Organisasi Jami‘at al-Islam wa al-Irsyad al-‘Arabiyyah lebih dikenal dengan al-Irsyad merupakan sebuah gerakan pembaruan Islam di bidang pendidikan dan sosial keagamaan. Al-Irsyad didirikan (1914) oleh para pedagang dan ulama Arab, seperti Syekh Ahmad Soorkati (1874–1943).
Pada 1915, pemerintah Hindia Belanda mengakui al-Irsyad. Organisasi ini mendirikan sarana pendidikan untuk anak Arab, kemudian pribumi.
Sebagian besar dari pendiri al-Irsyad adalah pedagang atau pengusaha dan ulama keturunan Arab, antara lain Ahmad Soorkati, Umar Manggus, Saleh bin Ubaid, Said bin Salim Masyhabi, Salim bin Umar Balfas, Abdullah Harharah, dan Umar bin Saleh bin Nahdi.
Sebagai pengurus pertama al-Irsyad diangkat Salim bin Awad Bahweel sebagai ketua, Muhammad bin Ubaid Abud sebagai sekretaris, Said bin Salim Masyhabi sebagai bendahara, dan Saleh bin Ubaid sebagai penasihat. Sebagai penilik sekolah diangkat Abdullah bin Abubakar Alhabsyi.
Syekh Ahmad Soorkati adalah ulama Sudan yang diutus dari Mekah atas permintaan Jami’at Khair, sebuah perkumpulan masyarakat Islam keturunan Arab yang berdiri pada 1903 di Batavia.
Tetapi, kehadiran Soorkati dalam Jami’at Khair tidak dikehendaki oleh golongan sayid (keturunan Nabi SAW dari Fatimah, putrinya) karena Soorkati menolak hak istimewa golongan sayid. Akhirnya Ahmad Soorkati memilih mundur dan bersama rekannya kemudian mendirikan al-Irsyad.
Pada tahun pertama didirikan, al-Irsyad telah membuka sekolah. Muridnya terdiri dari anak keturunan Arab dan sebagian kecil anak Indonesia asli. Dalam waktu singkat, al-Irsyad sudah membuka sekolah di berbagai daerah di Jawa, Lampung, Bangka, Aceh, sampai ke belahan timur di Sulawesi Tengah dan Lombok.
Cabang pertama dibuka di Tegal, Jawa Tengah, pada 29 Agustus 1917 yang madrasahnya dipimpin oleh Abdullah Salim Alatas (lulusan Soorkati yang pertama). Sejak 1930 al-Irsyad memberikan beasiswa bagi murid yang berprestasi untuk melanjutkan studi ke luar negeri, terutama ke Mesir.
Di bidang pendidikan, al-Irsyad al-Islamiyyah berhasil merumuskan gagasan pembaruannya, terutama sejak 1938. Gagasan pembaruan di bidang pendidikan banyak diilhami oleh sistem pendidikan yang dibawa Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida. Hal ini terlihat dalam tujuan yang hendak dicapai al-Irsyad dengan memasukkan mata pelajaran ilmu tauhid, ilmu fikih, sejarah Islam, dan bahasa Arab.
Dalam masalah kemasyarakatan, al-Irsyad amat dikenal sebagai organisasi yang memperkenalkan kesamarataan dalam kehidupan sosial (egalitarian). Artinya, dalam prinsip kesamarataan tidak ada yang berderajat lebih tinggi selain yang bertakwa paling besar kepada Allah SWT.
Dengan mengajarkan ilmu tauhid, antara lain diharapkan murid dapat mengembangkan jiwa dan hartanya. Ilmu fikih diajarkan dengan harapan bahwa murid dapat memperbaiki akhlaknya dari segala perbuatan yang tercela dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan hadis.
Sejarah Islam diajarkan dengan harapan agar murid mengetahui kemajuan dan kemunduran suatu peradaban umat Islam pada masa silam, untuk dijadikan pelajaran bagi masa kini dan masa yang akan datang. Pengajaran bahasa Arab merupakan yang utama, karena bertujuan agar orang dapat menggali ajaran Islam dari sumbernya yang asli, yaitu Al-Qur’an dan sunah, sehingga bersih dari segala hal yang sumbernya tidak jelas dan tidak autentik.
Adapun tujuan pendidikan pada sekolah yang bernaung di bawah al-Irsyad adalah pembentukan watak, akhlak, dan kemauan, serta pelatihan untuk melaksanakan kewajiban. Ulama lulusan al-Irsyad yang terkemuka antara lain adalah Umar Salim Hubeish, Hasbi ash-Shiddieqy, Umar Sulaiman Naji, Farid Ma’ruf, Anang Kirom, Ahmad Sjoekrie, H Mohammad Rasjidi, dan Said Thalib.
