Abu Yazid al-Bustami adalah seorang sufi dan wali terkenal di Persia (Iran) abad ke-3 H. Ia lahir di Bistam, wilayah Qum di Persia barat laut. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa bin Surusyan, yang dikenal juga dengan nama Bayazid.
Tahun kelahiran dan masa kecil al-Bustami tidak diketahui. Dijelaskan bahwa ia berasal dari lingkungan keluarga terhormat dan terpelajar. Ayahnya, Isa bin Surusyan, adalah seorang pemuka masyarakat di Bistam, sedangkan ibunya dikenal sebagai zahid (orang yang meninggalkan keduniawian). Kakeknya, Surusyan, sebelum memeluk Islam adalah penganut Majusi.
Pada mulanya al-Bustami mempelajari fikih Mazhab Hanafi, kemudian mendalami tasawuf, terutama mengenai tauhid dan hakikat (at-tauhid wa al-haqa’iq) di samping pengetahuan-pengetahuan tentang fana. Sebagian besar kehidupannya sebagai seorang sufi dan abid (orang saleh) dijalaninya di Bistam. Ia terpaksa meninggalkan kota kelahirannya untuk beberapa waktu lamanya guna menghindari tekanan-tekanan ulama mutakalim (teolog) yang memusuhinya.
Al-Bustami tidak meninggalkan karya tulis, tetapi mewariskan sejumlah ucapan dan ungkapan mengenai pengalaman tasawufnya yang disampaikan muridnya dan tercatat dalam beberapa kitab tasawuf klasik, seperti ar-Risalah al-Qusyairiyyah (Risalah Qusyairiyyah), Tabaqat as-Sufiyyah (Tingkatan Sufi), Kasyf al-Mahjub (Menyingkap Tabir), Tadzkirah al-Auliya’ (Peringatan para Wali), dan al-Luma‘ (Yang Cemerlang).
Sebagian dari kebenaran ungkapannya masih dipertanyakan dan juga sebagian cerita mengenai kekeramatannya dianggap legenda. Sebagian dari ungkapannya disebut oleh kalangan sufi dengan istilah sathahat (ecstatic utterances), yaitu ucapan sufi ketika berada di pintu gerbang ittihad (kesatuan dengan Allah SWT). Ucapan dan ungkapannya yang digolongkan sathahat adalah seperti berikut:
“Maha suci aku (Subhani), alangkah agung kebesaranku.”
“Tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah aku.”
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa.”
“Yang kukehendaki dari Tuhan hanyalah Tuhan.”
Tuhan tidak dapat dijangkau dengan alat dan huruf.”
“Semenjak tiga puluh tahun Tuhan adalah cerminku. Sekarang aku menjadi cermin diriku karena aku seka-rang bukan aku yang dahulu. Ucapanku ‘aku’ dan ‘Tuhan’ berarti mengingkari tauhid Tuhan. Karena aku sama sekali tidak ada, Tuhan yang hak adalah cermin diri-Nya. Lihatlah, Tuhan adalah cermin diriku karena Dia-lah yang berbicara melalui lidahku, sedang aku sudah fana.”
Ucapan dan ungkapannya tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan ulama karena belum pernah didengar dari sufi sebelumnya. Mereka yang berpegang pada ajaran syariat secara zahir menuduh al-Bustami kafir karena menyamakan dirinya dengan Allah SWT. Sementara ada pula ulama lain yang mentoleransi ucapan semacam itu dan menganggapnya hanya sebagai “penyelewengan” (inhiraf), bukan kekafiran.
Namun kalangan sufi membenarkan hal itu, sehingga ucapannya, “Subhani” (Maha suci aku, alangkah agung keadaanku) menjadi teka-teki bagi kaum sufi zaman berikutnya. Ucapan tersebut sering diulang-ulang penyair Iran, Turki, dan penyair muslim India sebagai bukti ittihad yang dicapai seorang sufi yang sempurna.
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baka untuk mencapai ittihad dengan Tuhan. Dengan fana, ia meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan, sedangkan dengan baka ia tetap bersama Tuhan.
Ajaran fana dan baka itu terlihat dari ucapannya seperti, “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup” atau “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya dan aku pun hidup…. Maka aku berkata, gila pada diriku adalah fana dan gila pada-Mu adalah baka.” Demikian pula dengan pengakuannya, “Aku mimpi melihat Tuhan lalu aku bertanya, ‘Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu?’ Ia menjawab, ‘Tinggalkan dirimu dan datanglah pada-Ku.’”
Pengalaman kedekatan al-Bustami dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan, “Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan. Lalu Ia berkata, ‘Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu.’ Aku menjawab, ‘Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhlukMu memandangku, mereka akan berkata, ‘Kami telah melihat-Mu.’ Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.’”
Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut.
“Manusia tobat dari dosa-dosa mereka, tetapi aku tobat dari ucapanku: ‘Tiada Tuhan selain Allah’ (La ilaha illa Allah) karena aku mengucap dengan alat dan huruf, sedang “Tuhan berkata, ‘Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku.’ Aku pun berkata, ‘Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.’”
