Abi Thalib

(85 SH/540 M–3 SH/619 M)

Abi Thalib adalah paman Nabi Muhammad SAW dari pihak ayah. Ia banyak membantu perjuangan Nabi SAW pada permulaan dakwah Islam. Nama lengkapnya Abdul Manaf bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Ia adalah salah seorang di antara dua belas orang anak laki-laki Abdul Muthalib, pemimpin Quraisy ketika itu.

Di kalangan suku Quraisy, Abi Thalib termasuk orang yang disegani dan dihormati, bukan hanya karena ia putra Abdul Muthalib, melainkan juga karena memiliki sifat yang mulia, murah hati, dan senang membantu orang lain. Setelah ayahnya, Abdul Muthalib, meninggal dunia (578), tugas untuk mengelola lembaga pajak (rifadah) diserahkan kepadanya.

Rifadah ini merupakan lembaga yang menyiapkan makanan bagi orang miskin yang berkunjung ke Mekah untuk berhaji setiap tahun dan juga bagi para tamu yang berziarah ke Mekah di luar musim haji.

Dibandingkan dengan saudaranya yang lain, Abi Thalib bukan yang tertua dan bukan pula yang lebih mampu, bahkan ia paling miskin. Menurut Muhammad Husain Haekal (Mesir, 1888–1956), seorang ahli sejarah dan penulis riwayat Nabi Muhammad SAW, Haris adalah saudaranya yang tertua, tetapi tidak seberapa mampu, sedangkan Abbas adalah saudaranya yang kaya dan mampu, tetapi kikir dengan kekayaannya.

Walaupun demikian, dialah yang diserahi tugas oleh ayahnya untuk memelihara dan mengasuh Muhammad ketika masih kecil dan setelah menjadi yatim piatu. Abi Thalib mengasuh Muhammad dengan penuh kasih sayang dan tidak membedakannya dari anak kandungnya.

Setelah Muhammad beranjak dewasa, ia mengajaknya pergi berdagang ke Syam (Suriah). Dalam perjalanan ini keduanya bertemu dengan pendeta Nasrani yang bernama Bahira. Pendeta ini menasihatkan Abi Thalib agar memelihara kemenakannya dengan baik dan berhati-hati ketika memasuki daerah Syam, sebab ia melihat tanda kenabian pada diri Muhammad sesuai dengan petunjuk cerita Nasrani yang dibacanya.

Bahira khawatir orang Yahudi akan berbuat jahat terhadap kemenakan Abi Thalib itu. Dari sinilah Muhammad yang kelak menjadi nabi mempunyai pengalaman dagang. Dari pengalaman ini ia dapat melakukan usaha dagang sendiri dengan mendapatkan pinjaman modal dari Khadijah binti Khuwailid, seorang janda kaya di Mekah. Muhammad tinggal dan hidup bersama keluarga Abi Thalib sampai menikah dengan Khadijah. Lamaran Muhammad kepada Khadijah disampaikan Abi Thalib sendiri.

Ketika Muhammad diangkat menjadi nabi dan rasul dan menyerukan dakwah Islam kepada kalangan Arab Quraisy, Abi Thalib mempunyai peranan yang besar dalam melindungi dan membela perjuangan Nabi SAW. Pada masa itu Nabi SAW mendapat tantangan dari para pemuka Quraisy. Tantangan terberat justru datang dari Abu Lahab, yakni paman Nabi SAW sendiri, atau saudara Abi Thalib.

Meskipun tidak pernah menyatakan diri masuk Islam, Abi Thalib tidak melarang putranya, Ali bin Abi Thalib, mengikuti ajakan Nabi SAW untuk masuk Islam. Pada suatu hari ia melihat putranya melakukan salat, dan setelah selesai salat ia bertanya kepada Nabi SAW tentang agama yang diajarkan Nabi SAW. Nabi SAW kemudian menjelaskan agama yang dibawanya. Lalu Abi Thalib mengatakan bahwa ia merasa berat meninggalkan agama nenek moyang mereka yang sudah diwarisi turun-temurun, tetapi ia akan membantu dan membela kemenakannya dari orang yang akan mengganggu perjuangannya.

Diceritakan bahwa pada suatu hari para pemuka Arab Quraisy datang kepada Abi Thalib dan memaksanya untuk memilih satu di antara dua: melarang Muhammad SAW melanjutkan dakwahnya atau membiarkan mereka untuk menumpasnya. Menurut mereka, salah satu harus binasa.

Ancaman para pemuka Quraisy ini tidak digubris Abi Thalib. Oleh karena itu, pada kesempatan lain para pemuka Quraisy menawarkan kepada Abi Thalib agar mau mengganti Muhammad SAW dengan Imarah bin Walid bin Mugirah sebagai anak angkatnya. Permintaan ini ditolak oleh Abi Thalib dengan menjawab, “Alangkah piciknya permintaan kalian. Bagaimana mungkin aku bisa memberikan Muhammad kepada kalian dan menerima orang lain untuk kuasuh.”

