Dinasti yang menguasai daulah (negara) islamiah pada masa klasik dan pertengahan Islam (750-1258) disebut Dinasti Abbasiyah atau Daulah Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Abbasiyah tercapai zaman keemasan Islam. Daulah ini disebut Abbasiyah karena pendirinya adalah keturunan al-Abbas (paman Nabi SAW), yakni Abu Abbas as-Saffah.
Daulah Abbasiyah adalah negara yang melanjutkan kekuasaan Daulah Umayah. Sejarah kekuasaan dari Daulah Abbasiyah bermula ketika Bani Hasyim menuntut agar kepemimpinan Islam berada di tangan mereka, karena mereka adalah keluarga terdekat Nabi SAW. Tuntutan itu sebenarnya sudah ada sejak lama, tetapi baru menjelma menjadi gerakan ketika Bani Umayah naik takhta dengan mengalahkan Ali bin Abi Thalib dan berusaha keras terhadap Bani Hasyim.
Propaganda Abbasiyah dimulai ketika Umar bin Abdul Aziz (717–720) menjadi khalifah Daulah Umayah. Umar memimpin dengan adil. Ketenteraman dan negara memberi kesempatan pada gerakan Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan gerakannya yang berpusat di al-Humaymah. Pemimpinnya waktu itu adalah Ali bin Abdullah bin Abbas, seorang zahid. Dia kemudian digantikan oleh anaknya, Muhammad, yang memperluas gerakan. Dia menetapkan tiga kota sebagai pusat gerakan, yaitu al-Humaymah sebagai pusat perencanaan dan organisasi. Kufah sebagai penghubung kota, dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Muhammad wafat pada 125 H/743 M dan digantikan anaknya, Ibrahim al-Imam. Sebagai panglima perang, dipilih seorang kuat dari Khurasan yang bernama Abu Muslim al-Khurasani. Abu Muslim berhasil merebut Khurasan dan kemudian menyusul kemenangan demi kemenangan. Pada awal 132 H/749 M, Ibrahim al-Imam ditangkap oleh pemerintah Daulah Umayah dan dipenjarakan sampai meninggal. Dia digantikan oleh saudaranya, Abu Abbas. Tidak lama setelah itu dua bala tentara, Abbasiyah dan Umawiyah bertempur, di dekat Sungai Zab bagian hulu. Dalam pertempuran itu Bani Abbas mendapat kemenangan, dan tentaranya terus menuju ke negeri Syam (Suriah); di sini kota demi kota dapat dikuasainya.
Tahun kemenangan (132 H/750 M) itu dijadikan tahun awal berdirinya Daulah Abbasiyah. Khalifah pertama adalah Abu Abbas as-Saffah. Daulah ini berlangsung sampai tahun 656 H/1258 M. Masa yang panjang dilaluinya dengan pola pemerintahan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan politik, sosial, budaya, dan penguasa. Berdasarkan perbedaan pola dan perubahan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa yang dilalui Daulah Abbasiyah dalam lima periode.
Periode Pertama (132 H/750 M–232 H/847 M). Meskipun Abu Abbas adalah pendiri daulah ini, pemerintahannya hanya singkat (750–754). Pembina daulah ini yang sebenarnya adalah Abu Ja’far al-Mansur. Dia dengan keras menghadapi lawannya dari Bani Umayah, Khawarij, dan juga Syiah yang merasa mulai dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, ia menyingkirkan satu per satu tokoh besar sezamannya yang mungkin menjadi pesaing baginya. Abdullah bin Ali dan Salih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang telah ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Suriah dan Mesir, akhirnya tewas di tangan Abu Muslim al-Khurasani karena tidak bersedia membaiatnya. Abu Muslim sendiri, karena dikuatirkan akan menjadi pesaingnya, akhirnya dihukum mati oleh khalifah pada 755.
Untuk lebih memantapkan dan menjaga keamanan negara yang baru berdiri itu, al-Mansur kemudian memindahkan ibukota dari al-Hasyimiyah, dekat Kufah, ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, pada tahun 767. Di sana ia menertibkan pemerintahannya dengan mengangkat aparat yang duduk dalam lembaga eksekutif dan yudikatif. Dalam lembaga eksekutif dia mengangkat wazir (menteri) sebagai koordinator departemen; dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping pengembangan angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Bani Umayah dilanjutkannya dengan tambahan tugas, selain untuk mengantar surat, juga untuk menghimpun seluruh informasi di daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan dengan lancar. Para direktur jawatan pos juga bertugas melaporkan kegiatan gubernur setempat kepada khalifah.
Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga Baramikah atau Barmak, suatu keluarga terpandang yang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir pertama adalah Khalid bin Barmak, yang kemudian digantikan anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat salah seorang anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Adapun anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluarga non-Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayah yang berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukkan kembali daerah yang sebelumnya mencoba membebaskan diri dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usahanya adalah merebut benteng-bentengnya di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Sicilia pada 756–758. Ke utara bala tentaranya melintasi Pegunungan Taurus dan mendekati Selat Bosporus, dan berdamai dengan Kaisar Constantine V. Selama genjatan senjata (758–765), Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan tentara Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di Laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus serta India.
Pada masanya konsep khilafah berubah. Dia berkata, “Innama ana sultan Allah fi ardihi” (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Dengan demikian, jabatan khalifah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah SWT dan bukan dari manusia, dan bukan juga sekedar pelanjut setelah Nabi SAW wafat sebagaimana pada masa al-Khulafa ar-Rasyidin (sebutan untuk keempat khalifah setelah Nabi SAW wafat, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali). Di samping itu, berbeda dari Daulah Umayah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar takhta”. Al-Mansur, misalnya, memakai gelar takhta “Abu Ja’far”. “Gelar takhta” itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas as-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sebelumnya, mulai dari masa Khalifah al-Mahdi (775–785) hingga Khalifah al-Wasiq (842–847). Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun ar-Rasyid (786–809) dan putra al-Ma’mun (813–833).
Daulah ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah yang memang luas. Orientasi pada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayah yang lebih mementingkan perluasan daerah. Akibat dari ini, provinsi tertentu di pinggiran mulai terlepas dari genggaman mereka. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara: pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan yang berhasil dicapai kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayah di Andalusia (Spanyol) dan Idrisiyah (Bani Idris) di Maroko; dan kedua, orang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah menjadi sangat kuat, seperti Daulah Aghlabiyah (Bani Taghlib) di Tunisia dan Tahiriyah di Khurasan.
Pada zaman al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat hasil pertanian berlipat ganda dibandingkan sebelumnya. Pertambangan dan sumber-sumber alam bertambah dan demikian pula perdagangan internasional ke timur dan barat dipergiat. Basrah menjadi pelabuhan transit yang penting yang sarananya lengkap.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun ar-Rasyid. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman zamannya. Pada saat inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat yang tak tertandingi.
Khalifah al-Ma’mun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku dari Yunani. Filsafat Yunani yang rasional menjadikan khalifah terpengaruh dan mengambil teologi rasional Muktazilah menjadi teologi negara.
Al-Mu’tasim, khalifah berikutnya (833–842), memberi peluang besar kepada orang Turki masuk dalam pemerintahan. Daulah Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketenteraman. Praktek orang muslim mengikuti perjalanan perang sudah terhenti. Ketentaraan kemudian terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang profesional. Kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Akibatnya, itu menjadi sangat dominan sehingga khalifah berikutnya sangat berpengaruh atau menjadi boneka di tangan mereka. Khalifah al-Wasiq (842–847) mencoba melepaskan diri dari dominasi tentara Turki tersebut dengan memindahkan ibu kota ke Samarra, tetapi usaha itu tidak mengurangi dominasi Turki.
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan Daulah Abbasiyah pada periode pertama dapat mencapai masa mendatang. Pertama, terjadinya asimilasi dalam Daulah Abbasiyah ini. Berpartisipasinya unsur non-Arab (terutama bangsa Persia) dalam pembinaan peradaban Islam telah mendatangkan kemajuan dalam banyak bidang. Kedua, Kebijaksanaan Daulah Abbasiyah yang memang lebih berorientasi kepada pembangunan peradaban daripada perluasan wilayah kekuasaan. Kebudayaan Persia telah memperkaya khazanah peradaban Islam dengan tradisi keilmuan dan pemerintahan sejak lama berkembang. Banyak penulis Persia memelopori perkembangan ilmu dalam Islam, misalnya Abu Hanifah dalam bidang hukum Islam, Sibawaih dalam bidang gramatika, dan al-Kisa’i dalam bidang qiraah (bacaan Al-Qur’an). Banyak orang yang telah memelopori perkembangan ilmu, Filsafat, dan juga sastra.
