Pada masa jayanya di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683), Kesultanan Banten meliputi daerah yang kini dikenal sebagai Serang, Pandegelang, Lebak, dan Tangerang. Sejak abad ke-16 sampai ke-19, Banten berperan penting dalam penyebaran serta pengembangan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa Barat, Jakarta, Lampung, dan Sumatera Selatan.
Kota Banten terletak di pesisir Selat Sunda dan merupakan pintu gerbang lintas Pulau Sumatera dan Jawa. Posisi Banten yang strategis menarik perhatian penguasa Demak untuk menguasainya. Pada 1525–1526 Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Banten.
Sebelum Banten berwujud sebagai suatu kesultanan, wilayah ini termasuk bagian dari Kerajaan Sunda (Pajajaran). Agama resmi kerajaan ketika itu adalah agama Hindu. Pada awal abad ke-16, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang (Banten Hulu). Surosowan (Banten Lor) hanya berfungsi sebagai kota pelabuhan.
Menurut berita Joade Barros (1516), salah seorang pelaut Portugis, di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi pedagang dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian besar lada dan hasil negeri lainnya diekspor. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret sebuah kota metropolitan dan menjadi pusat perkembangan pemerintahan Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad.
Menurut Babad Pajajaran, proses awal Islam di Banten dimulai ketika Prabu Siliwangi, salah seorang raja Pajajaran, sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. Untuk mencari keterangan tentang arti cahaya itu, ia mengutus Prabu Kian Santang, penasihat Kerajaan Pajajaran, untuk mencari berita mengenai hal itu.
Akhirnya Prabu Kian Santang sampai ke Mekah. Di sana ia memperoleh berita bahwa cahaya yang dimaksud adalah nur Islam dan cahaya kenabian. Ia kemudian memeluk agama Islam dan kembali ke Pajajaran untuk mengislamkan masyarakat.
Upaya yang dilakukan Kian Santang hanya berhasil mengislamkan sebagian masyarakat, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, Pajajaran menjadi berantakan. Legenda yang dituturkan dalam Babad Pajajaran ini merupakan sebuah refleksi akan adanya pergeseran kekuasaan dari raja pra-Islam kepada penguasa baru Islam.
Sumber lain menyebutkan bahwa ketika Raden Trenggono dinobatkan sebagai sultan Demak yang ketiga (1524) dengan gelar Sultan Trenggono, ia semakin gigih berupaya menghancurkan Portugis di Nusantara.
Di lain pihak, Pajajaran justru menjalin perjanjian persahabatan dengan Portugis sehingga mendorong hasrat Sultan Trenggono untuk segera menghancurkan Pajajaran. Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah, panglima perang Demak, menyerbu Banten (bagian dari wilayah Pajajaran) bersama dua ribu pasukannya.
Dalam perjalanan menuju Banten, mereka singgah untuk menemui mertuanya, Syarif Hidayatullah, di Cirebon. Pasukan Demak dan pasukan Cirebon bergabung menuju Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang. Sementara itu, di Banten sendiri terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran.
Gabungan pasukan Demak dan Cirebon bersama dengan laskar marinir Maulana Hasanuddin tidak banyak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Dengan demikian, pada 1526 Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah berhasil merebut Banten dari Pajajaran.
Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten Girang dipindahkan ke Surosowan, dekat pantai. Dilihat dari sudut ekonomi dan politik, pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir Sumatera sebelah barat melalui Selat Sunda dan Selat Malaka.
Situasi ini berkaitan pula dengan situasi dan kondisi politik di Asia Tenggara. Pada masa itu, Malaka telah jatuh di bawah kekuasaan Portugis sehingga pedagang yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke Selat Sunda. Sejak saat itulah semakin ramai kapal dagang yang mengunjungi Banten.
Kota Surosowan (Banten Lor) didirikan sebagai ibukota Kesultanan Banten atas petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi sultan Banten yang pertama.
Atas penunjukan sultan Demak, pada 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten. Pada 1552 Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultannya. Ketika Kesultanan Demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten menjadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak.
Sultan Maulana Hasanuddin memerintah Banten selama 18 tahun (1552–1570). Ia telah memberikan andil terbesarnya dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai salah seorang pendiri Kesultanan Banten. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran bangunan peribadatan berupa masjid dan sarana pendidikan Islam, seperti pesantren. Di samping itu, ia juga mengirim mubalig ke berbagai daerah yang telah dikuasainya.
Usaha yang dirintis Sultan Maulana Hasanuddin dalam menyebarluaskan Islam dan membangun Kesultanan Banten kemudian dilanjutkan sultan berikutnya. Akan tetapi, pada masa Sultan Ageng Tirtayasa Kesultanan Banten mengalami kehancuran akibat ulah anak kandungnya sendiri, Sultan Haji, yang bekerjasama dengan kompeni Belanda.
