Saadah

(Ar.: as-sa‘adah)

Secara kebahasaan, as-sa’adah (akar kata: sa‘ad atau su‘ud) berarti “kebahagiaan, keberuntungan, mujur, atau tidak sial”. Kebahagiaan, ketenteraman, dan ketenangan yang dirasakan manusia dalam hidupnya dinamakan saadah. Dalam filsafat dan tasawuf saadah berarti “puncak kebaikan” (khair).

Kajian tentang saadah telah dilakukan oleh para filsuf. Menurut Aristoteles (384–322 SM), yang dimaksud dengan kebahagiaan adalah suatu kesenangan yang dicapai setiap orang sesuai dengan kehendaknya (bersifat relatif). Misalnya, kebahagiaan bagi orang miskin adalah kekayaan, sedangkan kebahagiaan bagi orang sakit adalah kesehatan. Hal tersebut bersifat relatif, namun menurutnya terdapat lima unsur yang harus dipenuhi seseorang jika ingin mencapai kebahagiaan sempurna (as-sa’adah al-kamilah).

Kelima unsur tersebut adalah:

(1) memiliki pancaindra yang lengkap dan berbadan sehat;

(2) memiliki kekayaan yang cukup, memiliki banyak penolong sehingga dapat dengan mudah memenuhi kebutuhannya;

(3) mempunyai nama baik dalam masyarakat;

(4) tercapai cita-citanya; serta

(5) berpikir tajam, percaya diri, berpegang teguh pada agama, jauh dari kesalahan dan kekhilafan.

Ibnu Maskawaih (941–1030) membuat perbedaan antara saadah dan khair (kebaikan). Menurutnya, khair merupakan tujuan semua orang (bersifat umum), sedangkan saadah tidak bersifat umum. Karena itu, khair mempunyai identitas tertentu, sedangkan saadah tergantung pada orang yang berusaha mendapatkannya. Baginya, kebaikan ada yang bersifat relatif dan ada pula yang bersifat absolut.

Kebaikan relatif adalah kebaikan yang bersifat kondisional, sedangkan kebaikan absolut adalah kebaikan sejati. Kebaikan absolut lebih tinggi dan lebih luhur dari kebaikan relatif. Kebaikan absolut merupakan tujuan jauh manusia, sedangkan kebaikan relatif merupakan tujuan dekat manusia. Jika telah memiliki kebaikan absolut, berarti seseorang telah sampai kepada kebahagiaan tertinggi.

Menurut Ibnu Maskawaih, kebahagiaan dapat dirasakan oleh dua unsur yang ada pada diri manusia, yakni unsur jasmani dan unsur rohani. Kebahagiaan yang dirasakan secara jasmani bersifat materiil, sedangkan kebahagiaan yang dirasakan secara rohani bersifat spiritual.

Kebahagiaan yang bersifat materiil senantiasa diimbangi kepayahan dan kepedihan, sedangkan kebahagiaan spiritual lebih sempurna dan nikmatnya lebih kekal. Kebahagiaan spiritual dapat dicapai apabila kebahagiaan materiil dapat dilepaskan secara berangsur-angsur.

Menurutnya, untuk mencapai kebahagiaan tertinggi manusia memerlukan adanya syariat Tuhan. Syariat ini dapat memberi petunjuk kepada manusia untuk mencapai kebaikan, sehingga seseorang dapat meraih kebahagiaan sejati yang merupakan puncak kebaikan tersebut.

Pengertian saadah juga dikemukakan oleh al-Ghazali (1058 –1111). Menurutnya, kebahagiaan sejati hanya terdapat di akhirat. Namun demikian, manusia dapat merasakan kebahagiaan relatif di dunia sebelum mencapai kebahagiaan sejati.

Kebahagiaan di dunia dapat dicapai melalui “ingat kepada Allah SWT” yang dapat membuahkan makrifat. Makrifat kepada Allah SWT disebut sebagai puncak kebahagiaan di dunia, karena Allah SWT merupakan sumber segalanya (sumber kelezatan, kenikmatan, kebenaran, dan kebaikan sejati).

