Ahmad Khan adalah seorang tokoh pembaru umat Islam India pada abad ke-19. Nenek moyangnya berasal dari Semenanjung Arabia dan kemudian hijrah ke Herat, Persia (Iran), karena tekanan politik pada zaman Dinasti Umayah (41 H/661 M–133 H/750 M). Dari Herat mereka hijrah ke Hindustan (India) dan menetap di sana.
Kakek Sir Sayid Ahmad Khan pernah menjabat sebagai komandan militer pada masa pemerintahan Alamgir II (1754–1759). Adapun ayahnya, al-Muttaqi, adalah seorang pertapa yang saleh. Ia mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Mughal pada masa pemerintahan Akbar Syah II (1806–1837). Ahmad Khan mempunyai pertalian darah dengan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau dari keturunan Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Karena itulah ia bergelar sayid. Ibunya adalah seorang wanita cerdas dan pandai mendidik anaknya.
Ahmad Khan memulai pendidikannya dalam pengetahuan agama secara tradisional. Di samping itu ia mempelajari bahasa Persia dan bahasa Arab, matematika, mekanika, dan sejarah. Ia banyak membaca buku ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu. Hal ini menjadikannya seorang yang berpengetahuan luas, berpikiran maju, dan dapat menerima ilmu pengetahuan modern.
Pada 1838 ayah Ahmad Khan meninggal dunia. Sejak itu ia mulai bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya karena ibunya enggan menerima tunjangan pensiun dari istana. Mula-mula ia bekerja pada Serikat India Timur (The East India Company – EIC), kemudian pindah bekerja sebagai hakim di Fatehpur (1841). Selanjutnya ia dipindahkan ke Bignaur. Pada 1846 ia kembali ke Delhi. Masa 8 tahun di Delhi merupakan masa paling berharga dalam hidupnya karena ia dapat melanjutkan pelajarannya.
Ketika terjadi pemberontakan umat Hindu dan umat Islam terhadap penguasa Inggris pada 10 Mei 1857, Ahmad Khan berada di Bignaur sebagai salah seorang pegawai peradilan. Dalam peristiwa ini ia tidak ikut memberontak, bahkan ia banyak membantu melepaskan orang Inggris yang teraniaya di Bignaur. Atas jasanya, pemerintah Inggris menganugerahkan gelar Sir dan memberikan berbagai hadiah kepadanya.
Ahmad Khan menerima gelar tersebut, tetapi menolak hadiah itu, kecuali kesempatan untuk berkunjung ke Inggris pada 1869. Kesempatan ini digunakannya untuk mengamati dan meneliti lebih jauh sistem pendidikan serta menyaksikan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Inggris.
Dalam peristiwa pemberontakan pada 1857, Ahmad Khan berusaha menjelaskan kepada pemerintah Inggris bahwa umat Islam tidak memainkan peran utama dalam pemberontakan tersebut. Ia kemudian menulis dua buah buku yang memuat hal yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Buku pertama berjudul Tarikhi Sarkhasi Bijnaur (1858) yang berisi catatan kronologis pemberontakan 1857 di Bignaur. Buku kedua berjudul Asbab Bagawat Hind (1858) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, The Causes of the Indian Revolt (Sebab Pemberontakan India).
Di samping itu Ahmad Khan juga berusaha meyakinkan umat Islam India bahwa untuk kemajuan Islam mereka harus bekerjasama dengan pemerintah Inggris. Inggris memiliki kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menguntungkan umat Islam, dan umat Islam tidak akan mampu melawan pemerintahan Inggris yang telah kuat. Karena itu, ia menulis beberapa buku, antara lain adalah Risalat Khair Khawahan Musulman (Risalah tentang Orang yang Setia) dan Ahkam Ta‘am Ahl al-Kitab (Hukum Memakan Makanan Ahlulkitab).
Ahmad Khan berhasil mendamaikan umat Islam dengan pemerintah Inggris, sehingga rasa saling curiga di antara keduanya hilang. Sejak saat itu Ahmad Khan berupaya mencurahkan perhatiannya untuk kemajuan umat Islam India. Loyalitas ditunjukkannya kepada pemerintah Inggris dengan harapan kehidupan dan status sosial umat Islam dapat lebih maju. Ia berkeyakinan bahwa kerjasama dengan Inggris akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan umat Hindu. Dalam rangka ini ia menasihati umat Islam agar tidak ikut campur dalam agitasi politik yang dilakukan umat Hindu, khususnya setelah Partai Kongres Nasional India terbentuk pada 1885.
Setelah berhasil mendamaikan umat Islam dengan pemerintah Inggris, Ahmad Khan mulai memunculkan idenya dalam rangka memajukan umat Islam. Menurutnya, umat Islam terbelakang, bodoh, dan miskin, karena tidak memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagaimana yang dimiliki negara Eropa. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern dan teknologi adalah hasil pendayagunaan akal yang maksimal.
Sejalan dengan itu, Al-Qur’an sangat mendorong umat Islam untuk mempergunakan akal di bidang yang sangat luas, walaupun jangkauan akal tersebut terbatas. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia mempunyai kemampuan yang kuat dalam meraih kesejahteraan hidup. Ia juga berpendirian bahwa manusia bebas berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunatullah yang tidak berubah.
