Hukum tata negara, yakni peraturan sistem penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan politik, ekonomi serta sosial, dan aspek hubungan antara kepentingan warga negara (rakyat) dan kepentingan kenegaraan, disebut al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Imam al-Mawardi (ahli hukum Mazhab Syafi‘i; w. 450 H/1058 M) membuat judul bukunya Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah.
Timbulnya negara dan kekuasaan dalam perkembangan sejarah Islam dimulai dari terbentuknya masyarakat muslim di Madinah. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin spiritual merupakan figur sentral yang sekaligus pemimpin agama dan kenegaraan.
Kekuasaan kenegaraan timbul setelah terjadi pelimpahan wewenang atau pengukuhan kekuasaan melalui konstitusi tertulis yang dikenal dengan “Piagam Madinah”. Dengan piagam ini pula Nabi Muhammad SAW mempunyai kekuasaan untuk menyatakan perang atau damai, menyelesaikan konflik antarwarga masyarakat, menentukan kebijakan menyangkut mobilitas sosial-ekonomi, hubungan dengan para penguasa di luar Madinah, dan lain-lain.
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat (632), kekuasaan kenegaraan mengalami perkembangan dengan berbagai model penyelenggaraan kekuasaan negara. Kekuasaan model itu ditandai dengan munculnya beberapa predikat yang disandang oleh pemimpin negara, seperti khalifah, amir, dan sultan.
Pokok bahasan al-Ahkam as-Sulthaniyyah ternyata cukup bervariasi, baik istilah yang digunakan maupun tema bahasannya. Secara umum tema itu mencakup aspek sebagai berikut:
(1) teori tentang ketatanegaraan, seperti pembagian kekuasaan, falsafah serta wawasan kenegaraan, keadilan, dan khilafah;
(2) prinsip hukum tata negara, seperti dasar serta konstitusi negara, unsur negara, lembaga serta kepala negara, konsulat serta kerjasama antarnegara, struktur pemerintahan, dan hak serta kewajiban pemerintah dan warga negara; dan
(3) strategi kenegaraan, seperti perang dan damai, kebijaksanaan politik, sistem anggaran, pajak, serta pembangunan dan modernisasi.
Konsepsi hukum ketatanegaraan dalam Islam, yang disebut al-Ahkam as-Sulthaniyyah, bukanlah hal yang sama sekali baru. Di samping itu, ia selalu mengalami perkembangan selaras dengan perkembangan pemikiran serta sentuhan kultural zamannya.
Kajian mengenai ini semakin menarik apabila pendekatan yang digunakan tidak semata-mata mengutamakan kajian antardalil dalam penafsiran mazhab hukum masa lampau, tetapi lebih dikembangkan dengan berbagai teori secara inter atau multidisiplin.
Dalam ketatanegaraan Islam berkembang tiga teori kedaulatan: “kedaulatan Tuhan”, ”kedaulatan sultan”, dan “kedaulatan rakyat”.
Teori “Kedaulatan Tuhan”. Teori ini menganut paham bahwa segala kekuasaan termasuk persoalan kekuasaan kenegaraan semata-mata berada di tangan Tuhan. Argumen yang mendasari paham ini adalah sebagai berikut.
(1) Tuhan adalah pencipta, pemilik, dan pemelihara semesta alam, dan karena itu Dialah yang berkuasa.
(2) Manusia mendapatkan amanah untuk mengurus tanggung jawabnya berdasarkan hukum Tuhan; Tuhan adalah Syari‘ (pembuat hukum), sementara manusia adalah pelaksana hukum-Nya; kekuasaan merupakan masalah hukum yang menjadi wewenang Tuhan, oleh sebab itu kedaulatan negara berada di tangan-Nya.
(3) Manusia adalah pemimpin dan berkewajiban mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan Tuhan; dengan demikian, pada hakikatnya kekuasaan berada di tangan Tuhan.
Dalam teori kedaulatan Tuhan, kekuasaan manusia adalah wewenang yang didelegasikan. Orang yang memperoleh delegasi (amanah) yaitu orang tertentu yang dipilih Tuhan atau berdasarkan hukum Tuhan. Nabi SAW dalam kapasitasnya sebagai rasul adalah pemimpin yang berkuasa dengan mandat dan atas pilihan Tuhan.
Kekuasaan sepeninggalnya tidak secara langsung diamanahkan kepada seseorang, tetapi suatu pelimpahan melalui legitimasi syar‘i atas dasar nas hukum Tuhan. Teori kedaulatan Tuhan dapat dipisahkan ke dalam dua corak kekuasaan: kekuasaan imamah dan kekuasaan khilafah.
