Kerajaan Islam pertama di Jawa adalah Demak, yang didirikan pada 1500 oleh Raden Fatah (1500–1518), bangsawan Majapahit yang menjadi adipati di Demak. Atas bantuan Jepara, Tuban, dan Gresik, Raden Fatah memutuskan ikatan dengan Majapahit yang mengalami kemunduran, lalu mendirikan Kerajaan Demak.
Tomé Pires, seorang pengelana Portugis pada masa itu, menggambarkan bahwa peralihan kekuasaan politik ke tangan orang Islam telah terjadi sejak akhir abad ke-15, baik karena para bangsawan Jawa memeluk agama Islam secara sukarela maupun karena pengaruh orang asing dari berbagai bangsa Islam, yang membuat pemukiman di bandar pantai utara Pulau Jawa, misalnya di Tuban, Demak, dan Jepara.
Babad pada masa sebelum munculnya raja Mataram pertama dipenuhi dengan legenda yang menghubungkan munculnya Kerajaan Demak dengan runtuhnya Majapahit pra-Islam dan dengan Raden Fatah sebagai pahlawan besarnya. Ia memindahkan perangkat upacara kerajaan dan pusaka Majapahit ke Demak sebagai lambang tetap berlangsungnya kesatuan kerajaan besar yang tua tersebut, tetapi dalam bentuk baru, yaitu Kesultanan Demak.
Menurut catatan Tomé Pires maupun buku sejarah Jawa Barat, Kesultanan Demak secara berturut-turut dikuasai raja, yakni: Raden Fatah sebagai raja pertama; Pati Unus atau Pati Yunus (dalam versi lain disebut Pate Rodin, Sr., Cu,Cu, Pangeran Palembang Anom, Prabu Anom, Arya Sumangsang, dan Pangeran Sabrang Lor), putra Raden Fatah sebagai raja kedua, menggantikan ayahnya yang wafat tahun 1518;
Sultan Trenggono (dalam versi lain disebut Ki Mas Palembang, Pate Rodin, Jr., dan Molana Trenggono), saudara Pati Unus, sebagai raja ketiga (1524–1546), dan Sunan Prawoto, raja keempat (1546–1549), menggantikan posisi kakaknya, Sultan Trenggono, yang tewas dalam penyerbuan ke Panarukan.
Di antara raja Demak tersebut, Sultan Trenggono dikatakan mengantar kesultanan tersebut ke masa kejayaannya. Pada waktu itu daerah kekuasaan Demak meliputi seluruh Jawa serta bagian-bagian besar pulau-pulau lainnya. Pedagang Islam di Banten dengan bantuan Demak pada 1527 berhasil meruntuhkan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat.
Dengan jatuhnya Pajajaran, kesultanan Islam tersebut dapat melakukan kontrol atas Selat Sunda. Lampung sebagai sumber lada di seberang selat tersebut dikuasai dan penduduknya diislamkan.
Menurut sebuah sumber, Sunan Bonang menggerakkan hati raja ketiga tersebut untuk berkunjung kepada Sunan Gunungjati, seorang wali di Gunungjati. Sunan itulah yang menganugerahi Trenggono gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin.
Adapun gelar emperador (maharaja) yang diberikan pada 1546 oleh Mendez Pinto, seorang pengarang Portugis, adalah cerminan betapa tinggi nilai gelar Islam tersebut.
Ada sumber yang menyebutkan bahwa gelar Islam seperti itu sebelumnya telah diberikan kepada Raden Fatah, yaitu ketika ia berhasil mengalahkan Majapahit yang diperintah Brawijaya, ayahnya sendiri. Sebagai maharaja seluruh Jawa, Raden Fatah memperoleh gelar Senapati Jimbun Ngabdur rahman Panembahan Palembang Sayyidin Panata Gama.
Ada sejarawan yang menyimpulkan bahwa tahun 1535 Majapahit sudah jatuh, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa kejatuhan itu terjadi pada tahun Jawa 1400 (1478), bahkan lebih dini dari itu. Yang pasti, pada tahun-tahun tersebut bangkit sebuah kerajaan Islam Demak, menggeser kejayaan Majapahit dalam sejarah.
Menurut sebuah laporan Portugis, di antara raja yang telah memeluk Islam, raja Kesultanan Demaklah yang paling gigih dan terus-menerus memerangi orang Portugis, yang dipandang sebagai orang kafir.
Demak sebagai ibukota kerajaan Islam menjadikan dirinya sebagai tonggak perjuangan untuk menyebarkan agama Islam pada dasawarsa pertama abad ke-16. Untuk itu, Kesultanan Demak meluaskan pengaruhnya bukan hanya ke wilayah barat Pulau Jawa, melainkan juga ke wilayah timur pulau tersebut, bahkan juga ke daerah luar Jawa.
