunan me­reka tidak di­perkenankan menerima zakat dari kaum muslimin.

Sisa anggota keluarga Bani Hasyim, yang belum­ masuk Islam ketika Nabi SAW berhijrah ke Madinah, baru masuk Islam ketika Nabi SAW dan pasukan Islam sudah keluar menuju Mekah untuk menundukkan penduduk kota itu (fath al-Makkah), antara lain Abdullah bin Abi Umayah bin Mugira, anak bibi Nabi SAW.

Mereka kemu­dian mengga­bungkan diri dengan pasukan kaum muslimin dalam me­nundukkan penduduk Mekah. Oleh karena itu, anggota Bani Hasyim tidak termasuk golongan at-thulaqa’, orang dari penduduk Mekah yang dibebaskan Nabi SAW setelah terjadinya penaklukan kota Mekah. Sementara­ itu, kebanyakan­ anggota Bani Umayah, musuh dan pesaing Bani Hasyim, sebelum dan sesudah Islam termasuk golongan­ at-thulaqa’ tersebut.

Ketika Nabi Muhammad SAW wafat (632), anggota keluarga Bani Hasyim-lah yang paling banyak­ terlibat dalam pengurusan je­nazah­. Yang memandikan Nabi SAW adalah Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib dan kedua putranya, Fadl dan Qutam, dan Usamah bin Zaid (w. Âħ 54 H/674 M). Kesibukan mereka itu sampai-sampai membuat mereka tidak terlibat dalam penentuan khalifah­.

Perbenturan fisik antara Bani Hasyim dan Bani Umayah yang sudah bersaing sejak lama terjadi dalam sejarah Islam ketika Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah keempat, setelah sebelumnya khalifah ketiga, Usman bin Affan, dari Bani Umayah terbunuh akibat suatu ke­rusuhan. Faktor yang menimbulkan kerusuhan itu antara lain ada­lah kekecewaan rakyat terhadap kepemimpinan­ Usman yang mengangkat anggota kerabatnya dalam kedudukan tinggi dalam pe­merintahan.

Ali yang berasal dari Bani Hasyim memerintah hanya selama 6 tahun. Khalifah Ali memecat para gubernur yang diangkat Usman karena ia yakin bahwa terjadinya pemberontakan rakyat sebelumnya­ dise­babkan­ kelemahan politik kebijaksanaan mereka­. Ia juga menarik kembali tanah yang oleh pendahulunya dihadiahkan kepada pen­dukung yang disayangi dan menyerahkan­ hasil pendapatannya­ kepada negara.

Kebijakan Ali itu menimbulkan perlawanan dari bekas gubernur di Damascus, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan­ (w. 680) dari Bani Umayah. Mu‘awiyah di­dukung banyak­ mantan pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan karena­ dipecat Ali. Pada 17 Ramadan 40 (24 Januari 661), Ali dibunuh­ salah seorang anggota Khawarij.

Kedudukan­ Ali sebagai kha­lifah kemudian dijabat anaknya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib (w. 669), untuk beberapa bulan. Setelah itu, Hasan mengadakan perjanjian dengan­ Mu‘awiyah, Hasan bersedia me­nyerahkan kekuasa­annya kepada Mu‘awiyah dengan­ syarat bahwa setelah Mu‘awiyah, persoalan khalifah diserahkan kepada umat Islam untuk memilihnya. Mu‘awiyah mene­rima perjanjian itu dan setelah itu umat Islam kembali bersatu di bawah seorang khalifah, yaitu Mu‘awiyah dari Bani Umayah.

Akan tetapi, Mu‘awiyah ternyata memandang rendah isi perjanjian tersebut. Di ujung masa pemerintahannya,­ Mu‘awiyah mengeluarkan deklarasi­ pengangkatan putra mahkota yang akan meng­gantikannya­ sebagai khalifah setelah ia wafat­. Deklarasi itu membangkitkan kembali munculnya oposisi.

