Aisyah Binti Abu Bakar

(Mekah, sekitar 614–Madinah, 678)

Istri ketiga Nabi SAW adalah Aisyah binti Abu Bakar. Ia adalah putri Abu Bakar as-Siddiq (khalifah pertama; 573–634). Ia lahir 8 atau 9 tahun sebelum Hijrah dan dijuluki “Ummu Abdullah”, mengikuti nama keponakannya, Abdullah bin Zubair. Aisyah dikenal sebagai seorang wanita yang pandai dan saleh.

Nabi Muhammad SAW memanggil Aisyah dengan nama panggilan kesayangan al-Humairah, yang berarti “kemerah-merahan”. Ia adalah seorang wanita yang aktif dalam lembaga keagamaan yang diselenggarakan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Menurut Ibnu Hisyam (ulama, penulis sejarah hidup Muhammad SAW; w. 13 Rabiulakhir 218/8 Mei 833), Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad SAW pada umur 6 tahun dengan menerima maskawin sebanyak 400 dirham.

Akan tetapi, ia baru hidup serumah dengan Nabi Muhammad SAW 3 tahun kemudian, ketika sudah berada di kota Madinah (April–Juni 623). Ia berumur 18 tahun ketika Nabi SAW wafat. Ia tidak mempunyai anak.

Aisyah pernah terkena musibah berupa berita bohong (Hadis ifk) seusai peperangan melawan Bani Mustaliq (628). Peperangan itu diikuti kaum munafik. Aisyah turut mendampingi Nabi SAW berdasarkan undian yang diadakan di antara istri beliau. Dalam perjalanan kembali dari peperangan, rombongan berhenti pada suatu tempat. Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba ia merasa kalungnya hilang, lalu pergi lagi untuk mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan perkiraan bahwa Aisyah masih dalam sekedup.

Setelah Aisyah mengetahui bahwa rombongan sudah berangkat, ia duduk menunggu dijemput. Kebetulan, seorang sahabat Nabi SAW, Safwan bin Buattal, lewat di tempat itu. Ia terkejut menemukan Aisyah sedang tidur sendirian. Aisyah lalu dipersilakan mengendarai untanya. Safwan sendiri berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah.

Melihat datangnya Aisyah bersama Safwan, orang membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafik membesar-besarkannya. Maka fitnah atas Aisyah pun menyebar sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin. Pada akhirnya Nabi SAW tidak mempersalahkan Aisyah, lalu turun wahyu yang menjelaskan kebohongan berita yang menimpanya (QS.24:11).

Aisyah merupakan tokoh kharismatik bagi kaum muslimin. Ia tidak membenarkan tindakan Usman bin Affan, khalifah ketiga. Tatkala rumah Usman dikepung pemberontak, Aisyah meninggalkan Madinah menuju Mekah untuk melakukan ibadah haji. Sepulang dari Mekah, di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seseorang yang bernama Ubaidillah bin Salamah al-Laisi yang baru bertolak dari Madinah. Aisyah diberitahu bahwa Usman mati terbunuh dan Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi khalifah.

Mendengar Ali dibaiat, ia merasa sangat kecewa, karena semula ia mengira bahwa khilafah akan berpindah ke tangan saudara iparnya, Talhah bin Ubaidillah, yang dinilai cakap lagi berperangai baik. Maka ia kemudian kembali ke Mekah. Ia menganggap kematian Usman itu akibat penganiayaan. Oleh karena itu, ia kemudian menuntut balas kepada Ali. Dalam hal tuntutan balas ini ia bergabung dengan Talhah, Zubair bin Awwam (sepupu Nabi SAW), dan orang yang merasa terpukul atas kematian Usman.

Ali menolak untuk menyerahkan para perusuh yang telah membunuh Usman itu, mengingat jumlah mereka ribuan orang. Karena penolakan ini, Aisyah kemudian menentang Ali, dibantu Talhah dan Zubair serta segolongan kaum muslimin.

Aisyah beserta para pendukungnya berangkat menuju Basrah, mengharapkan dukungan dari penduduk kota itu. Semula Aisyah merasa ragu dan ingin mengurungkan maksudnya. Ia merasa ragu ketika menyaksikan sendiri beribu-ribu umat meratap pilu waktu ia hendak meninggalkan Mekah menuju Basrah, sehingga hari itu dikenal dengan “hari ratapan”.