Kebudayaan India juga memperkaya khazanah peradaban Islam dengan masuknya ilmu kedokteran, perbintangan dan matematika ke Baghdad. Yang paling banyak mempengaruhi perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam pada masa Abbasiyah ini adalah unsur kebudayaan Yunani.
Unsur kebudayaan Yunani ini sebenarnya sudah lama berpengaruh di wilayah-wilayah yang sudah menjadi bagian wilayah kekuasaan Islam waktu itu. Kota Jundishapur, Harran, Antakia, dan Iskandariyah adalah pusat-pusat peradaban dan pemikiran Yunani sebelum Islam menguasai kota itu. Setelah kota itu berada di bawah kekuasaan Islam, tradisi keilmuan sebelumnya tetap terjaga, bahkan setelah kegiatan penerjemahan digalakkan, masing-masing pusat peradaban Yunani itu menyumbangkan keistimewaan terhadap peradaban Islam; Jundishapur dalam bidang kedokteran, Iskandariyah dan Antakia dalam bidang filsafat, dan Harran dalam bidang matematika dan ilmu falak. Semuanya itu berkembang dengan sarana yang disediakan kebudayaan Arab, yaitu keagamaan dan bahasa.
Perkembangan ilmu pengetahuan itu meningkat cepat setelah khalifah mendirikan lembaga yang sesuai, yaitu perpustakaan-perpustakaan, yang terbesar di antaranya adalah Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan Khalifah Harun ar-Rasyid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah al-Ma’mun. Perpustakaan ini lebih menyerupai sebuah universitas di mana terdapat kitab secara lengkap. Orang datang ke perpustakaan itu untuk membaca, menulis, dan mendidik. Di samping itu, perpustakaan ini juga bekerja sebagai kantor penerjemahan, terutama karya kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi, dan ilmu alam. Buku yang diterjemahkan dari Bizantium dan daerah lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, para ilmuwan Islam telah mengembangkan ilmu yang diterjemahkan dan mendapatkan temuan-temuan ilmiah yang baru. Di sinilah letak sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban Barat atau dunia. Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan yang mengganggu, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun gerakan-gerakan seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayah dan kalangan intern Bani Abbas, Revolusi al-Khawarij di Afrika utara, Gerakan Zindik di Persia, gerakan Syiah dan konflik bangsa serta aliran pemikiran keagamaan itu, semuanya dapat dipadamkan.
Dalam kondisi seperti itu, para khalifah memiliki prinsip yang kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Jika tidak, seperti pada periode sebelumnya, tidak akan lagi dapat dikontrol, bahkan para khalifah sendiri berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain.
Perkembangan peradaban yang telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah dan cenderung berfoya-foya. Setiap khalifah cenderung menjadi lebih mewah daripada pendahulunya. Kehidupan mewah para khalifah itu ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Sementara itu, masyarakat umumnya hidup miskin dan susah. Lemahnya kepemimpinan khalifah dan jurang antara yang kaya dan miskin telah memberi peluang kepada para tentara untuk mengambil kendali pemerintahan. Hal yang terakhir ini membuat semakin memudarnya kekuasaan Bani Abbas di dalam Daulah Abbasiyah yang didirikannya dan merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun lagi.
Periode Kedua (232 H/847 M–334 H/945 M). Pilihan Khalifah al-Mu’tasim (833–842) terhadap unsur-unsur Turki dalam ketentaraan terutama dilatarbelakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan persaingan sebelumnya. Al-Mu’tasim (833–842) dan khalifah sebelumnya, al-Wasiq (842–847), mampu mengendalikan mereka. Akan tetapi, Khalifah al-Mutawakkil (847–861) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang khalifah yang lemah. Pada masanya orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah al-Mutawakkil wafat. Merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah sesuai kehendak mereka. Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi berada di tangan khalifah Bani Abbas, meskipun mereka memegang pada jabatan khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi usaha itu selalu gagal. Pada 892, Baghdad Kembali Menjadi Ibukota. Kehidupan intelektual terus berkembang.