Setelah Yazid, putra mahkota dan anak Mu‘awiyah, naik takhta, dua tokoh Bani Hasyim waktu itu, Husein bin Ali bin Abi Thalib, anak Ali, dan Abdullah anak Abbas, menolak­ meng­akuinya. Meskipun Yazid melakukan pemaksaan, Husein tetap menolak. Dengan demikian,­ para pengikut Ali bin Abi Thalib (Syiah) mengada­kan konsolidasi dan memulai perlawanan­ terhadap Bani Umayah pada tahun 680.

Husein pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan Syiah yang ada di Irak. Umat Islam di Irak tidak mengakui­ Yazid dan mengangkat­ Husein sebagai khalifah­. Dalam pertempuran tak seimbang di Karbala, sebuah daerah di dekat Kufah,­ tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh.

Di penghujung masa kekuasaan Bani Umayah, setelah gerakan yang terpisah-pisah gagal, seluruh anggota Bani Hasyim mengadakan konsolidasi membentuk gerakan Hasyimiyah. Gerakan­ Hasyimiyah inilah yang berhasil meruntuhkan ke­ kuasaan Bani Umayah. Oleh karena kepemimpinan­ ini berada di tangan golongan Abbasiyah (keturunan Abbas, paman Nabi SAW), dinasti­ yang berdiri setelah itu dinamai dengan­ Dinasti­ Abbasiyah.

Salah satu pusat ge­rakan Ha­syimiyah tersebut dinamai al-Hasyimiyah­ yang terletak di Irak dekat al-Anbar di pinggir Sungai Eufrat. Kota al-Hasyimiyah menjadi ibukota Keraja­an­ Abbasiyah sebelum Abu Ja‘far al-Mansur mendirikan dan memindahkan ibukota ke Baghdad. Khilafah Abbasiyah di Baghdad berlangsung sampai 656 H/1258 M.

Setelah­ daulah ini di­kalahkan Hulagu Khan (1217–1265; penguasa Mongol), sebagian keturunan Abbasiyah ada yang melarikan­ diri ke Mesir serta disambut Dinasti Mamluk. Khilafah Abbasiyah masih sempat bertahan sampai 1517, ketika Kerajaan­ Usmani (Ottoman) dari Turki menyerang Mesir.

Tidak lama setelah berdirinya Dinasti Abbasiyah,­ para khalifahnya ternyata merasa khawatir dengan adanya cabang Hasyimiyah lain yang lebih berpengaruh, yaitu Hasyimiyah dari keturunan­ Ali bin Abi Thalib. Oleh ka­rena itu, sebagai­ mana Daulah Umayah sebelumnya, Bani Abbas juga melakukan penindasan terhadap cabang ini. Hal inilah yang mendorong lahir dan berkembangnya ali­ran Syiah dalam Islam, karena di mana-mana orang Syiah melakukan­ konsolidasi.

Aliran Syiah yang mendukung kepemimpinan keturunan Ali bin Abi Thalib dalam perkembangannya­ terpecah-belah menjadi beberapa golongan,­ yang terbesar di antaranya adalah Zaidiyah, Ismailiyah, dan Itsna ‘Asyariyah. Masing-masing aliran­ ini berhasil mendirikan beberapa kerajaan besar dan kecil dalam perjalanan sejarah Islam.

Yang pertama kali di antara kerajaan yang didirikan­ keturunan Ali bin Abi Thalib adalah Kerajaan Idrisiyah di Maroko (172 H/789 M–314 H/926 M). Pendiri kerajaan ini adalah Idris I bin Abdullah (w. 793). Aliran Zaidiyah berhasil mendirikan keraja­an­ di Tabaristan,­ Iran, pada 864. Pendirinya­ adalah al-Hasan bin Zaid (w. 270 H/884 M).