Pada 1527 tentara Demak menguasai Tuban, setahun kemudian menduduki Wirosari (Purwodadi, Jateng), tahun berikutnya menyerang Gagelang (Madiun sekarang); selanjutnya Mendangkungan (sekarang daerah Blora, 1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), Lamongan (1542), wilayah Gunung Penanggungan (1543), Mamenang (nama kuno Kerajaan Kediri, 1544), dan Sengguruh (1545).
Pengaruh kesultanan ini sampai ke Kesultanan Banjar di Kalimantan. Sebuah sumber menyebutkan bahwa calon pengganti raja Banjar pernah meminta kepada sultan Demak untuk mengirimkan tentara guna menengahi masalah pergantian raja Banjar. Calon pewaris mahkota yang didukung rakyat Jawa pun masuk Islam dan oleh seorang ulama bangsa Arab pewaris itu diberi nama Islam.
Tersebut pula bahwa selama masa Kesultanan Demak, raja Banjar setiap tahun mengirim upeti kepada sultan Demak. Tradisi ini berhenti ketika kekuasaan beralih kepada raja Pajang di Jawa Tengah.
Pengaruh Kesultanan Demak di Banjar membuka peluang untuk pengembangan Islam di kawasan tersebut. Para sultan setempat menjadi pelopor utama berkembangnya Islam di Kalimantan. Pada masa selanjutnya Kerajaan Kotawaringin menjadi Islam (1620), demikian pula Kesultanan Kutai (1700); sejak itu sampai Indonesia merdeka Kesultanan Kutai diperintah tujuh raja Islam bergelar sultan.
Masjid Agung Demak sebagai lambang kekuasaan Islam adalah sisi lain dari Kesultanan Demak, yang kaya dengan legenda. Para wali di Jawa konon berpusat di masjid itu, yang didirikan Wali Songo dan dianggap keramat. Masjid itulah tempat mereka bertukar pikiran tentang soal-soal keag-amaan, khususnya tentang mistik. Sunan Kalijaga disebut sebagai yang berjasa membetulkan dan menetapkan arah kiblat masjid tersebut.
Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa. Menurut sebuah versi, masjid itu didirikan pada 1388, tetapi menurut versi lainnya didirikan pada tahun-tahun sesudah tahun tersebut. Masjid tersebut telah mempengaruhi alam pikiran orang Jawa selama berabad-abad, menjadi pusat kegiatan ibadah dan keagamaan, pusat kerajaan Islam pertama di Jawa.
Menurut riwayat, baju ontokusumo, yang sampai sekarang masih tersimpan di makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak, adalah anugerah Nabi Muhammad SAW yang dikirim secara gaib ke atas mimbar masjid tersebut sesudah para wali melakukan salat subuh sebagai tanda syukur atas selesainya masjid tersebut.
Berdasarkan permintaan Sunan Kalijaga sebelum wafatnya, upacara pencucian baju tersebut dilakukan setiap bulan Besar (tahun Jawa) atau 10 Zulhijah. Setiap tahun pada bulan tersebut masyarakat dari berbagai penjuru berdatangan untuk menyaksikan upacara itu, yang kini dikenal dengan Grebeg Besar.
Penting dicatat ucapan Susuhunan Paku Buwono I di Kartasura pada 1708, bahwa Amangkurat III, pendahulunya yang dibuang kompeni ke Sri Lanka, membawa semua pusaka kerajaan; tetapi Masjid Demak dan makam di Kadilangu merupakan “pusaka mutlak” dan tidak boleh hilang.
Awal keruntuhan Kesultanan Demak dimulai pada masa pemerintahan Sunan Prawoto. Pada masa itu, penguasa-penguasa yang semula tunduk kepada Demak, (seperti adipati Cirebon, Jepara, dan Surabaya) memberontak dan membebaskan diri. Akhirnya kesultanan itu benar-benar runtuh setelah Sunan Prawoto tewas pada 1549.
Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggono, mewarisi takhta Demak. Ia memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke Pajang. Berdirilah Kesultanan Pajang, dengan Joko Tingkir sebagai raja pertama. Ia bergelar Sultan Adiwijaya.
Daftar Pustaka
de Graff, H.J. dan Th.G.Th. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa.Jakarta: Grafiti Pers, t.t.
Masyhuri. “Kerajaan Demak,” Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: Cipta Adipustaka, 1990.
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Nasional Trikarya, 1959.
Sulaiman, Moh. “Mengapa Demak Rayakan Grebeg Besar?” Risalah Islamiah, No.2, Tahun V, Februari 1973.
Watt, W. Montgomery. Kerajaan Islam, terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta:Tiara Wacana, 1990.
Moch. Qasim Mathar