Ahmad Wahib

(Sampang, 9 November 1942 – Jakarta, 30 Maret 1973)

Aktivis muslim ini dalam kehidupannya bergulat mencari kebenaran. Dia juga eksponen organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Wahib mulai dikenal luas di kalangan pemikir Indonesia pada tahun ke-8 setelah wafatnya melalui penerbitan catatan hariannya yang memuat gagasan pembaruan pemikiran Islam yang liberal, progresif, dan terbuka.

Ahmad Wahib berasal dari lingkungan keluarga yang taat beragama. Ayahnya, Sulaiman, tergolong pemuka agama (kiai) yang berpikiran modern di daerahnya sehingga memberi kebebasan kepada putranya untuk memilih sendiri jalur pendidikannya.

Ahmad Wahib memperoleh pendidikan keagamaan dalam lingkungan pesantren. Wahib selalu memilih lembaga pendidikan umum sebagai pendidikan formalnya. Setamat dari Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pamekasan bagian ilmu pasti pada 1961, dia melanjutkan studi ke Fakultas Ilmu Pasti dan Alam Universitas Gadjah Mada. Dia sampai menduduki tingkat akhir, tetapi tidak sempat menyelesaikan studinya di universitas itu.

Pada tahun pertama di Yogyakarta, Ahmad Wahib tinggal di sebuah asrama mahasiswa Katolik, Realino. Di samping mengikuti perkuliahan, dia memilih HMI sebagai tempat membina diri dalam kegiatan organisasi ekstrakampus. Dia menjadi aktivis yang menonjol, baik dalam aktivitas organisasi maupun dalam dinamika pemikiran.

Dia masuk dalam “lingkungan elite” HMI cabang Yogyakarta dan kemudian dalam Badan Koordinasi (Badko) HMI Jawa Tengah. Aktivitasnya dalam HMI mengantarkannya ke dalam lingkungan mahasiswa yang akrab memperbincangkan masalah agama, kebangsaan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan. Tema besar itu mendorongnya untuk banyak merenung dan terlibat dalam pergulatan pemikiran yang sangat keras.

Selanjutnya tema diskusi berkembang pada masalah yang lebih mendasar, seperti persoalan ideologi Islam dan kedudukan Islam dalam ideologi sekuler. Dalam diskusi itu, Ahmad Wahib terlibat intens. Dia pun mendapatkan peluang lebih besar lagi untuk memuaskan intelektualitasnya­ di dalam Lingkaran Diskusi Limited Group yang diasuh Dr. H A. Mukti Ali (guru besar Institut Agama Islam Negeri [IAIN] Sunan Kalijaga, Yogyakarta; salah seorang pemikir pembaru di Indonesia yang kemudian menjadi menteri Agama RI).

Lingkaran Diskusi Limited Group adalah forum diskusi yang diselenggarakan setiap Jumat sore di rumah dinas H A. Mukti Ali. Diskusi itu berlangsung antara pertengahan 1967–akhir 1971. Yang selalu hadir dalam diskusi itu dan mungkin boleh dikatakan sebagai anggota intinya adalah Ahmad Wahib sendiri, M. Dawam Rahardjo (pernah menjabat direktur LP3ES, pimpinan pusat Muhammadiyah, guru besar ekonomi Islam UIN Jakarta, rektor Unisma, pemrakarsa berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia [ICMI]), Djohan Effendi (ahli peneliti utama Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama RI), serta H A. Mukti Ali sendiri. Ketika itu rata-rata mereka berusia 20-an tahun.

Lingkaran Diskusi Limited Group juga dihadiri aktivis dan eksponen mahasiswa Islam lainnya, serta para ilmuwan dan cendekiawan muslim. Sebagai narasumber, lingkaran studi ini juga mengundang ilmuwan dan cendekiawan, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

Pada 1971, sebelum dia dapat menyelesaikan pendidikan sarjananya, dia hijrah ke Jakarta untuk mencari kerja. Di Jakarta, berbulan-bulan dia berusaha mencari pekerjaan. Bersamaan dengan itu, dia juga mengikuti kuliah filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Dia juga aktif dalam diskusi yang bermarkas di rumah M. Dawam Rahardjo, yang juga rekannya di HMI Yogyakarta. Mereka yang aktif dalam diskusi itu adalah Nurcholish Madjid, Amidhan, Wassil, kesemuanya aktivis HMI, ditambah Usep Fathuddin dan Utomo Danandjaja (kedua orang ini adalah tokoh Pelajar Islam Indonesia [PII]).

Beberapa bulan setelah itu, dia bekerja sebagai reporter majalah Tempo. Namun, sebelum sempat meniti karier kewartawanan, dia meninggal dalam usia 31 tahun, karena kecelakaan lalu lintas.

Buku catatan harian, yang diterbitkan sewindu setelah wafatnya, ditemukan beberapa saat setelah Wahib meninggal. Melalui catatan harian itu, diketahui rupanya dia bukan hanya aktif mengikuti diskusi dalam tema yang sangat luas dan beragam, tetapi juga rajin menuangkan gagasan orisinal pada catatan hariannya itu meskipun tidak konstan. Catatan harian ini merekam perjalanan hidup dan pemikirannya dari 1962–1973.

Setelah mengalami proses seleksi, catatan harian itu kemudian tampil dalam bentuk buku saku setebal 351 halaman, disunting Djohan Effendi dan Ismed Natsir. Oleh penyuntingnya, catatan harian Ahmad Wahib tersebut dibagi menjadi empat bagian: (1) Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan, (2) Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air, (3) Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan, dan (4) Pribadi yang Selalu Gelisah. Bagian pertama, bagian terpenting yang membuatnya menjadi terkenal, merupakan bagian yang paling banyak menyita halaman buku catatan harian itu (179 halaman).

