Salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang sangat memperhatikan kaum mustad’afin (orang lemah, fakirmiskin) adalah Abu Zarr al-Giffari. Ia dipandang sebagai tokoh perintis hidup zuhud dari kalangan sahabat. Nama lengkapnya adalah Jundab bin Junadah bin Qays bin Amru.
Abu Zarr al-Giffari termasuk ahl as‑suffah, yaitu sekelompok sahabat yang tinggal di serambi Masjid Nabawi, yang senantiasa beribadah, menarikan dunia, dan menolak mencari nafkah. Tentang ahl as‑suffah itu Allah SWT berfirman dalam surah al‑An‘am (6) ayat 52, yang berarti: “Janganlah kamu mengusir orang‑orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridaan‑Nya.”
Abu Zarr berasal dari Giffar, sebuah perkampungan di antara Mekah dan Yatsrib (Madinah). Penduduknya adalah orang Badui penunggang kuda yang tangkas. Pada zaman Jahiliah, penduduk Giffar sering merampok kafilah perda gangan yang lewat. Sebelum masuk Islam, Abu Zarr adalah pemimpin perampok dari Giffar yang hanya merampok orang kaya dan hasilnya diberikan kepada fakir miskin.
Masuk Islamnya Abu Zarr bermula ketika saudaranya yang bernama Anis al‑Giffari pulang dari Mekah. Kepada Abu Zarr, Anis menceritakan bahwa ia bertemu dengan seorang nabi (maksudnya Nabi Muhammad SAW), yang menyebarkan agama yang ajarannya sama seperti yang diamalkan Abu Zarr, yaitu mewajibkan orang kaya memberikan sebagian hartanya kepada fakir miskin. Seperti Abu Zarr, nabi pembawa agama baru itu sangat mengecam orang yang tidak memperhatikan orang lemah, seperti anak yatim dan fakir miskin.
Kemudian Abu Zarr datang ke Mekah dan secara terangterangan mengucapkan kalimat syahadat di dekat Ka’bah, padahal para sahabat ketika itu masih sembunyi‑sembunyi menyatakan keislamannya karena ada ancaman penganiayaan dari kaum musyrik Mekah. Setelah mengucapkan kalimat syahadat, Abu Zarr disiksa kaum musyrik Mekah sampai berdarah. Setelah menyatakan keislamannya, ia kembali ke kampung halamannya dan mengajak sanak keluarga dan kerabat dekatnya masuk Islam.
Beberapa bulan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, Abu Zarr membawa rombongannya dari kabilah Giffar dan Aslam ke Madinah. Mereka menyatakan sumpah setia kepada Nabi SAW. Kesetiaan Abu Zarr kepada Nabi SAW terlihat dalam perjalanan pasukan muslimin menuju medan Perang Tabuk melawan Kerajaan Bizantium. Ketika itu sedang berlangsung musim panas yang sangat kering. Dalam perjalanan tersebut, keledai Abu Zarr melemah sehingga tertinggal di belakang rombongan.
Abu Zarr kemudian meninggalkan keledainya dan memikul sendiri bawaannya dengan terseok‑seok. Akibatnya ia tertinggal jauh dari rombongan Nabi SAW. Ketika rombongan Nabi SAW sedang beristirahat, seorang sahabat melihat kepulan debu jauh di belakang. Nabi SAW dan para sahabatnya berharap itu Abu Zarr, karena ia tidak kelihatan di antara rombongan. Begitu tiba di hadapan Nabi SAW, ia roboh. Bibirnya kering kehausan.
Setelah ia diberi air minum dan menjadi sadar, ditemukan kantong airnya penuh dengan air. Ketika Nabi SAW bertanya mengapa tidak ia minum, ia menjawab, “Di tengah perjalanan aku menemukan mata air. Lalu aku meminumnya sedikit dan merasakan kelezatan yang luar biasa. Setelah itu aku bersumpah, tidak akan meminumnya lagi sebelum Nabi meminumnya terlebih dahulu.”
Kelihatan perasaan haru di wajah Nabi SAW. Kemudian, seperti memandang jauh ke depan, Nabi SAW berkata, “Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan mati dalam kesendirian. Tetapi serombongan dari Irak yang saleh kelak akan mengurus pemakamanmu.”
Setelah Nabi SAW wafat, Abu Zarr merupakan salah seorang sahabat yang memperkuat pasukan muslim. Ia juga termasuk di antara pasukan Amr bin As (w. 663) yang melakukan penaklukan Mesir pada masa Khalifah Umar bin Khattab (w. 644).
Atas partisipasinya ini, ia dan rekan‑rekannya mendapat bagian sebidang tanah di Fustat, Mesir. Akan tetapi, tanah bagiannya tersebut ditinggalkannya dan ia memilih bertempat tinggal di Hijaz. Bersama Miqdad bin Amr (w. 34 H/655 M), Ammar bin Yasir (w. 37 H/658 M), dan Salman al‑Farisi (w. 35 H/656 M), ia menjadi empat ksatria kelompok Ali bin Abi Thalib.
