Kurban

(Ar. al-udhiyyah)

Kurban berasal dari kata qurb atau qurban yang berarti “dekat atau mendekati”. Secara terminologis, kurban adalah “acara penyembelihan binatang ternak yang dilakukan pada hari raya haji atau Idul Adha”, yakni tanggal 10, 11, 12, dan 13 Zulhijah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam ilmu fikih, kurban juga disebut udhiyyah (menyembelih binatang di waktu matahari sedang naik di pagi hari atau berkurban) yang berasal dari kata dahwah atau duha (waktu matahari sedang naik di pagi hari). Dari kata dahwah atau duha tersebut diambil kata dahiyah yang bentuk jamaknya adalah udhiyyah.

Dasar hukum pelaksanaan kurban adalah firman Allah SWT sebagai berikut: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” (QS.108:1-3); “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).

Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS.22:36).

Selain dasar hukum dari Al-Qur’an, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memperoleh suatu kelapangan, tetapi dia tidak berkurban, janganlah ia menghampiri tempat salat kami” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Berdasarkan ayat dan hadis di atas, Abu Hanifah (Imam Hanafi) memandang bahwa menyembelih kurban adalah wajib (hukumnya). Kewajiban itu berlaku untuk setiap tahun bagi orang yang bermukim (menetap) dalam kampung.

Akan tetapi jumhur (mayoritas) ulama yang terdiri dari Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) memandang bahwa hukum melaksanakan ibadah kurban bukan wajib, tetapi sunah muakkad (sunah yang dikuatkan).

Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang berarti: “Bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda apabila kamu melihat hilal (awal bulan) Zulhijah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, hendaklah ia menahan (diri dari memotong) rambut dan kuku-kukunya (binatang yang akan dikurbankan)” (HR. Jamaah kecuali Bukhari dari Ummu Salamah).

Jumhur ulama yang berpendapat bahwa kurban itu boleh tidak dilakukan didasarkan pada kalimat: “salah seorang di antara kamu ingin berkurban.” Lebih baik apabila orang melakukannya.

Dalam hadis lain disebutkan secara tegas oleh Rasulullah SAW: “Ada tiga hal yang wajib atasku dan tathawwu‘ (sunah) bagi kamu, yaitu: salat witir, kurban, dan salat duha” (HR. Ahmad, al-Hakim, dan Daruqutni dari Ibnu Abbas). Dengan hadis ini jumhur ulama memperjelas makna ayat yang mujmal (global) di atas dan menyimpulkan bahwa hukum melaksanakan ibadah kurban adalah sunah muakkad.

Adapun persyaratan yang dituntut dalam pelaksanaan ibadah kurban adalah:

(1) orang yang hendak melaksanakan ibadah kurban harus mampu menyediakan binatang kurbannya tanpa mengutang;

(2) binatang yang akan dikurbankan harus memenuhi syarat sebagai berikut: (a) tidak cacat, yang bisa mengurangi dagingnya atau bisa menimbulkan bahaya; (b) telah cukup umur, yakni unta harus berumur 1 tahun atau lebih, sapi atau kerbau berumur 2 tahun, domba berumur 1 tahun, dan kambing berumur 2 tahun; dan (c) disembelih pada waktu yang telah ditentukan syarak (hukum Islam), yaitu pada hari raya Idul Adha atau pada hari tasyrik; dan

(3) orang yang melakukan kurban hendaklah orang Islam yang merdeka, akil balig, berakal, dan menurut Abu Hanifah, bermukim (bukan musafir). Oleh sebab itu, kurban orang yang sedang melakukan ibadah haji adalah tidak sah. Akan tetapi jumhur ulama yang terdiri dari ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab Hanbali memandang sah jika orang musafir melaksanakan ibadah kurban.

Mengenai daging kurban, jumhur ulama yang terdiri dari ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanbali membolehkan orang yang melaksanakan kurban memakan sedikit dari daging kurbannya itu, kecuali kurban yang dinazarkan. Menurut ulama Mazhab Hanafi, memakan kurban yang dinazarkan adalah haram.

Akan tetapi ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali membolehkannya. Adapun menurut ulama Mazhab Syafi‘i, daging kurban yang dinazarkan memang tidak boleh dimakan, tetapi sebagian kecil daging kurban biasa (kurban sunah) adalah sunah (hukumnya) untuk dimakan.

Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT yang berarti: “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS.22:36).

Dalam hadis yang diriwayatkan al-Baihaki disebutkan: “Bahwa Rasulullah SAW memakan hati hewan kurbannya”.

Faedah dan pahala berkurban tergambar dalam hadis Rasulullah SAW: “Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang paling disukai Allah pada hari raya haji (selain) dari mengalirkan darah (berkurban). Sesungguhnya orang yang berkurban itu datang pada hari kiamat membawa tanduk, bulu, dan kuku binatang kurban itu dan sesungguhnya darah (kurban) yang mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada Allah dari (darah itu) jatuh di permukaan bumi. Maka sucikanlah dirimu dengan berkurban itu” (HR. at-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Aisyah).

Asal usul ibadah kurban dalam Islam berawal dari peristiwa kurban Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Nabi Ismail AS. Peristiwa itu dimulai dari mimpi Nabi Ibrahim AS. Dalam mimpinya Nabi Ibrahim AS mendapat perintah dari Allah SWT agar menyembelih anaknya.

Oleh karena mimpi itu menurut keyakinannya merupakan mimpi yang benar, ia menawarkan kepada Ismail AS: “…Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu..?” (QS.37:102).

Mendengar perintah ayahnya, Ismail pun dengan yakin dan ikhlas menjawab penuh hormat: “…Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS.37:102).

Kemudian Nabi Ibrahim AS membawa Ismail ke suatu tempat yang sunyi di Mina. Sebelum acara penyembelihan dimulai, Ismail AS mengajukan tiga permohonan, yaitu:

(1) sebelum ia disembelih hendaknya terlebih dahulu Ibrahim AS menajamkan pisaunya agar ia cepat mati dan tidak lagi timbul kasihan maupun penyesalan dari ayahnya;

(2) ketika menyembelih, muka Ismail harus ditutup agar tidak timbul rasa ragu dalam hati ayahnya, karena rasa kasihan melihat wajah anaknya; dan

(3) apabila penyembelihan telah selesai, agar pakaian Ismail yang berlumuran darah dibawa ke hadapan ibunya, sebagai saksi bahwa kurban telah dilaksanakan.

Dengan berserah diri kepada Allah SWT, Ismail pun dibaringkan dan dengan segera Ibrahim AS menyentakkan pisaunya dan mengarahkannya ke leher anaknya. Akan tetapi, Allah SWT mengganti Ismail AS dengan seekor domba yang besar (QS.37:107).

Peristiwa kurban Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS kemudian diabadikan Allah SWT menjadi salah satu unsur syariat Islam, yang hing­ga kini dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Kasir, al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: ‘Alam al-Kitab, 1405 H/1985 M.
Ibnu Qudamah, Muhammad Abdullah bin Ahmad. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, 1981.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyyah, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Cairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1969.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Singapura: Sulaiman Mar’i, 1960.
al-Khatib, Muhammad asy-Syarbaini. Mugni al-Muhtaj ila Ma‘rifah Ma‘ani Alfaz al-Minhaj. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1958.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1973.Umar, Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin. Bugyah al-Mustarsyidin. Surabaya: Syirkah Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan, t.t.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1989.

Yunasril Ali