Abdullah Ahmad

(Padangpanjang, 1878 – Padang, 1933)

Abdullah Ahmad adalah seorang ulama dan tokoh pembaruan serta pendidikan Islam dari Sumatera Barat. Ia menerbitkan majalah Islam pertama (al-Munir) pada masa Hindia Belanda pada 1911. Ketika menghadiri Kongres Ulama Islam di Mekah pada 1926, ia diberi gelar duktur fi ad-din (doktor ilmu agama).

Sejak kecil Abdullah Ahmad telah mendapatkan pen­didikan agama dari ayahnya, H. Ahmad, seorang ulama dan pedagang kecil di Padangpanjang. Ia memulai pendi­dikannya di sekolah rakyat negeri, kemudian ke sekolah menengah. Ia juga belajar ilmu agama pada guru-guru terkemuka pada saat itu.

Pada usia 17 tahun (1895), ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus memperdalam ilmu agama pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860–1916, imam besar Masjidilharam­ ketika itu) dan ulama terkemuka lainnya selama 4 tahun di Masjidilharam, Mekah. Setelah itu, ia kembali (1899) ke kampung halamannya, Padangpanjang.

Pada mulanya ia aktif mengajar dengan sistem tradisional di surau Jembatan Besi, Padangpanjang. Proses belajar mengajar dilakukan dengan duduk bersila di lantai, guru dilingkari para muridnya. Kemudian ia mendirikan seko­lah (madrasah) sendiri yang berbeda dengan cara belajar di surau itu. Para murid diberi meja serta bangku, dan guru menguraikan pelajaran dengan memakai papan tulis, seperti­ di sekolah

Belanda pada saat itu. Sistem belajar yang diterapkannya ini ditentang kaum tradisional karena dianggap meniru cara kafir (Belanda). Tantangan kaum tradisional ini semakin kuat sehingga ia merasa tidak mungkin lagi melanjutkan madrasah ini di Padangpanjang. Oleh sebab itu, ia pindah mengajar ke Padang.

Di samping mengajar, ia juga aktif mengadakan diskusi agama dengan beberapa temannya. Kelompok inilah yang kemudian mendirikan Jama’ah Adabiyah di Padang. Bersama beberapa pedagang ia mendirikan organisasi Syarikat Usaha, yang dipimpin langsung oleh H Abdullah Ahmad.

Pada 1909 Syarikat Usaha mendirikan Adabiyah School (Sekolah Adabiyah; Adabiyah), yang semula merupakan sekolah agama modern. Hal ini berlangsung 1909–1914. Pada 1915 sekolah ini diubah menjadi Hollandsch Indische School (HIS) Adabiyah yang dipimpin seorang Belanda karena telah mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.

Pada 1 April 1911 Abdullah Ahmad menerbitkan majalah Islam pertama di Indonesia yang bernama al-Munir. Pembantu tetap majalah tersebut­ adalah Syekh H Abdul Karim Amrullah (ayah Buya HAMKA; 1879–1945), Syekh Muham-mad Thaib Umar (1874–1920), dan Syekh Muhammad Jamil Jambek (1860–1947).

Selama 5 tahun majalah al-Munir ini mendapat sambutan luas, sehingga nama H Abdullah Ahmad sempat berubah menjadi H Abdullah al-Munir. Majalah ini terbit dua minggu sekali dengan menggunakan bahasa Melayu-Arab. Jangkauan majalah ini meliputi daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Malaysia.

Tujuan majalah ini, seperti tercantum dalam pendahuluan nomor pertamanya, adalah memimpin dan memajukan anak-anak Melayu dan anak-anak Islam kepada agama yang lurus dan i‘tiqad (keyakinan) yang betul. Rubrik yang paling menarik dalam majalah ini adalah rubrik tanya-jawab agama, yang antara lain membahas persoalan lafal (ucapan) niat ketika salat (ushalli), kenduri di rumah orang yang kematian, pembacaan barzanji, talkin mayat, pengertian bid’ah, dan hukum tentang pemakaian dasi.

