Secara kebahasaan, basirah berarti akal, kecerdikan, saksi, argumentasi, penjelasan, dan petunjuk. Dalam istilah tasawuf bashirah berarti “mata hati” (ru’yah al-qalb), yakni daya kalbu yang mampu melihat hakikat sesuatu karena mendapat sinar dari nur kudus (cahaya ketuhanan). Daya yang demikian disebut pula “daya kesucian” (al-quwwah al-qudsiyyah).
Al-Jurjani (1340–1413), seorang teolog dan pakar leksikologi Arab, mengidentikkan basirah dengan al-‘aqilah an-nazariyyah (akal teoretis) atau rasio yang terdapat dalam pandangan para filsuf ketika rasio tersebut telah mendapat sinar ketuhanan. Kalau dibandingkan dengan bashar (mata kepala, mata lahir), basirah (mata hati) dapat melihat sesuatu yang bersifat spiritual dan abstrak, sementara mata kepala hanya dapat melihat sesuatu yang bersifat material dan konkret. Mata hati merupakan sumber ilmu esoterik, sementara mata kepala merupakan sumber ilmu eksoterik.
Seorang peneliti tasawuf, Nicholson, mengatakan kaum sufi memandang Tuhan bagaikan sinar yang menerangi surga dan dunia, yang tidak terlihat oleh mata kepala manusia. Ia hanya dapat terlihat oleh “mata hati” (basirah). Mata hati ialah hati yang diterangi sinar kepastian, yang tersembunyi dan tidak tampak. Ketika Ali bin Abi Thalib ditanya, “Apakah engkau melihat Tuhan?” Ia menjawab, “Bagaimana kita dapat mengabdi terhadap Yang Maha Esa kalau kita tidak dapat melihat-Nya?” Ia bukan melihat-Nya dengan mata kepala, tetapi dengan basirah.
Menurut pandangan kaum sufi, kenyalangan dan kebutaan basirah terkait erat dengan masalah dosa dan perasaan cinta manusia kepada Tuhan. Orang yang senantiasa berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan akan dihapuskan noda dosa dari hatinya, dan dengan demikian mata hatinya menjadi lebih nyalang. Keadaan demikian berbeda dengan orang yang senantiasa bergelimang dengan dosa dan maksiat; hatinya telah tertutup noda dosa dan maksiat yang dilakukannya itu.
Al-Ghazali (sufi, teolog, dan filsuf terkenal), mengatakan bahwa mata hati manusia laksana cermin; jika dibersihkan ia akan mengkilat dan dapat menangkap gambar yang terlintas di hadapannya, tetapi jika dibiarkan kotor ia tidak akan dapat menangkap gambar apa pun yang ada di depannya.
Menurut al-Ghazali, basirah adalah alat yang paling dapat diandalkan untuk menangkap kebenaran sejati, karena sinar yang meneranginya berasal dari Kebenaran Mutlak itu sendiri. Benar bahwa akal manusia dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya, tetapi kemampuan akal amat terbatas dan penuh spekulasi, sehingga tidak mungkin mencapai kebenaran yang sebenarnya.
Pembuktian rasional yang bersumber dari akal tidak lebih hanya berupa gerak pikiran dari suatu pengertian menuju pengertian lain, atau dari premis-premis menuju kesimpulan. Pengetahuan yang demikian hanya mampu memberikan pengertian sesuatu, tetapi tidak dapat melihat hakikatnya secara meyakinkan. Dengan basirah itulah manusia dapat melihat kebenaran sejati.
Al-Ghazali mengatakan, “Bukanlah kebenaran itu karena rangkaian dalil dan susunan kalimat, tetapi karena nur yang ditempatkan Allah di dalam hati. Nur itu merupakan anak kunci kebanyakan makrifat. Barangsiapa mengira bahwa kasyf (penglihatan batin) tergantung pada rangkaian dalil-dalil semata, maka ia telah mempersempit rahmat Allah yang amat luas.”
Ibnu Arabi (w. 638 H/1240 M), seorang sufi pembawa paham wahdatul wujud (keesaan wujud), memandang bahwa mata hati merupakan instrumen untuk menampung pengetahuan esoterik, sebagaimana mata lahir menampung segala objek fisik.