Catatan harian ini menjadi buku laris dan mengundang tanggapan luas. Dalam tempo 6 bulan setelah catatan harian ini terbit, antara Juli – November 1981, 10.000 kopi buku ini terjual habis. Pada waktu yang sama, telah dipublikasikan sekitar 500 halaman tanggapan dan komentar di berbagai surat kabar dan majalah, sebagian memujinya dan sebagian sebaliknya. Tanggapan dan komentar itu juga dapat disimak melalui materi khotbah Jumat dan ceramah para mubalig di berbagai majelis taklim.

Catatan harian Ahmad Wahib sebenarnya memaparkan gagasan individu secara terbatas, bukan untuk konsumsi perdebatan publik. Dia mendiskusikan masalah besar keagamaan yang mendasar, yang pada zamannya merupakan hal tabu untuk didiskusikan. Dia juga membahas persoalan penting menyangkut masa depan kaum muslim Indonesia, dalam kerangka pandang yang memungkinkan tumbuhnya gagasan baru yang segar.

Dia sering melontarkan pendapat yang tidak biasa, terutama yang berhubungan dengan masalah agama, yang oleh sebagian orang sudah dianggap final. Inilah yang memicu perdebatan. Sebagai contoh, dia menyatakan bahwa: (1) hukum Islam itu tidak ada, yang ada ialah sejarah Muhammad SAW, dan dari sanalah tiap pribadi kita mengambil pelajaran sendiri-sendiri tentang hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia;

(2) penempatan ijmak dalam daftar sumber pembinaan hukum Islam sudah bukan waktunya lagi; (3) Al-Qur’an dan hadis bukan sumber hukum, melainkan sebagai sumber kesejarahan untuk “sejarah” Muhammad SAW, yang posisinya berada pada status yang lebih tinggi daripada Al-Qur’an dan hadis; (4) Islam hanyalah wahyu yang memuat nilai spiritual dan kemanusiaan; (5) ayat Makkiyyah memiliki signifikansi universal, sementara ayat Madaniyyah hanya memiliki aplikasi lokal (Arab); (6) ayat Al-Qur’an bersifat “transformatif”, yang perlu ditransformasikan, bukan “transmigratif”, agar pesan dasarnya melampaui ruang dan waktu;

(7) seharusnya ada banyak hadis Nabi SAW atau bahkan ayat Al-Qur’an yang tidak dipakai lagi, karena tidak diperlukan dan karena mudarat yang dikhawatirkan di situ sudah tidak ada lagi; (8) orang yang bertekad membangun sebuah masyarakat Islam yang tunggal adalah orang fanatik; dan (9) meletakkan persatuan umat sebagai cita-cita merupakan suatu kesalahan.

Wahib juga kehilangan kepercayaan kepada para ulama. Dia menyatakan bahwa yang dibahas ulama hanya bunyi hukum, tetapi kurang membahas manusia sebagai subjek hukum. Ulama kurang apresiatif terhadap antropologi, sosiologi, kebudayaan, ilmu politik, dan sebagainya. Oleh karena itu, ulama tidak berhak menetapkan hukum.

Apa yang mereka upayakan baru pada taraf interpretatif, miskin dalam bahasa, tidak mampu mengungkapkan makna Al-Qur’an, dan tidak pernah melakukan imajinasi. Mereka hanya melihat firman sebagai formula hukum. Akibatnya, dia secara tegas mengungkapkan bahwa dia menolak beberapa bunyi hukum Islam.

A.H. Johns, guru besar dan kepala Pusat Studi Asia Tenggara pada Australian National University (ANU), Canberra, Australia, menyatakan bahwa apa yang ingin dicapai Ahmad Wahib adalah pembebasan nilai spiritual Islam dari formulasi hukum Islam yang telah kehilangan makna. Catatan harian ini, menurutnya, juga menunjukkan bahwa pluralisme keagamaan telah benar-benar berkembang di Indonesia.

Apa yang dipikirkan Wahib dan kemudian dituangkannya dalam catatan hariannya itu, menurut H A. Mukti Ali, cukup mengejutkan banyak orang. Namun dalam pandangan H A. Mukti Ali (sang mentor), catatan harian Ahmad Wahib itu cukup mengesankan, bahkan mungkin dapat merangsang dan menggoda pikiran pembacanya.

Alois A. Nugroho, pengajar Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, menjulukinya “manusia soliter”. Manusia soliter diartikan sebagai manusia yang (1) memungkinkan agama berproses, memperbarui diri ke arah kedewasaan baru yang diharapkan semakin mendekatkan diri pada kebenaran; (2) memungkinkan proses menuju ke arah pemahaman agama yang lebih koheren dan rasional; (3) tidak mau berada dalam situasi yang terkekang bagi pengembangan pribadi dan pengembangan pikiran; dan (4) berusaha mengambil jarak untuk mengembara secara intelektual agar sampai pada “kesadaran dunia”.

Daya tarik Ahmad Wahib, menurut Nugroho, terutama terletak pada kegelisahan soliter untuk terus bertanya sampai pada batas pikiran yang disadari oleh pikiran itu sendiri. Inilah, menurutnya, kegelisahan intensif dan kreatif dengan bobot besar yang membuat Wahib pantas disejajarkan dengan pengembara intelektual lain.

Daftar Pustaka

Effendi, Djohan, dan Ismet Natsir, ed. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES, 1981.
John, A.H. “Sistem atau Nilai-Nilai Islam? Dari Balik Catatan Harian Ahmad Wahib,” Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 2, Vol. III, 1992.
Nugroho, Alois A. “Ahmad Wahib sebagai Manusia Soliter,” Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 3, Vol. VI, 1995.

Badri Yatim