Menurut al-Ghazali, untuk mencapai kebahagiaan sejati di akhirat manusia harus memenuhi keutamaan akal budi. Keutamaan ini terdiri dari empat elemen, yaitu:

(1) sempurna akal dengan ilmu,

(2) ifah (dapat menjaga kehormatan diri) dengan warak (tidak tertipu oleh bujuk rayu dunia),

(3) syaja‘ah (berani karena benar) dengan jihad, dan

(4) adil dengan merasakan keinsafan.

Terpenuhinya keempat elemen tersebut membawa kesempurnaan bagi akal budi manusia yang dapat menimbulkan rasa tanggung­ jawab terhadap Tuhan sehingga tumbuh kesadaran beragama. Namun, keutamaan akal budi ini tidak akan tercapai jika tidak didahului beberapa keutamaan lain sebagai kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai manusia di dunia.

Keutamaan tersebut adalah: keutamaan jasmani, keutamaan luar jasmani, serta taufik dan bimbingan Allah SWT. Keutamaan jasmani terbagi atas empat hal, yaitu: sehat, kuat, elok (paras), dan berusia panjang.

Keutamaan jasmani harus disempurnakan dengan keutamaan luar jasmani. Keutamaan ini juga terdiri dari empat hal, yakni: kaya harta, banyak keluarga (kerabat), terpandang serta terhormat dalam masyarakat, dan memiliki keturunan yang mulia.

Keutamaan tersebut belum sempurna tanpa adanya taufik dan bimbingan Allah SWT yang mencakup: hidayah, irsyad (pimpinan) Allah SWT, tasydid (dukungan) Allah SWT, dan ta’yid (bantuan) Allah.

HAMKA (1908–1981) juga membahas hakikat saadah dan dasar yang melandasinya. Menurutnya, hakikat saadah adalah ketenteraman hidup berlandaskan agama yang dicapai melalui keutamaan pikiran dan budi, kesehatan jiwa serta badan, dan harta benda yang halal serta dimanfaatkan pada jalan Ilahi melalui qanaah. Unsur yang terdapat dalam pengertian tersebut merupakan landasan untuk mencapai kebahagiaan.

HAMKA menempatkan agama sebagai landasan pertama, karena menurutnya agama merupakan pandangan hidup dan motivator yang dapat mendorong manusia untuk menghadapi hidup secara optimis.

Selanjutnya, diperlukan keutamaan pikiran dan budi. Melalui pikiran, manusia dapat mengetahui kebenaran suatu hal serta mempertimbangkan antara manfaat dan mudarat yang akan diperoleh. Hal ini hanya dapat dilakukan orang yang berakal dan berpikiran jernih.

Keutamaan pikiran harus diikuti dengan keutamaan budi, karena budi akan mengangkat derajat manusia dari makhluk lain. Menurut HAMKA, budi terdiri dari tiga rukun (unsur):

(1) budi sebagai tabiat dalam hidup, sehingga budi seseorang menjadi cermin kepribadiannya;

(2) budi sebagai pengalaman hidup yang membentuk karakter dan watak seseorang; dan

(3) budi sebagai hasil belajar, membaca, dan meniru orang lain yang lebih berpengalaman.

Selanjutnya, kesehatan jiwa dan badan merupakan landasan ketiga untuk mencapai kebahagiaan. Kesehatan jiwa dapat dicapai melalui lima cara, yaitu:

(1) bergaul dengan para budiman,

(2) membiasakan berpikir,

(3) menahan syahwat dan kemarahan,

(4) bekerja dengan teratur, dan

(5) melakukan introspeksi terhadap cita-citanya.

Landasan keempat adalah harta benda. Menurut HAMKA, harta benda merupakan salah satu faktor yang membawa kebahagiaan, namun hal tersebut tidak boleh memperbudak manusia. Jika telah diperbudak harta, manusia akan senantiasa merasa miskin dan tidak bahagia. Landasan selanjutnya adalah qanaah.

Menurutnya, pengertian qanaah adalah merasa puas dengan apa yang ada dan senantiasa berupaya mencari yang belum diperoleh. Kebahagiaan dapat dicapai dengan perasaan qanaah yang tertanam di dalam hati.

DAFTAR PUSTAKA

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
HAMKA. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
Ibnu Maskawaih, Abu ‘Ali al-Khazin Ahmad. Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A‘raq. Cairo: al-Husainiyah, 1329.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1966.
Said, Usman, et al. Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Sumatera Utara, 1981/1982.

Yunasril Ali

__