Selain itu, ia juga menerima surat dari Ummu Salamah (istri Rasulullah SAW, w. 62 H/682 M), yang isinya memperingatkannya agar tidak melibatkan diri dalam medan pertempuran. Akan tetapi dorongan dari keponakannya, Abdullah bin Zubair, begitu kuat sehingga ia tidak dapat mengelakkannya.

Ketika Aisyah, Talhah, dan Zubair sampai di Basrah, penduduk terpecah menjadi dua; ada yang menolak, tetapi banyak pula yang kemudian menggabungkan diri dengan mereka, antaralain Marwan bin Hakam dari Bani Umayah. Antara kedua golongan ini terjadi perkelahian yang menelan korban ratusan jiwa, terutama dari golongan yang menentang Aisyah.

Kemudian Ali datang dengan membawa balatentara besar. Pertama-tama diusahakannya supaya Aisyah dan pengikutnya mau mengurungkan maksud mereka. Kepada beberapa orang di antara mereka, Ali mengingatkan baiat dan sumpah setia yang telah mereka berikan.

Nasihat Ali dapat mempengaruhi mereka sehingga diadakanlah perundingan yang hampir berhasil menghindarkan kaum muslimin itu dari bahaya perang. Tetapi para pengikut Abdullah bin Saba (pendiri Syiah, tokoh yang dituduh membunuh Usman) menjalankan rencananya, sehingga terjadi pertempuran. Perang itu disebut “Perang Jamal”, karena pada waktu itu Aisyah mengendarai unta (jamal) dalam memberikan komando kepada pasukannya. Di atas unta tersebut dipasang sekedup yang dilapisi lempengan besi sedemikian rupa sehingga tidak dapat tertembus panah.

Pertempuran berlangsung sengit dan menyebabkan terbunuhnya Zubair dan Talhah, tetapi peperangan terus berjalan di bawah pimpinan Aisyah. Ribuan manusia gugur dalam membela Aisyah, Ummul Mukminin (Ibu Kaum Muslimin), dan melindungi unta yang dikendarainya. Sebaliknya, ribuan manusia gugur di pihak Ali ketika menyerang unta Aisyah. Tetapi akhirnya unta yang ditunggangi Aisyah berhasil dibunuh. Pertempuran berhenti dan dimenangkan oleh pasukan Ali. Aisyah dikembalikan ke Mekah dengan penghormatan yang semestinya.

Perang Jamal ini merupakan peperangan yang pertama kali terjadi antara dua pasukan kaum muslimin, yang menurut sebagian sejarawan telah menelan puluhan ribu korban jiwa.

Sebagai istri Nabi SAW, Aisyah dikenal sebagai wanita yang sangat menonjol di bidang pemikiran dan penghayatan keagamaannya. Banyak hadis yang diriwayatkannya. Setelah Nabi SAW meninggal, ia menjadi tempat rujukan bagi para sahabat Nabi SAW. Ia memberikan fatwa serta meriwayatkan hadis Nabi SAW dari balik tabir, jumlahnya tidak kurang dari 1.210 hadis, antara lain 228 terdapat dalam hadis sahih Imam Bukhari.

Aisyah dikenal pula orang yang sangat dermawan dan tidak suka menyimpan sesuatu di rumahnya. Suatu ketika ia mendapat pemberian dari baitulmal sebanyak beberapa ribu dirham. Pemberian itu kemudian dipisahkannya ke dalam beberapa kantong dan semuanya dibagi-bagikannya kepada fakir miskin.

Daftar Pustaka

Ali, Fikri. Ahsan al-Qasas. Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiah, 1962.
al-Asqalani, Ibnu Hajar. Kitab al-Isabah fi Tamyiz as-Sahabah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
–––––––.Tahzib at-Tahzib. Hyderabad: Majlis Da’irat al-Ma‘arif Nizamiyah al-Ka’inah fi al-Hind, 1327 H/1909 M.
Barr, Ibnu Abdul. Kitab al-Isti‘ab fi Asma’ al-Ashab. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Haekal, Muhammad Husain. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
al-Jazari, Izzuddin bin Asir. Usd al-Gabah fi Ma‘rifah ad-Sahabah. Cairo: asy-Syab, t.t.

Hamid Farihi