Secara kebahasaan, anshar berarti “golongan atau orang penolong”. Kata anshar merupakan bentuk jamak dari kata an-nashir atau an-nashar. Dalam terminologi sejarah Islam, anshar merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada orang Arab Yatsrib (Madinah) yang telah memeluk Islam beberapa waktu sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke sana.
Setelah kaum Ansar menyatakan diri masuk Islam, mereka berjanji akan melindungi dan membantu Nabi Muhammad SAW serta pengikutnya, sekaligus mengajak Nabi SAW hijrah ke tempat mereka. Kemudian, setelah Nabi SAW dan kaum muslimin Mekah hijrah ke Madinah, mereka bersedia dipersaudarakan oleh Nabi SAW dengan orang Islam Mekah.
Keberadaan mereka dalam barisan Islam membuka babak baru dakwah Islam karena setelah berada di Madinah, Nabi SAW lebih aman melakukan dakwah, sehingga dari kota itulah sinar Islam memancar ke seluruh penjuru Semenanjung Arabia dan kemudian menembus benua lain.
Sampai tahun 620, penganut Islam masih sedikit. Di Mekah mereka menjadi kaum tertindas, tidak mampu melawan hinaan dan intimidasi kaum Quraisy, sedangkan Nabi SAW sendiri tidak mampu melindungi mereka. Karena itu pada 615 Nabi SAW menyuruh mereka, 83 laki-laki dan 13 wanita, hijrah ke Habsyi (Ethiopia). Kemudian Nabi Muhammad SAW sendiri pergi ke Ta’if untuk meminta bantuan, tetapi ditolak penduduknya.
Pada musim haji 620, Nabi Muhammad SAW mendapat dukungan dari suatu kelompok berjumlah 6 orang yang berasal dari suku Khazraj di kota Yatsrib. Nabi SAW menemui mereka pada sebuah kemah. Dalam pertemuan tersebut Nabi SAW menjelaskan tentang statusnya dan tentang Islam. Ia juga membacakan ayat Al-Qur’an.
Setelah Nabi SAW berbicara dan mengajak mereka masuk Islam, mereka berkata satu sama lain, “Demi Allah, ketahuilah sesungguhnya inilah Rasul yang disebut-sebut orang Yahudi. Maka janganlah kita menunggu sebelum didahului orang Yahudi.” Lalu mereka menyatakan masuk Islam dan berkata kepada Rasulullah SAW bahwa mereka juga akan mengajak kaumnya masuk Islam. Kemudian mereka kembali sebagai orang beriman.
Setelah mereka tiba kembali di Madinah, mereka menceritakan kepada kaum mereka tentang Nabi Muhammad SAW dan agama yang dibawanya, serta mengajak mereka masuk Islam. Sejak itu, nama Nabi Muhammad SAW dan Islam menjadi bahan pembicaraan masyarakat Arab Madinah.
Pada musim haji berikutnya (621), datang pula 10 orang Khazraj dan 2 orang Aus. Setelah mereka bertemu dengan Nabi Muhammad SAW di Aqabah dan menyatakan diri masuk Islam, mereka melakukan baiat (sumpah kesetiaan) kepada Nabi SAW, yang dikenal dengan Baiat Aqabah I. Dalam baiat ini mereka mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW dan berjanji kepadanya tidak akan menyembah selain Allah SWT dan tidak pula menyekutukan-Nya, tidak akan mencuri, berzina, serta berbohong, dan tidak akan mengkhianati Nabi SAW.
Ketika rombongan ini kembali ke Madinah, Nabi SAW menunjuk Mus‘ab bin Umair menyertai mereka untuk mengajarkan Islam kepada mereka. Sejak itu penganut Islam di Madinah semakin banyak. Hal ini terbukti pada musim haji berikutnya (622).
Pada saat itu datang serombongan haji ter-diri dari 73 orang, baik yang sudah masuk Islam maupun yang belum, yang didampingi Mus‘ab bin Umair. Mereka datang untuk mengajak Nabi SAW hijrah ke Madinah. Pertemuan diadakan di tempat semula, Aqabah. Di sinilah terjadi Baiat Aqabah II, yakni mereka mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin mereka dan akan menjaga keselamatan Nabi SAW dan pengikutnya.
Nabi SAW juga berjanji, ia akan memerangi siapa yang mereka perangi dan akan berdamai dengan siapa mereka melakukan perdamaian. Dengan baiat yang seimbang tersebut, berarti telah terjadi suatu “pakta persekutuan” antara Nabi SAW dan orang Islam Madinah.
Beberapa bulan setelah Baiat Aqabah II, Nabi SAW bersama kaum muslim Mekah hijrah ke Madinah. Kedatangan mereka disambut kaum muslim Madinah dengan sikap yang ramah. Mereka berbondong-bondong menyambut dan memberikan bantuan mulai dari tempat tinggal hingga tempat berusaha, baik berdagang maupun bertani.
Itulah sebabnya orang Islam Madinah –yang banyak memberi bantuan kepada penyebaran Islam pada saat Nabi SAW dan pengikutnya mengalami masa sulit di Mekah– disebut kaum Ansar. Adapun kaum muslim Mekah yang hijrah ke Madinah disebut Muhajirin.
Untuk mempersatukan kaum Ansar dan kaum Muhajirin dalam ikatan yang lebih erat, Rasulullah SAW mengadakan perjanjian persaudaraan antara mereka, yang mengikat mereka dalam susah dan senang. Persaudaraan ini berbeda dengan kebiasaan bangsa Arab-Yahudi yang mendasarkan ikatan persaudaraannya atas hubungan kabilah.
Nabi SAW mempersaudarakan mereka atas dasar akidah Islam sebagai suatu persaudaraan seagama. Di dalam Piagam Madinah mereka ditetapkan sebagai umat yang satu, dengan prinsip saling menolong serta melindungi satu sama lain dan bekerjasama dalam kebaikan serta menentang pelaku kejahatan.
Kedudukan mereka sebagai Ansar dalam sejarah perkembangan Islam disebut Allah SWT dalam firman-Nya yang berarti:
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS.9:100).
Selanjutnya, dalam ayat lainnya Allah SWT berfirman yang berarti:
“Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada mereka” (QS.9:117).
Dalam surah al-Hasyr (59) ayat 9 Allah SWT berfirman yang berarti:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kefakiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Daftar Pustaka
Ali Khan, Madjid. Muhammad, The Final Messenger. New Delhi: Idarat Adabi, 1980.
al-Buti, Muhammad Said Ramadan. Fiqh as-Sirah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Daruzah, Muhammad Izzah. Sirah ar-Rasul. Cairo: Matba‘ah ‘Isa al-Babi al-Halabi wa Syirkah, 1965.
Haekal, Muhammad Husain. Hayah Mu…ammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdullah. Sirah Sayyidina Muhammad Rasul Allah. Gottingen: H.F. Wustenfeld, 1855.
Ibrahim, Syarif Ahmad. Daulah ar-Rasul fi al-Madinah. Kuwait: Wizarah at-Tarbiyah, 1972.
Wahhab, Muhammad bin Abdul. Mukhtahar Sirah ar-Rasul. Beirut: Darul Arabiyah, t.t.
J Suyuti Pulungan