Pertahanan­ mereka yang terlama adalah di Yaman, tempat mereka mendirikan pusat ge­rakan dengan­ nama az-Zaidiyah. Dinasti besar yang didiri­kan pengikut­ aliran ini adalah Di­nasti Buwaihi yang pernah menguasai Baghdad dan mengontrol khalifah Abbasiyah. Aliran Ismailiyah pernah mendirikan kerajaan­ besar yang juga menggunakan istilah khalifah, yaitu Dinasti Fatimiyah­ yang berpusat di Mesir.

Adapun ke­rajaan yang didirikan aliran Itsna ‘Asyariyah adalah Kerajaan Safawiyah (Safawi) di Iran. Kerajaan­ ini berdiri pada 1501 dan menjadi satu dari tiga kerajaan besar pada abad perte­ngahan Islam.

Kerajaan ini didirikan Ismai­l I, keturunan Safiuddin (l. 650 H/1252 M) yang secara langsung merupakan keturunan Musa al-Kazim (Âħ 128 H/745 M–183 H/799 M), imam ketujuh­ Syiah Itsna ‘Asyariyah. Negara Islam Iran sekarang ini memiliki­ hubungan­ historis dengan kerajaan ini.

Tidak semua keturunan Ali bin Abi Thalib menganut­ aliran Syiah, bahkan justru lebih banyak­ yang tidak mengikuti­ ajaran aliran itu. Mereka­ biasa disebut­ dengan Alawiyah. Keturunan Ali yang tidak mengikuti aliran Syiah melahirkan banyak ulama besar yang disegani masyarakat.

Mereka­ juga pernah mendirikan kerajaan­ yang merdeka. Golongan inilah yang mendirikan Kerajaan Arab Hasyi­miyah yang pada abad ke-19 meliputi seluruh daerah Bulan Sabit Subur, yang kini dikenal dengan wilayah Yordania, Suriah, dan Irak.

Dari Kerajaan Hasyi­miyah­ inilah muncul Syarif Husein yang menuntut kekhalifahan setelah kekha­lifahan­ di Turki di­hapuskan oleh Mustafa Kemal pada 1924. Akan tetapi para pemimpin negeri muslim ketika itu tidak begitu menyenangi­ Syarif Husein karena hubungannya­ yang terlalu dekat dengan Inggris.

Setelah Perang Dunia I dan II, wilayah kekuasaan Kerajaan Arab al-Hasyimiyah­ itu terpecah-belah karena terjadinya pe­rebutan­ kekuasaan. Pada 1946 Raja Abdullah bin Husein (w. 1951) mendirikan Kerajaan Yordania al-Hasyimiyah (al-Mamlakah al-Urdunniyyah al-Hasyimiyyah)­. Inilah yang tersisa dari Kerajaan Arab al-Hasyimiyah tersebut di atas.

Keturunan Ali bin Thalib di setiap negeri muslim mendapat penghormatan khusus, terutama karena mereka yang melalui jalur Fatimah dipandang sebagai­ keturunan Nabi SAW. Sebagai peng­hormat­­an kepada mereka, biasa­nya mereka dipanggil dengan gelar Sayid atau Syarif di de­pan nama me­reka.

Di Indonesia sendiri banyak sayid yang berjasa menyebarkan dan mengajar­kan­ agama Islam kepada penduduk. Kerajaan Islam Pontianak pun didirikan keturunan Ali tersebut. Yang jelas, Organisasi Jam’iat Khair, organisasi masyarakat Arab yang banyak bergerak­ di bidang pendidikan dan kemasyarakatan,­ yang berdiri pada 1903 di Jakarta, di­ pelopori­ dan didominasi para sayid.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Syed Ameer. The Spirit of Islam atau Api Islam, terj. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Mortimer, Edward. Islam dan Kekuasaan. Bandung: Mizan, 1984.
Syalabi, Ahmad. Mausu‘ah at-Tarikh al-Islami wa al-hadarah al-Islamiyyah. Cairo: an-Nahdah al-Misriyah, 1969.
Watt, W. Montgemory. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Badri Yatim