Gabungan kemampuan akal, kebebasan manusia berkehendak dan berbuat, serta hukum alam inilah yang menjadi sumber kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang terdapat di Barat. Dia berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam ini terjadi menuruti hukum kausalitas (sebab-akibat), sedangkan sebab pertama adalah Tuhan.
Karena kepercayaannya yang kuat dan kegigihannya mempertahankan konsep hukum alam ini, ia dijuluki Nechari oleh masyarakat di lingkungannya yang belum mau menerima konsep yang berasal dari nature (alam) dalam laws of nature (hukum alam) tersebut. Jamaluddin al-Afghani ketika berkunjung ke India pada 1869 berkesempatan menulis sebuah buku yang berjudul ar-Radd ‘ala ad-Dahriyyin (Jawaban bagi Kaum Materialis).
Buku ini berisi serangan terhadap pendirian Ahmad Khan tentang hukum alam. Ada kemungkinan bahwa hal ini dilakukan al-Afghani karena ia hanya menerima pengertian yang salah tentang konsep hukum alam Ahmad Khan itu.
Sejalan dengan prinsip tersebut Ahmad Khan berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka, sehingga umat Islam dapat berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan prinsip ini, Ahmad Khan berusaha memajukan umat Islam India. Ia melihat bahwa prinsip ini jugalah yang membuat umat Islam mencapai puncak kemajuannya pada masa lampau.
Menurut Ahmad Khan, satusatunya cara untuk mengubah pola pikir umat Islam India dari keterbelakangannya adalah pendidikan. Ia mencurahkan perhatiannya pada bidang ini hingga akhir hayatnya. Lembaga pendidikan yang pertama kali didirikannya adalah Sekolah Inggris di Mudarabad pada 1861. Untuk menunjang lembaga pendidikan tersebut, Ahmad Khan pada 1864 mendirikan The Scientific Society (Translation Society) sebagai lembaga penerjemahan ilmu pengetahuan modern ke dalam bahasa Urdu.
Ia juga membentuk Panitia Peningkatan Pendidikan Umat Islam dan Panitia Dana Pembentukan Perguruan Tinggi Islam. Berdasarkan pengalaman yang diperolehnya di Inggris (1869), Ahmad Khan mendirikan Sekolah Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC) pada 1878, yang kemudian berkembang menjadi Muslim University of Aligarh. Dua tahun sebelumnya, ia mengundurkan diri dari kepegawaian pemerintahan Inggris untuk mencurahkan perhatian pada lembaga pendidikan ini. Sekolah ini merupakan karya yang sangat bersejarah dan berpengaruh dalam memajukan umat Islam India.
Di sekolah ini bukan hanya ilmu pengetahuan umum yang diajarkan, tetapi pendidikan dan pelajaran agama juga sangat dipentingkan. Di samping orang Islam, siswanya juga terdiri dari orang Kristen, Hindu, dan Parsi (Persia). Pada 1886 ia membentuk Muhammedan Educational Conference dalam usaha mewujudkan pendidikan nasional yang seragam untuk umat Islam India.
Untuk menyebarluaskan ide pembaruannya, Ahmad Khan menerbitkan majalah bulanan Tahdzib al-Akhlaq (Penyempurnaan Akhlak) pada 1870. Di samping itu, ia juga banyak menulis buku. Di bidang sejarah, ia menulis Asar as-Sanadid (1874) yang berisi arkeologi di Delhi, Jami-i Jam (1840) yang berisi sejarah ringkas keluarga raja Mughal, dan Essays on the Life of Muhammad (1870). Di bidang agama, antara lain ia menulis Tafsir Al-Qur’an (6 jilid; 1882, 1885, 1888, 1892, dan 1895), Ibtal al-Gulam (1890) yang berisi penghapusan perbudakan dalam Islam, dan Tabyin al-Kalam (1862) tentang Bibel.
Secara politis Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam tidak mungkin bersatu dengan umat Hindu dalam satu negara. Umat Islam merupakan komunalitas yang berbeda. Ia berpendapat bahwa umat Islam India harus mempunyai negara sendiri, terpisah dari umat Hindu. Dari pemikiran dan usaha yang dilakukan Ahmad Khan inilah muncul bibit ide pendirian Pakistan pada abad ke-20.
Daftar Pustaka
Ahmad, Aziz. An Intellectual History of Islam in India. Edinburgh: The University Press, 1969.
Albiruni, A.H. Makers of Pakistan and Modern Muslim India. Pakistan: Muhammad Ashraf, 1950.
Amin, Ahmad. Zu‘ama’ al-Islah fi al-‘Asr al-Hadis. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Baljon, J.M.S. Sajjid Ahmad Khan Seorang Islam Modern dan Pembaharu Sosial. Jakarta: Djambatan, 1951.
Gibb, Hamilton A.R. Modern Trends in Islam. New York: Octagon Books, 1978.
Graham, G.F.I. The Life and Work of Syed Ahmad Khan. Delhi: Idarat-i Adabiyat-i Delhi, 1974.
Holt, P.M. Cambridge History of Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 1977.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Rahman, Fazlur. Islam. New York: Chicago University Press, 1979.
Smith, Wilfred Cantweel. Modern Islam in India: A Social Analysis. London: Victor Gollancy Ltd., 1946.
Nasrun Haroen