Setelah orang Turki mulai melemah karena persaingan di antara mereka sendiri, Khalifah ar-Radi menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad bin Ra’iq, gubernur Wasith dan Basrah. Khalifah memberinya gelar Amirul Umara (panglima dari para panglima). Namun demikian, keadaan Bani Abbas tidak menjadi lebih baik. Dari dua belas khalifah pada periode ini, hanya empat orang yang meninggal dengan wajar, selebihnya, jika tidak dibunuh, mereka diturunkan dari takhta dengan paksa.
Pada periode ini memang ada beberapa pemberontakan, seperti pemberontakan Zanj di dataran rendah Irak selatan dan pemberontakan Qaramitah yang berpusat di Bahrain, tetapi bukan itu yang menyebabkan gagalnya mereka mewujudkan kesatuan politik Daulah Abbasiyah. Faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut. a) Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah. b) Dengan profesionalisasi tentara, ikatan kepada mereka menjadi sangat tinggi. c) keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer, khalifah tidak mengizinkan pengiriman pajak ke Baghdad.
Periode Ketiga (334 H/945 M–447 H/1055 M). Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi. Keadaan khalifah lebih buruk dari masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaihi adalah penganut aliran Syiah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaihi membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara: Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Baghdad. Dengan demikian, Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahan Islam karena telah pindah ke Syiraz, tempat memerintahnya Ali bin Buwaihi, yang memiliki kekuasaan Bani Buwaihi.
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa ini muncul para pemikir besar seperti al-Farabi (870–950), Ibnu Sina (980–1037), al-Biruni (973–1048), Ibnu Maskawih (930–1030), dan kelompok studi Ikhwan as-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan, yang diikuti dengan pembangunan kanal masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghdad telah terjadi beberapa kali aliran antara Ahlusunah dan Syiah, pemberontakan tentara, dan sebagainya.
Periode Keempat (447 H/1055 M–590 H/1199 M). Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas “undangan” khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai orang Syiah.
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arslan dan Maliksyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian hari. Dari madrasah ini lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah az-Zamakhsyari, penulis dalam bidang tafsir dan usuluddin (teologi), al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Bagdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa provinsi dengan seorang gubernur untuk mengepalai masing-masing provinsi. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing provinsi memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuatan politik khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada 590 H/1199 M.
Periode Kelima (590 H/1199 M–656 H/1258 M). Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan pada 656 H/1258 M.
Faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur dapat menjadi faktor intern dan ekstern. Di antara faktor internal adalah (a) persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turki; (b) adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah; (c) munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad; dan (d) kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik.
Adapun faktor ekstern, antara lain: (a) Perang Salib yang terjadi dalam beberapa gelombang dan (b) hadirnya tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan dan menguasai kota Baghdad. Yang terakhir yang langsung menyebabkan hancurnya Daulah Abbasiyah.
Daftar Pustaka
Beik, Muhammad Khudari. Muhadarah Tarikh al-Umam al-Islamiyah. Cairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1970.
Brokelmann, Carl. Sejarah Umat Islam, transl. Joel Carmichael dan Moshe Perlmann. New York: Buku Carpricorn, 1960.
Daniel, EL Sejarah Politik dan Sosial Khurasan di bawah Pemerintahan Abbasiyah. Minneapolis, 1979.
Endress, Gerhard. Sebuah Pengantar Islam. New York: Pers Universitas Columbia, 1988.
von Grunebaum, Gustave E. Islam Klasik: Sebuah Sejarah 600–1258. London: George Allen dan Unwin Ltd., 1970.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Ssiyasi wa ad-Dini wa as-Saqafi wa al-Ijtima’i Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Kennedy, Hugh. Nabi dan Zaman Khilafah: Timur Dekat Islam dari Abad Keenam hingga Kesebelas. London: Longman, 1986.
–––––––. Kekhalifahan Abbasiyah Awal: Sejarah Politik. London, 1981.
Muir, Tuan William. Khilafah: Kebangkitan, Kemunduran, dan Kejatuhannya. New York: AMS Press, 1975.
Stryzewska, Bojena Gajene. Tarikh ad-Daulah al-Islamiyyah. Beirut: al-Maktab at-Tijari, tt
as-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar. Tarikh al-Khulafa’. Beirut: Dar al-Fikr, tt
Badri Yatim