“Terputuslah munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, ‘Hai engkau.’ Aku dengan perantaraanNya menjawab, ‘Hai aku.’ Ia berkata, ‘Engkaulah yang satu.’ Aku menjawab, ‘Akulah yang satu.’ Ia berkata, ‘Engkau adalah engkau.’ Aku menjawab, ’Aku adalah aku’.”
Dalam ittihad ini kelihatannya Tuhan berbicara melalui lidah al-Bustami. Ia tidaklah mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian. Ada cerita yang menyatakan bahwa seseorang mendatangi al-Bustami dan mengetuk pintu rumahnya. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” “Abu Yazid”, kata orang itu. Abu Yazid berkata, “Pergilah. Di rumah ini tak ada Abu Yazid kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Yang ada dalam baju jubah ini hanya Allah.”
Menurut al-Bustami, pengalamannya mencapai ittihad dicapai dengan latihan berat dan intensif selama bertahun-tahun. Antara lain ia berkata, “Dua belas tahun lamanya aku menjadi pandai besi bagi diriku. Kulemparkan diriku dalam tungku riyadhah (latihan). Kubakar dengan api mujahadah (perjuangan). Kuletakkan di atas alas penyesalan. Kupukul dengan martil pengutukan diri sehingga dapatlah kutempa sebuah cermin diriku sendiri.
Lima tahun lamanya aku menjadi cermin diriku yang selalu kukilapkan dengan bermacam-macam ibadah dan ketakwaan. Setahun lamanya aku memandangi cermin diriku dengan penuh perhatian. Ternyata kulihat diriku terlilit sabuk takabur, kecongkakan, riya, ketergantungan pada ketaatan dan membanggakan amal-amal. Aku lalu beramal selama lima tahun sampa sabuk itu terputus dan aku memeluk Islam kembali.
Kupandangi para makhluk dan kulihat mereka semua mati sehingga aku bertakbir empat kali untuk mereka dan aku kembali dari jenazah mereka semua. Aku sampai kepada Allah dengan pertolongan Allah sendiri tanpa perantaraan makhluk.”
Adapun cara untuk mencapai makrifat kepada Tuhan al-Bustami menyebutkan caranya, yaitu dengan perut lapar dan badan telanjang. Mengenai mujahadah, al-Bustami mengatakan,
“Saya berusaha dalam mujahadah selama tiga puluh tahun. Tidak kudapati sesuatu yang amat berat bagiku selain ilmu pengetahuan dan mengikutinya. Seandainya tidak ada perbedaan ulama, aku akan baka. Perbedaan ulama adalah rahmat, kecuali dalam pengonsentrasian diri hanya kepada Tuhan (tajrid at-tauhid).”
Sekalipun telah mencapai fana, baka, dan ittihad, al-Bustami tetap mementingkan pelaksanaan syariat. Pengamalan tasawuf tidak dibenarkan meninggalkan perintah Tuhan. Ia berkata,
“Apabila Anda melihat seseorang dikaruniai keramat-keramat sehingga dapat terbang di udara, janganlah Anda teperdaya olehnya sebelum melihat bagaimana ia melakukan perintah dan meninggalkan larangan Tuhan, menjaga ketentuan, dan melaksanakan syariat-Nya.”
Menurutnya, pengamal tasawuf (sufi) harus mempunyai guru pembimbing. Ia berkata, “Barangsiapa tidak mempunyai ustad (guru), imamnya adalah setan.”
Tasawuf al-Bustami kemudian dikembangkan oleh pengikut-pengikutnyanya dengan membentuk satu aliran tarekat bernama Taifuriyah. Nama itu diambil dari nisbah al-Bustami, yaitu Taifur. Pengaruh tarekat ini masih didapati di beberapa dunia Islam, seperti di Zousfana, Magribi (meliputi Maroko, Aljazair, dan Tunisia), dan di Chittagong, Bangladesh, berupa tempat suci yang dibangun untuk memuliakannya.
Makam al-Bustami yang terletak di tengah kota Bistam dijadikan objek ziarah masyarakat yang mempercayainya sebagai wali atau orang suci. Pada 713 H/1313 M sultan Mughal, Muhammad Khudabanda, membangun sebuah kubah di atas makam al-Bustami untuk memenuhi saran penasihat agama Sultan, Syekh Syarafuddin, yang mengaku keturunan sang wali.
Daftar Pustaka
Arberry, A.J. Muslim Saints and Mystics, Episodes from Tadzkirat al-Aulia Faridud-din al-Attar. London: Routledge & Kegan Paul, 1979.
al-Asbahani, Abu Nu’aim Ahmad. Hilyah al-Auliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’. Cairo: as-Sa‘adah, t.t.
Attar, Fariduddin. Tadzkirat al-Auliya’. London & Leiden: t.p. 1959.
Nadir, Albert Nasri. at-Taœawwuf al-Islami. Beirut: al-Matba‘ah al-Kasuliqiyah, t.t.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1966.
as-Sullami, Muhammad bin Husain. Tabaqat as-Sufiyyah. Leiden: E.J. Brill, 1960.
M Rusydi Khalid