Abdurrahman Siddiq Al-Banjari

(Martapura, Kalimantan Selatan, 1284 H/1857 M – Indragiri Hilir, Riau, 1371 H/1939 M)

Abdurrahman Siddiq al-Banjari adalah seorang ulama, dai, pendidik, petani, mufti Kerajaan Indragiri, penulis, dan guru di Masjidilharam (Mekah). Nama lengkapnya adalah Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Afif bin Muhammad bin Jamaluddin al-Banjari. Ia menulis banyak buku, antara lain tentang tasawuf, akidah, akhlak, fikih, keutamaan ilmu, dakwah, dan sejarah.

Dilihat dari keturunan ayahnya, Abdurrahman Siddiq al-Banjari masih termasuk dalam keluarga sultan Banjar. Ibunya, Safura binti Syekh Haji Muhammad Arsyad bin Haji Muhammad As’ad, adalah cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, penulis ki­tab Sabil al-Muhtadin (Jalan Orang yang Mendapat Petunjuk).

Ibunya wafat ketika Abdurrahman berusia 2 bulan. Kemudian ia diasuh bibinya, Sa’idah. Da­lam usia 8 tahun ia sudah khatam membaca Al-Qur’an. Selanjutnya ia belajar di Pesantren Pagar Alam di Martapura. Hanya sebentar di pesantren tersebut, kemudian ia belajar pada pamannya, Abdurrahman Muda. Selanjutnya ia mempelajari Kitab Kuning (kitab klasik yang ditulis dalam bahasa Arab) kepada Syekh Said Wali.

Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan di Mekah tertunda karena adanya pergolakan di Kesultanan Banjar. Pada 1860 Belanda menghapuskan kesultanan, sebagai akibat dari perlawanan rakyat Banjar (Perang Banjar, 1859–1905). Belanda dapat mematahkan perlawanan rakyat itu dan semakin memonopoli perekonomian rakyat, bahkan rakyat disuruh kerja paksa (dalam istilah Banjar disebut irakan).

Baru pada usianya yang ke-25, atas bantuan pamannya, Haji Mohammad Sa’ad, Abdurrahman bisa berangkat ke Mekah.

Di Mekah, ia berguru selama 5 tahun, antara lain kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (dikenal sebagai pembaru pemikiran Islam di Sumatera Barat) dan Syekh Said Bakri Syata yang kemudian memberinya gelar Ash-Shiddiq (benar). Selanjutnya, ia pergi ke Madinah dan bermukim di sana selama 2 tahun, lalu kembali lagi ke Mekah.

Di Mekah, Abdurrahman dipercaya untuk mengajar di Masjidilharam atas pengangkatan pemerintah Arab Saudi seperti yang pernah diberikan sebelumnya kepada Syekh Ahmad Khatib. Abdurrahman hanya setahun mengajar di Mekah, kemudian pulang ke Tanah Air bersama Syekh Ahmad Khatib.

Ketika Syekh Ahmad Khatib akan kembali lagi ke Mekah, Abdurrahman sempat menemui gurunya itu di Batavia (Jakarta). Pada kesempatan itu juga Abdurrahman sempat bertemu Sayid Usman, mufti Batavia yang pernah dikecam Ahmad Khatib karena fatwanya yang dipandang terlalu memenuhi keinginan pemerintah Hindia Belanda. Abdurrahman pernah diminta Sayid Usman untuk menggantikan kedudukannya sebagai mufti Batavia, tetapi ia menolaknya dengan bijak.

Pada 1898, Syekh Abdurrahman bermukim di Bangka untuk mengembangkan ilmunya dan berdakwah sambil mulai menulis kitab. Pada suatu kesempatan, ketika Syekh Abdurrahman berkunjung ke Singapura, ia bertemu dengan Haji Muhammad Arsyad, saudagar kaya yang berasal dari Banjar yang bermukim di Indragiri. Muhammad Arsyad inilah yang memohon agar Syekh Abdurrahman bersedia bermukim di Indragiri untuk menjadi pembimbing rohani masyarakat di sana.

Sebelum pindah ke Indragiri, Syekh Abdurrahman sempat pergi ke Batavia pada sekitar tahun 1907 dan bertemu dengan tokoh Sarekat Islam, antara lain Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto.

Syekh Abdurrahman pindah ke Indragiri, bermukim di Sapat, suatu delta Sungai Indragiri. Dengan berdakwah dan mengajar agama, ia memelopori pembukaan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa. Tindakan Syekh Abdurrahman ini masih tercatat dalam cerita rakyat Indragiri.

Dalam cerita tersebut, Syekh Abdurrahman yang dikenal dengan sebutan Tuan Guru, digambarkan mempunyai kekuatan batin yang luar biasa untuk mengusir makhluk halus, sehingga lahan yang tadinya dipandang masyarakat sebagai tempat angker dapat digarapnya. Untuk kepentingan perkebunan rakyat itu, Tuan Guru memelopori pembuatan parit yang terkenal dengan nama Parit Hidayah (Parit Petunjuk).

Di Sapat, Tuan Guru Syekh Abdurrahman Siddiq mendirikan masjid dan madrasah pertama di Indragiri. Madrasahnya menampung murid dari daerah sekitar, Kalimantan, Malaysia, dan Singapura dengan tidak dipungut bayaran. Biaya madrasah diperoleh dari hasil kebun kelapanya. Dari 120 baris kelapa yang ditanamnya (1 baris sebanyak 400 batang), 75 baris di antaranya dialokasikan untuk kepentingan jalannya pendidikan agama.