Dalam majalah al-Munir inilah H Abdullah Ahmad, H Abdul Karim Amrullah dan kawan-kawannya mengemukakan­ fatwa yang dianggap baru dan bertentangan dengan fatwa kaum tradisional di Minangkabau ketika itu, seperti berfoto dibolehkan secara hukum dan memakai dasi serta topi tidak haram. Oleh sebab itu, majalah al-Munir dianggap sebagai sarana penyebarluasan paham pembaruan yang dibawa H. Abdullah Ahmad dan kawan-kawannya.

Majalah ini hanya bertahan sampai 1915 karena kekurangan biaya. Di samping itu, pada 1913 H Abdullah Ahmad juga menerbitkan majalah al-Akhbar dan menulis aktif di majalah al-Islam yang diterbitkan pertama kali oleh Syarikat Islam Surabaya­ pada 1916.

Selain mengajar di Sekolah Adabiyah, H Abdullah Ahmad juga aktif memberikan ceramah agama di kalangan saudagar dan cendekiawan. Ulama pada umumnya­ berdakwah­ de­ngan menggunakan­ bahasa daerah (Minangkabau),­ namun H Abdullah Ahmad berdakwah maupun menulis dengan menggunakan­ bahasa Melayu (Indonesia) yang baik. Ia adalah ulama pertama yang fasih berpidato dan pandai mengarang dalam bahasa Melayu yang halus.

Pada 1918 H Abdullah Ahmad mendirikan organisasi Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) dan mendapat pengakuan hukum dari pemerintah Hindia Belanda 17 Juli 1920. PGAI dipimpin langsung oleh H Abdullah Ahmad sampai akhir hayatnya. Tujuan organisasi ini adalah untuk mempersatukan ulama tradisional (Kaum Tua) dengan ulama modern (Kaum Muda). Namun usaha ini tidak berhasil sepenuhnya karena Kaum Tua di bawah pimpinan Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1871–1970) mendirikan­ pula organisasi sejenis yang bernama Ittihadul Ulama Sumatra (Persatuan Ulama Sumatra).

Pada 1926 H Abdullah Ahmad dan H Abdul Karim Amrullah berangkat ke Mekah untuk menghadiri Kongres Ulama Islam yang antara lain membicarakan masalah kekhalifahan dunia Islam yang telah dihapuskan Mustafa Kemal Atatürk, penguasa Turki, 1924. Ketika itulah kedua ulama ini memperoleh gelar duktur fi ad-din (doktor dalam bidang agama) yang diberikan oleh suatu panitia khusus yang dibentuk untuk itu.

Pada 1930 PGAI mendirikan sebuah gedung asrama anak yatim. Gedung ini kemudian dipergunakan juga untuk ruang belajar Madrasah Normal Islam (Kulliyyah al-Mu‘alli­min al-Islamiyyah) yang didirikan PGAI 1931. Madrasah Normal Islam ini dipimpin H Mahmud Yunus (tokoh pendidikan­ Islam Indonesia; 1899–1982). Di sekolah ini diajarkan­ ilmu umum dan ilmu agama dengan sistem seko­lah klasikal seperti yang digunakan Belanda.

Madrasah Normal Islam mendapat sambutan dari masyarakat dan pelajar Islam karena sekolah ini merupakan sekolah guru pertama yang mempunyai sarana lengkap alat ilmu alam, kimia, ilmu hayat, dan ilmu falak, seperti yang digunakan sekolah Belanda ketika itu. Sejak berdiri sampai ditutup 1946, sekolah ini berhasil mendidik 1.019 siswa, yang tersebar di berbagai daerah.

Sejak 1946, sekolah ini tidak memiliki siswa lagi karena berbagai kesulitan yang dihadapi, antara lain pergolakan yang terjadi sebelum dan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ditambah lagi kekurangan dana yang dihadapi ketika itu. Akan tetapi, PGAI masih tetap hidup sampai sekarang dan memiliki sekolah mulai dari Sekolah Dasar Islam sampai Sekolah Menengah Atas Islam.

Daftar Pustaka

HAMKA. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah­ dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda, 1982.
–––––––. Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
–––––––. Gerakan Pembaharuan Agama di Minangkabau. Padang: Minang Permai, 1969.
Schrieke, B.J.O. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, terj. Soegarda Poerbakawatja. Jakarta: Bhratara, 1973.
Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1985.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara, 1979.

Nasrun Haroen