Untuk pertama kalinya al-Irsyad menerbitkan majalah bulanan yang bernama az-Zakirah (Ar.: adz-zakirah, berarti “peringatan”) yang terbit dari September 1923–April 1924 di Jakarta, di bawah pimpinan Ahmad Soorkati dengan redaktur Abdullah Badjerei, salah satu muridnya yang terkemuka.
Isinya banyak mengandung kupasan tentang persoalan keagamaan, jawaban atas persoalan yang diajukan para pembacanya, serta penjelasan hadis palsu yang sering dijadikan dalil agama, baik yang menyangkut soal ibadah maupun muamalah di Indonesia.
Pusat organisasi al-Irsyad al-Islamiyyah berada di Jakarta dan mempunyai beberapa cabang yang tersebar di beberapa kota. Keanggotaannya tidak lagi terbatas pada orang keturunan Arab, tetapi lebih terbuka bagi setiap umat Islam, seperti yang tercantum dalam AD/ART-nya.
Seperti organisasi Islam lain, al-Irsyad memperluas perhatiannya pada persoalan Islam secara umum. Pada 1922 al-Irsyad bekerjasama dengan Muhammadiyah dan Sarekat Islam mengadakan Kongres al-Islam pertama di Cirebon, hingga sekitar delapan kongres berikutnya lalu berkembang menjadi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).
Sejak itu pula, Syekh Ahmad Soorkati bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto. Al-Irsyad juga aktif dalam pembentuan Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI), sampai pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI) dan Amal Muslimin.
Di tengah-tengah suasana Kongres al-Islam di Cirebon, diadakan perdebatan antara Al-Irsyad dan Sarekat Islam Merah, dengan tema: “Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamisme-kah atau Komunisme?” Al-Irsyad diwakili oleh Syekh Ahmad Soorkati, Umar Sulaiman Naji dan Abdullah Badjerei, sedang SI Merah diwakili Semaun, Hasan, dan Sanusi.
Selaku penganut paham Pan Islam, tentu Syekh Ahmad Soorkati bertahan dengan Islamisme. Semaun berpendirian, hanya dengan komunisme-lah Indonesia bisa merdeka. Tidak ada titik temu. Namun, peristiwa itu menunjukkan, para pemimpin al-Irsyad pada 1922 sudah berbicara masalah kemerdekaan Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, al-Irsyad al-Islamiyyah telah mendirikan banyak sekolah, bukan hanya sekolah agama, tetapi juga sekolah umum. Sekolah al-Irsyad telah cukup tersebar. Pada umumnya cabang al-Irsyad kini sudah ada di tiap provinsi Indonesia. Selain sekolah, al-Irsyad juga mendirikan universitas di Solo dengan rektor pertamanya Prof. Hasbi ash-Shiddieqy.
Dalam perkembangannya kemudian, kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan, dengan mendirikan beberapa rumah sakit. Yang terbesar saat ini adalah RSU Al-Irsyad di Surabaya dan RS Siti Khadijah di Pekalongan.
Perhimpunan al-Irsyad al-Islamiyyah memiliki empat organ aktif yang menggarap segmen anggota masing-masing. Yaitu: Wanita Al-Irsyad, Pemuda Al-Irsyad, Puteri Al-Irsyad, dan Pelajar Al-Irsyad. Peran masing-masing organisasi ini cukup besar bagi bangsa. Pemuda Al-Irsyad misalnya, ikut aktif menumpas pemberontakan G-30-S PKI bersama komponen bangsa lainnya. Sedang Pelajar Al-Irsyad termasuk salah satu eksponen 1966 yang ikut aktif melahirkan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia).
Di luar empat badan otonom tersebut, al-Irsyad al-Islamiyyah memiliki majelis-majelis, yaitu Majelis Pendidikan & Pengajaran, Majelis Dakwah, Majelis Sosial dan Ekonomi, Majelis Awqaf dan Yayasan, dan Majelis Hubungan Luar Negeri. Di luar itu ada pula Lembaga Istisyariyah, yang beranggotakan tokoh-tokoh senior Al-Irsyad dan kalangan ahli).
DAFTAR PUSTAKA
Badjerei, Hussein Abdullah. al-Irsyad. Jakarta: DPP Perhimpunan al-Irsyad, t.t.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942, terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
Saidi, Ridwan. Kepemimpinan Islam Indonesia: Kini dan Esok. Jakarta: Antara Kota, 1986.
Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, 1986.
https://www.alirsyad.or.id/tentang-al-irsyad/, diakses pada 29 Maret 2022.
A. Saifuddin
Data telah diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (Maret 2022)