Atas permintaan Sultan Mahmud Syah, setelah berkali-kali diajukan, Syekh Abdurrahman akhirnya bersedia menjadi mufti Kerajaan Indragiri dengan syarat tidak digaji dan tetap berkedudukan di Sapat. Jabatan mufti diembannya selama 17 tahun (1919–1936). Ia kemudian digantikan Gusti Alwi, muridnya sendiri.

Menurut hasil penelitian Dr. H Muhammad Nazir, kitab karangan Syekh Abdurrahman Siddiq tidak kurang dari 20 buah. Ketika Agresi B­landa I (1948), madrasah peninggalannya dibakar Belanda. Keluarga dan muridnya hanya sempat menyelamatkan sebagian karya Syekh Abdurrahman. Keadaan ini pula yang membuat karyanya yang masih selamat berserakan di tangan keluarga dan para muridnya.

Ketika UU. Hamidy, budayawan Riau, dan kawannya menginventarisasi naskah kuno di Riau, mereka menemukan 5 kitab karangan Syekh Abdurrahman Siddiq. Secara terpisah, Haji M. Syafi’i Abdullah (tokoh Syarikat Islam Riau) menemukan 10 judul karya Syekh Abdurrahman, beberapa di antaranya yang juga ditemukan UU. Hamidy.

Sampai sekarang, karya Syekh Abdurrahman yang sudah ditemukan berjumlah 14 judul, yaitu:
(1) Fat  al-‘Alim fi Tartib at-Ta‘lim, berisi tentang tuntutan bagi orang yang akan menuntut ilmu, selesai ditulis 10 Syakban 1324;
(2) Risalah ‘Amal Ma‘rifah, kitab tentang tasawuf, selesai ditulis tahun 1332 H/1914 M di Sapat;
(3) Risalah fi ‘Aqa‘id al-‘Iman, tentang akidah/kalam, selesai ditulis 16 Rabiulawal 1334/1916 di Sapat;
(4) Sya‘ir ‘Ibarah wa Khabar Qiyamah, tentang nasihat akhlak, ditulis dalam huruf Arab Melayu, tidak jelas kapan selesai ditulis;
(5) Asrar as-Salat fi ‘Iddat al-Kutub wa al-Mu‘tabarat, tentang fikih ibadah, dicetak di Matba‘ah Ahmadiyah, Singapura tahun 1349 H/1931 M dalam bahasa Arab Melayu;
(6) KitAb Fara ’id, selesai 10 Muharam 1338, dicetak Ahmadiyah, Singapura, tahun 1338;
(7) Majmu‘ al-Ayat wa al-Ahadis fi Fada’il al-‘Ilm, wa al-‘Ulama’ wa al-Muta‘allimin wa al-Mustami‘in, berupa kumpulan ayat dan hadis tentang keutamaan menuntut ilmu, selesai 10 Zulhijah 1345/1926 M, dicetak Ahmadiyah, Singapura, tahun 1346 H/1927 M;
(8) Mau‘izah li Nafsi wa li Amsal min al-Ikhwan, tentang kumpulan brosur dakwah dan nasihat, dicetak Ahmadiyah, Singapura, dalam tulisan Arab Melayu, pada 1355 H/1936 M;
(9) Tazkirah li Nafsi wa li Amsal, tentang kumpulan brosur dakwah dan nasihat, dicetak di Singapura tahun 1355 H/1936 M;
(10) Bai‘ al-Hayawah li al-Kafirin, tentang fikih muamalah (perdagangan), dicetak di Singapura tahun 1335 H/1917 M;
(11) Risalah Syajarah al-Irsyadiyyah wa ma Ulhiqa biha, berisi sejarah dan silsilah keluarga Syekh Arsyad al-Banjari, selesai ditulis 12 Syawal 1350/1931 M, dicetak tahun 1356 H/1937 M;
(12) Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Banjar Kalimantan Selatan, merupakan salah satu bab pada kitab Risalah Syajarah al-Irsyadiyyah wa m Ulhiqa biha;
(13) Kumpulan Khutbah, merupakan kumpulan khotbah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang di­tulis Abdurrahman Siddiq dalam bahasa Arab Melayu,­ dicetak di Singapura tahun 1933;
(14) dan Risalah Ta‘lumat Qaul al-Mukhtasar, berisi tanda-tanda kiamat yang diambil dari hadis Nabi SAW dan ungkapan ulama terdahulu, dicetak di Singapura tahun 1356 H/1937 M.

Daftar Pustaka

Abdullah, H M. Syafe’i. Riwayat Hidup dan Perjuangan Syaikh H Abdurrahman Siddiq, Mufti Indragiri. Jakarta: Serajaya, 1982.
Hamidy, UU. Naskah Kuno Daerah Riau. Pekanbaru: Depdikbud, 1983.
–––––––. Peran Suku Banjar dalam Kehidupan Sosial Budaya di Kabupaten Indragiri Hilir. Pekanbaru: LPPM Universitas Riau, 1981.
Hamzah, Amir. Lintasan Sejarah Indragiri Hilir. Tembilahan: Firma Mohammad & Sons, 1956.
Nazir, Haji. “Sisi Kalam dalam Pemikiran Islam Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari,” Disertasi Doktor Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1989.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES, 1980.

Atjeng Achmad Kusaeri