Abdus Salam

(Pakistan, 29 Januari 1926 – Inggris, 21 November 1996)

Ilmuwan muslim pertama penerima hadiah Nobel adalah Abdus Salam. Sebagai fisikawan, pada 1979 ia menerima hadiah Nobel berkat ketekunannya dalam mengembangkan teori elektromagnetik. Menurut Abdus Salam, sangat penting saintifikasi umat Islam, yakni mencetak para ilmuwan muslim dengan mengirim siswa muslim untuk belajar di negeri sains dan teknologi.

Abdus Salam adalah seorang jenius yang berhasil meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D)-nya dalam bidang fisika teori dalam usia yang amat muda, 26 tahun. Gelar doktor ini ia peroleh dari Universitas Cambridge, Inggris. Ketekunan Abdus Salam dalam melakukan penelitian di bidang fisika teori ini telah membuahkan penghargaan baginya sebelum ia meraih gelar doktor.

Dua tahun sebelum meraih gelar doktor, ia mendapatkan penghargaan Smith Prize (lembaga yang menekuni masalah fisika) dari universitas tempat ia belajar. Di samping itu, antara 1957–1982 ia dianugerahi Doctor of Science Honoris Causa (doktor kehormatan dalam bidang ilmu pengetahuan) dari berbagai universitas atas jasanya dalam dunia ilmu pengetahuan. Sejak 1964 ia menjabat direktur International Center for Theoretical Physics yang berkedudukan di Trieste, Italia.

Atas jasanya di bidang ilmu pengetahuan ia dianugerahi berbagai penghargaan dan diangkat menjadi anggota kehormatan berbagai akademi dan perkumpulan ilmiah, antara lain Adam’s Prize Award dari Universitas Cambridge (1958); Royal Medal dari Royal Society, London (1978); anggota kehormatan Akademi Tiberina, Roma (1979); anggota kehormatan Masyarakat Fisika Korea (1979); anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan, Kesenian, dan Kemanusiaan Eropa di Paris (1980); dan anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Lisbon (1981).

Pada 1957–1993 ia menjadi guru besar fisika teoritis di Imperial College of Science and Technology di London. Ia juga mendirikan International Centre for Theoretical Phyusics di Trieste, Italia, dan menjadi direktur lembaga tersebut sejak 1964–1993. Di lembaga tersebut ia berusaha keras mendidik ilmuwan muda terutama dari Dunia Ketiga.

Para ilmuwan sejak puluhan tahun yang lalu telah mengetahui adanya empat macam gaya fundamental di jagat raya ini yang jarak kerja (range) serta kekuatannya berbedasatu sama lain: pertama, gaya gravitasional yang merupakan gaya terlemah dan mempunyai jarak kerja yang amat jauh menjangkau segenap alam semesta; kedua, gaya elektromagnetik yang jauh lebih kuat dari gaya gravitasional, namun jarak kerjanya cukup pendek; ketiga, gaya nuklir jenis kuat atau gaya inti yang mengikat proton dan neutron dalam inti atom; dan keempat, gaya nuklir jenis lemah yang bekerja pada, misalya, peluruhan radioaktif dengan memancarkan partikel beta.

Gaya nuklir jenis kuat dan jenis lemah menjamin ke-selarasan gerak zarah (partikel) penyusun inti atom dan kemantapan zarah itu sendiri. Hasil penelitian Abdus Salam memberi indikasi yang kuat bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan yang terlalu prinsipiil antara gaya nuklir dan kelistrikan. Bentuk energi nuklir jenis lemah sebenarnya identik dengan bentuk energi elektromagnetik.

Kebenaran teori yang dikemukakan Abdus Salam ini didukung oleh hasil eksperimen laboratoriu Riset Eropa di Genewa pada 1973 tentang adanya interaksi “arus netral” yang merupakan bagian pokok dari prediksi teori penemuan Abdus Salam, yaitu “teori medan terpadu”.

