Abdurrahman Bin Auf

(wafat 31 H/652 M)

Abdurrahman bin Auf adalah seorang sahabat besar Nabi SAW, termasuk dalam sepuluh sahabat yang akan masuk surga seperti penghalang Nabi SAW (al-‘Asyarah al-Mubasysyarah). Ia adalah orang kedelapan yang masuk Islam. Yang pertama kali mendatanginya dan mengajaknya masuk Islam adalah Abu Bakar. Ia adalah keturunan Bani Zuhrah dari suku Quraisy.

Abdurrahman bin Auf masuk Islam pada permulaan dakwah, yakni sebelum Rasulullah SAW memasuki Dar al-Arqam dan dijadikan tempat pertemuan dengan para sahabatnya. Sejak masuk Islam sampai wafatnya (umur 75 tahun), ia menjadi teladan sebagai seorang mukmin besar. Hal ini menyebabkan Nabi SAW memasukkannya ke dalam ‘Asyarah al-Mubasysyarah.

Umar bin Khattab mengangkatnya menjadi anggota kelompok musyawarah yang mengumpulkan enam orang calon khalifah yang akan dipilih sebagai penggantinya, seraya berkata, “Rasulullah wafat dalam keadaan rida kepada mereka!”

Ketika Nabi SAW memerintahkan para sahabatnya hijrah ke Habasyah (Ethiopia), Abdurrahman bin Auf ikut hijrah, kemudian kembali lagi ke Mekah. Ia juga ikut hijrah untuk kedua kalinya ke Habasyah dan kemudian ke Madinah. Ia ikut serta dalam Perang Badar, Uhud, dan peperangan lainnya.

Ia memiliki watak dinamis, dan ini tampak menonjol ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah. Telah menjadi kebiasaan Nabi SAW pada waktu itu untuk mempersaudarakan dua orang sahabat, antara salah seorang dari Muhajirin dan dari Ansar. Orang Ansar membagi seluruh kekayaan miliknya dengan saudaranya orang Muhajirin, sampai-sampai tentang rumahtangga. Jika ia beristri dua orang, diceraikannya yang seorang untuk diperistri saudaranya.

Ketika itu, Nabi SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi. Hal ini diriwayatkan Anas bin Malik sebagai berikut: “…dan berkatalah Sa’ad kepada Abdurrahman, ‘Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silahkan pilih hartaku dan ambillah! Dan saya memiliki dua orang istri, coba perhatikan yang lebih menarik perhatian Anda, akan kuceraikan hingga Anda dapat memperistrinya.’ Jawab Abdurrahman, ‘Moga-moga Allah memberkati Anda, istri, dan harta Anda! bantulah letak pasar agar aku dapat berniaga…!’” Abdurrahman kemudian pergi ke pasar dan berjual beli di sana; ia pun memperoleh keuntungan.

Kehidupan Abdurrahman bin Auf di Ma­dinah, baik semasa Nabi SAW maupun sesudah wafatnya,­ terus meningkat­. Usaha perdagangannya maju pesat. Seluruh usaha­nya ini dituju­kan untuk mencapai rida Allah SWT semata, se­bagai bekal di alam baka kelak.

Pada suatu hari ia mendengar­ Nabi SAW bersabda, “Wahai, Ibnu Auf! Anda terma­suk go­longan orang kaya … dan Anda akan masuk surga secara perlahan-lahan! Pinjamkanlah­ kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermu­dah langkah Anda!” Semenjak ia mendengar nasihat Nabi SAW ini, ia menyediakan bagi Allah SWT pinjaman yang baik (amal saleh).

Suatu hari ia menjual tanah seharga 40 ribu dinar, semua uang hasil penjualan tanah itu dibagikannya kepada keluarga ­Bani Zuhrah, istri Nabi SAW, dan kaum fakir miskin. Pada hari lain, ia menyerahkan 500 ekor kuda untuk perleng­kapan­ bala tentara Islam. Menjelang wafatnya ia mewasiatkan­ 50 ribu dinar untuk jalan Allah SWT, dan 400 dinar untuk setiap orang yang ikut Perang Badar dan masih hidup.

Di samping pemurah dan dermawan, ia dike­nal pula sebagai sahabat Nabi SAW yang banyak me­riwayatkan hadis. Di antara orang yang meriwayatkan­ hadis darinya ialah Abdullah bin Abbas (sahabat dan sepupu Nabi SAW), Abdullah bin Umar bin Khattab, Jabir bin Abdullah al-Ansari (16 H/637 M–73 H/693 M), Anas bin Malik, Malik bin Aus (saha­bat Nabi SAW), dan Abdullah bin Amir (sahabat Nabi SAW yang mengembangkan hadis di Mesir, w. 59 H/679 M).

Ia dikenal pula sebagai orang yang zuhud terhadap jabatan dan pangkat. Ketika baru saja “Enam Anggota Kelompok Musyawarah” mengadakan pertemuan untuk memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah, kepada kawannya yang lima lagi ia menyatakan bahwa ia melepaskan haknya yang dilimpahkan Umar bin Khattab kepadanya.

Sikap zuhud terhadap jabatan ini kemudian segera menempatkan dirinya sebagai hakim di antara lima tokoh terkemuka itu. Mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman menetapkan pilihan khalifah itu terhadap salah satu di antara mereka berlima. Ali bin Abi Thalib, “Aku pernah mendengar Rasulullah berkata SAW bahwa Anda adalah orang yang dipercaya oleh langit, dan dipercaya pula penduduk bumi!” Oleh Abdurrahman bin Auf kemudian dipilihlah­ Usman bin Affan untuk menjabat khalifah dan para sahabat yang lain pun menyetujuinya.

Daftar Pustaka

al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadhl bin Hajar. al-Isabah fi Tamyiz as-Sahabah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.

–––––––. Tahzib at-Tahzib. Hyderabad: Majlis Da’irat al-Ma’arif Nizamiyah al-Ka’inah fi al-Hind, 1327 H/1909 M.
Ibnu Sa’d, Muhammad. at-Tabaqat al-Kubro. Beirut: Nasyr wa Dar as-Sadir, 1376 H/1956 M.

Hamid Farihi