Abdullah bin Zubair adalah seorang pemimpin gerakan oposisi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib dan awal khilafah Bani Umayah. Ia adalah bayi pertama yang lahir di kalangan Muhajirin di Madinah. Ayahnya bernama Zubair bin Awwam dan ibunya, Asma binti Abu Bakar as-Siddiq. Ia adalah sepupu dan kemenakan Nabi SAW dari istrinya, Aisyah binti Abu Bakar.
Abdullah bin Zubair termasuk salah seorang dari “empat ‘Ibadillah” (orang yang bernama Abdullah) dari 30 orang lebih sahabat Nabi SAW yang menghafal seluruh ayat Al-Qur’an. Tiga orang ‘Ibadillah lain adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khattab, dan Abdullah bin Amr bin As.
Ibnu Zubair telah mengenal perang sejak berusia 12 tahun, yaitu ketika bersama ayahnya turut dalam Perang Yarmuk (Agustus 636 M), dan 4 tahun kemudian kembali menyertai ayahnya yang menjadi anggota pasukan Amr bin As di Mesir. Ibnu Zubair juga mengambil bagian dalam ekspedisi Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Sarh melawan orang Byzantium di Afrika.
Semua peristiwa tersebut mengundang kekaguman penduduk Madinah kepadanya. Di masa Khalifah Usman bin Affan, ia duduk sebagai anggota panitia yang bertugas menyusun Al-Qur’an. Di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, ia bersama Aisyah mengatur langkah untuk menantang Khalifah tersebut untuk menuntut penyelesaian kasus pembunuhan Khalifah Usman.
Gerakan ini didukung oleh beberapa tokoh, seperti Ja‘la bin Umayah dari Yaman, Abdullah bin Amr Basrah, Sa‘ad bin As, Wahid bin Uqbah (pemuka kalangan Umayah di Hijaz), dan beberapa sahabat senior (Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam). Perselisihan antara kelompoknya dan kelompok Ali yang sedang berkuasa diselesaikan dalam Perang Unta (Waqi‘ah al-Jamal).
Dalam perang inilah ia menyaksikan ayahnya gugur. Perang tersebut disebut Perang Unta karena Aisyah mengendarai unta pada saat memimpin pasukan itu.
Ibnu Zubair terus melawan Dinasti Bani Umayah. Meskipun di masa Mu‘awiyah bin Abi Sufyan bentuk perlawanannya belum bersifat terbuka, sesudahnya ia tampil menantang pemerintahan Bani Umayah secara terang-terangan. Ia memprotes Yazid, putra Mu‘awiyah, yang naik menjadi khalifah atas penunjukan ayahnya setelah ayahnya wafat.
Yazid memerintahkan walinya di Madinah untuk memaksa Ibnu Zubair bersama Husein bin Ali (cucu Nabi SAW) dan Abdullah bin Umar agar menyatakan kesetiaan kepadanya. Ibnu Zubair dan Husein tetap membangkang. Demi keamanan, keduanya pindah ke Mekah. Ia tetap menjadi penantang khalifah sekalipun Husein, tak lama sesudah itu, tewas dengan menyedihkan dalam pertempuran tak seimbang di Karbala (10 Oktober 680 M).
Pernyataannya secara terbuka bahwa kekuasaan Yazid tidak sah membawa pengaruh luas di kalangan Ansar di Madinah yang akhirnya melahirkan pemberontakan. Setelah menunggu kesempatan yang baik, Yazid mengerahkan tentara Suriah di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah dan memadamkan pemberontakan orang Madinah tersebut dalam Perang Harran (Agustus 683).
Kematian Muslim bin Uqbah tak menghalangi tentara tersebut untuk bergerak menuju Mekah dengan sasaran mematahkan perlawanan Ibnu Zubair. Tentara tersebut mengepung dan menghujani kota Mekah dengan batu dan panah api yang menyebabkan Ka’bah terbakar.
Berita meninggalnya Khalifah Yazid menyebabkan komandan pasukan, Husain bin Numair, mencoba membujuk Ibnu Zubair agar bersedia bergabung dengan mereka untuk kembali ke Suriah. Ibnu Zubair menolak bujukan tersebut dengan mengatakan bahwa ia akan tetap di Mekah.
Selanjutnya, ia memproklamasikan dirinya sebagai amirulmukminin. Sekalipun proklamasi itu tidak lebih dari sekadar nama, lawan-lawan dinasti Bani Umayah di Suriah, Mesir, Arab Selatan, dan Kufah sempat menghargainya sebagai khalifah.
Setelah Mu‘awiyah II putra dan pengganti Yazid meninggal dunia, Ibnu Zubair muncul sebagai kandidat khalifah atas dukungan Bani Qais. Selain itu ada kandidat lainnya, yaitu Marwan bin Hakam (dukungan Bani Qalb) dan dua orang lainnya yang diajukan oleh dua kabilah Arab yang berdomisili di Suriah. Akan tetapi, Ibnu Zubair terpojok tatkala peta kekuatan politik mengalami perubahan karena pemberontakan di Kufah (685) dan pembelotan di antara pengikutnya setelah Yazid wafat.
Pengepungan yang membawa kematiannya terjadi ketika Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi ditugaskan oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan, putra *Marwan bin Hakam, untuk menyelesaikan perlawanan “Sang Penantang Enam Khalifah” dari Ali, Mu‘awiyah, Yazid, Mu‘awiyah II, Marwan bin Hakam, sampai Abdul Malik. Selama 7 bulan (Maret–Oktober 692 M pasukan al-Hajjaj berupaya melumpuhkan perlawanan Ibnu Zubair. Ia masih bertahan tatkala putranya menyerahkan diri kepada al-Hajjaj.
Keperkasaannya bangkit kembali setelah berjumpa sebentar dengan ibunya yang sudah buta, yang mendorongnya dengan memberikan semangat juang. Padahal sebelumnya, ia sempat menyatakan kepada ibunya tentang rasa khawatirnya bahwa mayatnya akan diperlakukan secara sadis oleh para pembunuhnya kelak.
Ibunya mengata kan bahwa kambing yang sudah disembelih tak sedikit pun akan merasakan sayatan pada dagingnya. Jawaban itu mendorongnya keluar dari rumah tempat ia bertahan, maju ke tengah-tengah lawannya yang kemudian menyergap dan menghabisinya. Mayatnya ditempatkan pada tiang gantungan yang sama ketika saudaranya, Amr, pernah mengalami hal serupa. Atas perintah Abdul Malik, mayatnya kemudian diserahkan kepada ibunya.
Daftar Pustaka