Pada 1978, eksperimen di Pusat Akselerator Linier, Stanford, Amerika Serikat, lebih memperkuat lagi teori Abdus Salam ini. Eksperimen tersebut menunjukkan bahwa interferensi antara interaksi elektromagnetik dan interaksi lemah antara elektron dan proton terjadi sesuai dengan ramalan teori Abdus Salam tersebut. Kemudian hasil eksperimen dari para fisikawan di Amerika Serikat, Uni Soviet, dan laboratorium Eropa, menambah keyakinan akan kebenaran teori Abdus Salam tersebut.

Bagi Abdus Salam, penemuannya tersebut bukanlah garis final dari sebuah reli intelektual yang teramat panjang, karena pada gilirannya akan tiba pada sasaran –yang merupakan sebuah kerja raksasa dan amat rumit– bagaimana menyatukan gaya gravitasional dengan gaya elektronuklir yang kuat. Dalam kaitan inilah Abdus Salam begitu gencar mengimbau generasi muda muslim di berbagai negara muslim untuk mampu dan siap menjawab tantangan ini.

Dalam kaitan ini ia dengan beberapa orang temannya merintis rumusan untuk diadakannya eksperimen lanjutan yang dapat digunakan untuk menguji apakah bentuk dasar energi ketiga (gaya nuklir jenis kuat) juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari kesatuan ini.

Sebagai seorang ilmuwan besar muslim di abad ini, Abdus Salam secara aktif menyumbangkan ilmu pengetahuan dan teorinya tersebut, dengan harapan untuk dikembangkan oleh intelektual muda muslim di berbagai negara Islam, antara lain Irak, Maroko, Bangladesh, India, dan di negeri asalnya sendiri, Pakistan.

Gagasan islamisasi pengetahuan yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan, khususnya di dunia Islam, tampaknya kurang mendapat dukungan dari Abdus Salam karena ia adalah salah seorang penganut universalisme sains. Namun demikian, ia mempunyai kesamaan pandangan dan penghargaan yang tinggi terhadap tradisi ilmiah Islam klasik serta pemikiran yang berorientasi ke depan.

Bagi Abdus Salam, yang penting bukanlah islamisasi sains, tetapi saintifikasi umat Islam. Artinya, ilmuwan muslim harus dihasilkan lebih banyak dengan cara mengirim siswa muslim untuk belajar di negeri-negeri yang kini menjadi pusat perkembangan sains dan teknologi.

Menurut Abdus Salam, ilmu modern yang berkembang di Barat sekarang sebenarnya merupakan warisan Griko-Islami (ilmu orang Yunani yang dikembangkan oleh orang Islam). Upaya pengiriman siswa muslim ke pusat sains dan teknologi tersebut harus dimulai dengan pengembangan pendidikan di negeri muslim sendiri, antara lain melalui pengadaan guru yang bermutu dan penyediaan alat dan prasarana yang andal.

Dalam kaitan ini Abdus Salam mengimbau dunia Islam agar membentuk suatu lembaga dana Islam untuk membiayai siswa muslim yang berbakat dari berbagai belahan dunia Islam, tanpa dibarengi fanatisme etnik, ras, dan bangsa.

Menurutnya, dana Islam untuk pengembangan sains dan teknologi muslim ini dapat didirikan asal saja negeri muslim, yang pendapatan negaranya cukup tinggi, bersedia menyumbangkan sebagian kekayaannya untuk tujuan yang islami ini.

Daftar Pustaka

Abdus Salam. Sains dan Dunia Islam, terj. Ahmad Baiquni. Bandung: Pustaka, 1402 H/1982 M.
al-Attas, Syed Muhammad Naquib, ed. Islam and Secularism, atau Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo Djojosuwarno. Bandung: Pustaka, 1401 H/1981 M.
Baiquni, Ahmad. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern. Bandung: Pustaka, 1983.
Nasr, Sayyed Hossein. Encounter of Man and Nature. London: Allen & Unwin, 1968.
Sardar, Zainuddin. Masa Depan Islam. Bandung: Pustaka, 1987.

Nasrun Haroen