Karena kekerasan Abi Thalib membela perjuangan Nabi Muhammad SAW, orang Quraisy melakukan pemboikotan terhadap Nabi SAW dan para pengikutnya di Mekah. Pemboikotan ini menyebabkan penderitaan berat, bukan hanya bagi Nabi SAW dan pengikutnya, melainkan juga bagi Abi Thalib, sehingga Nabi SAW merasa iba kepada pamannya itu.

Walaupun demikian, semangat Nabi Muhammad SAW tidak pernah kendur melaksanakan dakwahnya, bahkan ia mengatakan kepada pamannya, “Wahai pamanku, kalaupun para pemuka Quraisy meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan maksud agar aku meninggalkan tugas ini, sungguh aku tidak akan mundur. Biarlah Allah yang akan membuktikan siapa yang benar di antara kami.”

Mendengarkan ketegasan Nabi SAW itu, Abi Thalib merasa kagum dan berkata, “Wahai anakku, katakanlah sekehendakmu. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan menyerahkanmu kepada kaum Quraisy itu.” Dengan pernyataan Abi Thalib ini, Nabi SAW merasa memperoleh semangat untuk tetap melanjutkan perjuangannya menegakkan syiar dan dakwah Islam.

Abi Thalib meninggal dunia dalam usia sekitar 80 tahun (619). Peristiwa ini sangat memukul perasaan Nabi SAW seh-ingga Nabi SAW berada dalam dukacita yang sangat dalam. Apalagi, selain Abi Thalib, pada tahun itu Khadijah juga meninggal, padahal keduanya merupakan tulang punggung dan perisai perjuangan Nabi SAW. Oleh karena itu, tahun itu disebut ‘am al-khuzn (tahun dukacita).

Nabi SAW sangat menyesal karena pamannya meninggal sebelum menyatakan diri masuk Islam. Diceritakan bahwa Nabi SAW pernah berdoa kepada Allah SWT agar hati pamannya ditunjukkan kepada Islam. Tetapi Allah SWT kemudian menurunkan firman-Nya yang menegaskan bahwa tugas Nabi SAW hanya menyampaikan dakwah dan Tuhanlah yang memberikan petunjuk kepada manusia (QS.28:56).

Menurut pendapat golongan Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah, Abi Thalib itu sebenarnya telah masuk Islam. Mereka memberi alasan bahwa ketika dalam sakratulmaut, Abi Thalib sempat menggerakkan bibirnya mengucapkan kalimat syahadat dan didengar Abbas bin Abdul Muthalib, saudaranya yang telah memeluk Islam. Alasan lainnya, Abi Thalib sudah masuk Islam tetapi sengaja menyembunyikan keislamannya terhadap orang Quraisy demi kepentingan Islam.

Abi Thalib mempunyai beberapa anak, yaitu Ja‘far, Ali, Uqail, Thalib, Ummu Hani, dan Yamanah. Ja‘far, Ali, dan Uqail telah banyak berperan membantu Nabi SAW dalam menyiarkan Islam. Ja‘far ikut hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Ali sejak awal penyiaran Islam banyak membantu Nabi SAW dalam berbagai hal. Uqail juga ikut serta dalam peperangan yang dilakukan Nabi SAW.

Daftar Pustaka

Ali, Maulana Muhammad. Hayah Muhammad wa Risalatih, terj. Munir al-Ba’albaki. Beirut: Darul ‘Ilm lil Malayin, 1967.
al-Buti, Muhammad Said Ramadan. Fiqh as-Sirah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Haekal, Muhammad Husain. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Ibnu Hisyam, Abdul Malik bin Hisyam al-Himyari. as-Sirah an-Nabawiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halami, 1355 H/1936 M.
al-Matnawi, Ibrahim Abdul Fattah. as-Sirah an-Nabawiyyah:­ Tarikh wa Qur’an wa Sunnah, al-‘Ahd al-Makki. Cairo: Jamiah al-Azhar, t.t.
an-Nadwi, as-Sayid Sulaiman. ar-Risalah al-Muhammadiyyah wa Hiya Samani Muhadarat fi as-Sirah an-Nabawiyyah wa Risalah al-Islam. Damascus: Maktabah Dar al-Fath, 1393 H/1973 M.
an‑Nasir, Sayed Mahmud. Islam: Its Concepts and History, atau Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi. Bandung: Rosda, 1988.
Syalabi, Ahmad. Mausu‘ah at-Tarikh al-Islami wa al-Hadarah al-Islamiyyah. Cairo: al-Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
–––––––. Studi Konprehensif tentang Agama Islam, terj. Syamsuddin Manaf. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Ziyadah, Mahmud Muhammad. Dirasah fi at‑Tarikh al‑Islami: al‑‘Arab Qabl al‑IsIam as‑Sirah an‑Nabawiyyah al‑Khilafah ar‑Rasyidah. Cairo: Dar at‑Ta’lif al‑Maliyah, 1969.

Musdah Mulia