Kekuasaan Imamah. Kekuasaan imamah menganut paham bahwa legitimasi wewenang atas dasar nas adalah suatu pelimpahan kuasa dalam bentuk “wasiat” dari penguasa yang sah. Imam pertama adalah Ali bin Abi Thalib yang memperoleh kekuasaan yang sah melalui wasiat Nabi SAW. Orang lain dengan syarat tertentu dapat berkuasa tetapi sementara (nisbi). Pada hakikatnya kekuasaan itu hanya sah dalam mandat imam.
Kekuasaan Khilafah. Kekuasaan khilafah merupakan pengganti kuasa Nabi SAW atau khalifah Allah SWT. Orang yang mendapat mandat Tuhan memiliki dasar acuan hadis dan ijmak bahwa yang berhak menjadi pemimpin negara (khalifah) hanyalah orang Quraisy atau orang lain yang mendapat pengesahan/pelimpahan wewenang dari orang Quraisy.
Penentuan khalifah dilakukan berdasarkan musyawarah atau penunjukan oleh penguasa sah sebelumnya atau dengan jalan perebutan kekuasaan secara militer.
Teori “Kedaulatan Sultan”. Teori ini menganut paham bahwa kekuasaan kenegaraan berada di tangan orang tertentu yang kuat, baik secara militer maupun secara keturunan (nasab), dan ia harus memiliki kelebihan tertentu berkenaan dengan kemampuan untuk mengendalikan kekuasaan.
Argumen yang mendasari paham ini adalah sebagai berikut.
(1) Rakyat pada umumnya merupakan orang awam, sementara itu kekuasaan kenegaraan menuntut kemampuan khusus yang hanya dimiliki oleh orang tertentu; kekuasaan kenegaraan yang berada di tangan rakyat dapat berakibat bahwa negara dipegang oleh orang yang tidak cakap atau lemah.
(2) Kelompok keluarga sultan atau militer adalah orang yang memiliki kelebihan dalam bidang kemiliteran serta kecakapan mengatur negara.
(3) Rakyat selalu mengikuti kehendak pemimpinnya, bukan sebaliknya; hal ini sudah merupakan suatu kenyataan dalam sejarah.
Teori “Kedaulatan Rakyat”. Teori ini muncul karena pengaruh dunia Barat. Ia diterima sebagai bagian dari perkembangan pemikiran ketatanegaraan Islam. Kedaulatan rakyat juga dianggap memiliki landasan hukum selaku “khalifah” yang dipahami memiliki kekuasaan hukum secara kolektif, dan diakui memiliki tanggung jawab individual untuk menentukan pilihannya.
Teori tersebut mengacu pada sekurang-kurangnya dua paham: (1) paham “demokrasi”, yakni bahwa kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat; dan (2) paham “teodemokrasi”, yakni bahwa kekuasaan negara berada di tangan rakyat, tetapi tidak sepenuhnya.
Dalam paham ini, di samping terdapat lembaga legislatif, ada badan khusus yang berwenang mengevaluasi layak, benar, serta sah tidaknya rencana keputusan kenegaraan. Badan itu dianggap paling mengetahui kehendak Tuhan sebagai pemegang hakikat kedaulatan, yang terdiri atas kaum ulama.
Mereka, di samping diyakini memiliki tradisi kesucian (tidak cacat secara hukum dan moral), juga memiliki otoritas dalam bidang pengetahuan agama dan mewakili kehendak Tuhan mengenai hukum seperti yang digariskan oleh wahyu (Al-Qur’an) dan hadis (sunah) Nabi SAW. Ulama tersebut bisa hanya terdiri atas satu orang, yang disebut “imam”, bisa juga berbentuk majelis yang beranggotakan sejumlah ulama yang mewakili seluruh sekte dalam Islam.
Daftar Pustaka
Haekal, Muhammad Husein. al-hukumah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1983.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Siyasi wa ad-Dini wa ats-tsaqafi wa al-Ijtima‘i. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Ibnu Hisyam, A. Muhammad. as-Sirah an-Nabawiyyah. Cairo: Dar al-Kunuz al-Adabiyah, t.t.
Ibnu Taimiyah, Ahmad Taqiyuddin. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: Dar asy-Sya‘b, 1980.
al-Maududi, Abul A’la. al- hukumah al-Islamiyyah. Jiddah: Dar as-Sa‘udiyah li an-Nasyr wa at-Tauzi‘, t.t.
al-Mawardi, Abu Hasan. al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1973.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Sjadzali, H Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1990.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Muhammad Hasyim