Ketika itu Sultan Haji diserahi amanah oleh ayahnya sebagai sultan muda yang berkedudukan di Surosowan. Akibat kerjasama kompeni Belanda dengan Sultan Haji, terjadilah perang dahsyat antara Banten dan kompeni Belanda. Perang berakhir dengan hancurnya Keraton Surosowan yang pertama.
Meskipun keraton ini dibangun kembali oleh Sultan Haji melalui seorang arsitek Belanda dengan megahnya, namun pemberontakan demi pemberontakan dari rakyat Banten tidak pernah surut. Sultan Ageng Tirtayasa memimpin perang gerilya bersama anaknya, Pangeran Purbaya, dan Syekh Yusuf, seorang ulama dari Makassar dan sekaligus menantunya.
Sejak itu, Kesultanan Banten tidak pernah sepi dari peperangan dan pemberontakan melawan kompeni hingga Keraton Surosowan hancur untuk yang kedua kalinya pada masa Sultan Aliuddin II (1803–1808). Ketika itu ia melawan Herman Willem Daendels.
Setelah Kesultanan Banten dihapus Belanda, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan rakyat Banten yang dipimpin ulama dengan menggelorakan semangat perang sabil. Keadaan ini berlangsung sampai Indonesia merdeka.
Hal ini terlihat dari berbagai pemberontakan yang dipimpin kiai dan didukung rakyat, antara lain peristiwa “Geger Cilegon” pada 1886 di bawah pimpinan KH Wasyid (w. 28 Juli 1888) dan “Pemberontakan Petani Banten” 1888.
Keberadaan dan kejayaan Kesultanan Banten pada masa lalu dapat dilihat dari peninggalan sejarah, seperti Masjid Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin. Seperti masjid-masjid lainnya, bangunan masjid ini pun berdenah segi empat, namun kelihatan antik dan unik.
Apabila diamati secara jelas, arsitekturnya merupakan perpaduan antara arsitektur asing dan Jawa. Hal itu dapat dilihat dari: tiang penyangga bangunan yang jumlahnya empat buah di bagian tengah; mimbar kuno yang berukir indah; atap masjid yang terbuat dari genteng tanah liat, melingkar berbentuk bujur sangkar yang disebut kubah berupa atap tumpang bertingkat lima.
Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah utara masjid terdapat makam beberapa sultan Banten beserta keluarga dan kerabatnya. Di halaman selatan masjid terdapat bangunan Tiamah, merupakan bangunan tambahan yang didirikan Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk agama Islam dengan gelar Pangeran Wiraguna.
Dahulu gedung Tiamah ini digunakan sebagai majelis taklim serta tempat para ulama dan umara Banten mendiskusikan soal-soal agama. Sekarang gedung tersebut digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda purbakala.
Selain itu, di Kasunyatan terdapat Masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari Masjid Agung. Di masjid ini tinggal dan mengajar Kiai Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan, guru Maulana Yusuf, yang merupakan sultan Banten kedua.
Bangunan lain yang menjadi bukti keberadaan Kesultanan Banten pada masa lampau adalah bekas Keraton Surosowan atau disebut juga gedung Kedaton Pakuwan. Letaknya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Kini Keraton Surosowan yang hanya tinggal puing dikelilingi tembok benteng yang tebal, luasnya kurang lebih 4 ha, berbentuk empat persegi panjang.
Benteng tersebut sekarang masih tegak berdiri, di samping beberapa bagian kecil yang telah runtuh. Dalam situs (lahan) kepurbakalaan Banten masih ada beberapa unsur, antara lain: Menara Banten, Masjid Pacinan Tinggi, Benteng Speelwijk, Meriam Kiamuk, Watu Gilang, dan pelabuhan perahu Karangantu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. “Islam dalam Sejarah Nasional, Sekadar Penjelasan Masalah.” Revisi Makalah Seminar tentang Islam dalam Sejarah Nasional. Bandung: LIPI dan Masjid Salman, 1983.
Ambary, Hasan Muarif, et al. “Mencari Jejak Kerajaan Islam Tertua di Indonesia,” Masuknya Islam di Indonesia. Bandung: al-Ma’arif, 1981.
_________________. Tinjauan tentang Penelitian Banten Lama. Jakarta: P3N, 1977.
Amin, Rachmatullah. Banten dalam Perspektif Sejarah Islam. Serang: Grafika Populer, 1990.
Cortesao, Armando. The Suma Oriental of Tomé Pires. London: The Hakluyt Society, 1944.
Djajadiningrat, P.R.A. Hoesein. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. Jakarta: Djambatan, 1983.
Tjandrasasmita, Uka, ed. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Departemen Pen-didikan dan Kebudayaan, 1975.
M. Arfah Shiddiq