Menurutnya, kekuatan mata hati akan bertambah kemampuannya apabila ia tidak banyak dipengaruhi oleh jiwa hewani yang ada di dalam tubuh manusia dan tidak banyak terkait dengan hal-hal yang bersifat material. Pada tingkat tertinggi, ketika mata hati sudah tidak banyak menerima pengaruh dunia material, ia akan sanggup memandang langsung Realitas Sejati.
Ibnu Arabi membedakan pengetahuan yang bersumber dari rasio dengan yang bersumber dari hasil pengamatan basirah sebagai berikut.
(1) Kalau pengetahuan rasional bersifat spekulatif karena merupakan hasil upaya pikiran yang penuh keterbatasan dan melalui dalil-dalil, pengetahuan yang bersumber dari mata hati bersifat pasti dan meyakinkan, bukan bersifat spekulatif, karena ia merupakan visi langsung terhadap hakikat sesuatu, bukan melalui dalil-dalil.
(2) Pengetahuan rasional mudah diungkapkan karena merupakan hasil upaya rasio yang senantiasa berpadanan dengan bahasa, sementara pengetahuan yang bersumber dari basirah kadang-kadang sukar untuk diungkapkan dengan kata-kata yang mudah dipahami masyarakat awam, karena ia merupakan hasil pengalaman manusia dalam perjalanan rohaninya menuju Yang Mutlak. Kesulitan pengungkapan itu biasa diumpamakan dengan lezatnya rasa manis gula, tetapi sulit diungkapkan dengan kata-kata kepada orang yang belum merasakan manisnya gula.
(3) Pengetahuan rasional adalah hasil karsa manusia, sedangkan pengetahuan yang diperoleh dari sumber basirah merupakan karunia dari Tuhan setelah seseorang menempuh penyucian rohani. Inilah pengetahuan yang tertinggi yang dapat dicapai manusia.
Tidak jauh berbeda dengan pandangan Ibnu Arabi di atas, Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (w. 1428), sufi yang mengembangkan gagasan insan kamil, berpendapat bahwa jiwa manusia berbeda dengan tubuhnya. Jiwa secara langsung berasal dari Tuhan, sedangkan tubuh dijadikan dari sari tanah.
Dengan demikian, hati bersifat ilahiah, sekalipun ia terkait dengan tubuh, karena hati menempati wadahnya, yaitu tubuh. Kalau tubuh memiliki mata, hati juga memiliki mata. Dalam struktur hati, al-Jili menggambarkan basirah bertempat di bagian depan hati. Ia mengumpamakannya dengan sebuah kaca yang mempunyai bagian muka dan belakang.
Bagian muka yang disebut hamm (perhatian) di mana basirah bertempat menghadap ke arah suatu cahaya, sehingga dengan demikian ia senantiasa siap melihat apa saja yang melintas dan menerima kesan daripadanya. Adapun bagian belakang merupakan tempat yang di dalamnya tidak terdapat masukan perhatian, sehingga tidak berfungsi dalam menangkap bentuk apa pun.
Selanjutnya, al-Jili menegaskan bahwa pada dasarnya sifat dan naluri hati itu adalah baik, karena bersifat ilahiah. Dalam upaya menyucikan hati, sebagian orang sangat beruntung, sehingga hampir-hampir tidak mempunyai kesulitan untuk tetap berhati suci, yakni hatinya tetap bertahan dalam sifat keilahiannya. Akan tetapi, kebanyakan manusia menurutnya harus melakukan perjuangan yang gigih dan tangguh untuk mengupayakan agar kotoran hati, yang berupa nafsu hewani, dapat dihalau dan diatasi.
DAFTAR PUSTAKA
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. al-Munqiz min ad-dalal. Beirut: al-Maktabah asy-Sya‘biyah, t.t.
Ibnu Arabi. al-Futuhat al-Makkiyyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Jili, Abdul Karim bin Ibrahim. al-Insan al-Kamil fi Ma‘rifah al-Awakhir wa al-Awa’il. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
al-Jurjani, Ali bin Muhammad. at-Ta‘rifat. Singapura: al-Haramain, t.t.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1966.
Yunasril Ali