Sikap peduli terhadap mustad’afin merupakan ciri hidupnya sejak sebelum masuk Islam. Kalau pada zaman sebelum masuk Islam ia menunjukkan sikap itu dengan merampok para saudagar kaya dan membagikan hasil rampokannya kepada fakir miskin, setelah masuk Islam kepeduliannya itu diungkapkan dengan cara melakukan ajakan dan kritik yang tak hentinya kepada para penguasa dan orang kaya yang tidak mempedulikan fakir miskin.
Abu Zarr mengkritik pedas gaya kepemimpinan Khalifah Usman bin Affan (w. 656) yang banyak mengangkat pejabat dari kalangan keluarganya dengan gaya hidup yang dianggapnya mewah. Ia juga mengkritik para penguasa yang dengan seenaknya mempergunakan uang rakyat. Di dalam sistem administrasi keuangan kekhalifahan ketika itu dikenal istilah mal al‑muslimin (harta umat Islam) untuk menyebut harta kekayaan negara yang tersimpan di Baitulmal (Perbendaharaan Negara).
Para penguasa ketika itu ingin mengubah istilah itu dengan mal Allah (harta Allah) agar lebih terasa sakral. Melihat gelagat perilaku penguasa yang cenderung korup itu, Abu Zarr menentang perubahan istilah itu dengan alasan bahwa suatu ketika boleh jadi mereka akan merampas harta umat Islam dengan dalih untuk harta Allah SWT.
Dalam suatu kunjungannya ke Damascus pada 32 H/652 M, Abu Zarr menyaksikan Gubernur Mu‘awiyah bin Abu Sufyan (w. 680) membangun istana gubernur yang sangat megah. Abu Zarr berkata kepada Mu‘awiyah, “Kalau engkau membangun istana dengan hartamu, itu berlebih-lebihan. Kalau engkau membangun dengan harta rakyat, engkau berkhianat.” Kritik itu dilontarkannya setiap hari di depan pintu rumahnya.
Karena kritiknya yang pedas itu, Abu Zarr dikirim oleh Mu‘awiyah kepada Khalifah Usman di Madinah. Oleh Khalifah Usman, Abu Zarr beserta keluarganya dibuang ke Rabadzah, sebuah padang gersang, jauh di luar kota Madinah. Dalam perjalanan menuju pembuangan itu, Ali bin Abi Thalib, sahabatnya yang turut mengantarnya di samping para petugas, berkata, “Wahai Abu Zarr, engkau takut kepada mereka karena dunianya. Mereka takut kepada engkau karena keyakinanmu.”
Kematiannya persis seperti yang diramalkan Nabi SAW. Di Rabadzah, Abu Zarr kelaparan. Mula‑mula istrinya wafat. Sebelum Abu Zarr mengembuskan napasnya, ia berpesan kepada anaknya,“Pergilah ke atas bukit sana, di sana ada orang Irak yang akan mengurus penguburanku. Sampaikan kepada mereka, jangan kafani aku dengan kain kafan yang dibeli dari upah pegawai pemerintah.”
Di kalangan sufi, Abu Zarr dipandang sebagai perintis gaya hidup sufi. Sepanjang hidupnya ia memilih hidup dalam kefakiran, meskipun ia punya peluang untuk hidup kaya. Bagi sufi, kefakiran menduduki derajat tinggi di jalan kebenaran dan orang fakir sangat mereka hargai.
Mereka merujuk firman Allah SWT dalam surah al‑Baqarah (2) ayat 273, yang berarti: “Kepada orang‑orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka kaya, karena memelihara diri dari minta‑minta….”
Demikian pula mereka merujuk firman Allah SWT dalam surah as‑Sajdah (32) ayat 16, yang berarti: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan penuh rasa takut dan harap….”
Karena pemihakannya kepada orang kecil, kalangan sosiolog memandang Abu Zarr sebagai pelopor sistem masyarakat sosialis atau “Islam kiri”. Selain itu, di kalangan ahli hadis, Abu Zarr dikenal sebagai periwayat hadis. Ia meriwayatkan 281 hadis Nabi SAW, 31 di antaranya diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Daftar Pustaka
al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl bin Hajar. Tahdzib at-Tahdzib. Hyderabad: Majlis Da’irat al-Ma‘arif Nizamiyah al-Ka’inah fi al-Hind, 1327 H/1909 M.
Haekal, Muhammad Husain. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Ibnu al-Asir. al-Kamil fi at-Tarikh. Beirut: Dar Sadir, 1965.
–––––––. Usd al-Gabah fi Ma‘rifah as-Sahabah. Cairo: asy-Sya‘b, t.t.
Ibnu Kasir, al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il. al-Bidayah wa an-Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Khalid, Khalid Muhammad. Rijal haul ar-Rasul. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Atjeng Achmad Kusaeri